Penggunaan media sosial meningkat. Kelas menengah meningkat. Urbanisasi meningkat. Apa hubungan antara ketiganya?
Bagian terbesar kelas menengah sebuah negara terletak di kota-kota besar. Demikian juga bagian terbesar tingkat pertumbuhannya, terjadi di kota-kota besar. Media sosial, sebagaimana sambungan Internet, paling banyak digunakan di kota-kota besar.
Logika klasik perkotaan kembali berlaku: makin tinggi kepadatan penduduk, makin mampu mereka berbagi makin banyak prasarana dan sarana.
Pada satu sisi, suatu masyarakat perkotaan metropolitan mungkin memang memerlukan media sosial untuk menghubungkan diri mereka menjadi suatu kesatuan. Untuk kasus Jakarta lebih-lebih lagi, ketika mobilitas kelas ini nampaknya untuk waktu yang cukup lama tidak akan tertampung oleh sistem yang ada. Berbeda misalnya dengan Tokyo atau Seoul yang didukung sistem angkutan umum yang sangat andal dan dapat dikatakan terbaik di dunia.
Di kota-kota seukuran Tokyo, Jakarta, Seoul dan Sao Paolo, mungkinkah akan muncul kelas menengah yang memiliki sifat yang berbeda dari jaman sebelumnya, karena penggunaan Internet dan media sosial yang dominan ini?
Ada beberapa contoh komunitas online/offline yang baru-baru ini muncul, misalnya @JalanKaki, @KeluaRumah, @PiknikAsik dan @SocialYogaClub.
Gejala yang menarik dan penting adalah gerakan-gerakan online ini sebenarnya cermin dari gerakan-gerakan offline. Tidak benar bahwa mereka tidak nyata. Hal ini sangat tercermin dari nama-namanya, yang semuanya menunjukkan kegiatan di dalam ruang nyata perkotaan. Ini berarti media sosial sudah berperan membantu (bila bukan membentuk) komunitas-komunitas perkotaan yang nyata, yang langsung berkepentingan dengan kualitas ruang kota.
Mereka juga bercirikan hal yang mendasar: kepentingan sekuler, bukan identitas primordial.
Tiga komunitas pertama yang disebut di atas bahkan telah berkolaborasi pameran foto di @pictfest. Melalui kolaborasi dan pertemuan lintas komunitas, mereka sedang dalam proses menjadi “masyarakat kota” yang terdiri dari warga-warga yang memupuk “saling percaya” dan saling mendukung perjuangan masing-masing, karena saling menguntungkan.
Sejauh apa selanjutnya media sosial akan mengubah (kehidupan) metropolis Jakarta? Hanya burung hantu yang tahu jawaban pasti. Tetapi, setidaknya ia telah membantu kelas menengah menjadi ekspresif, fasih, dan tanggap atas ruang-ruang kotanya. Pertanyaan berikut, “sejauh apa kelas menengah dengan bantuan media sosial ini akan efektif mengubah/memperbaiki kota”, juga mungkin baru bisa dijawab beberapa tahun mendatang.
Kelas menengah yang aktif (dengan apapun alatnya, media sosial atau bukan) hanyalah berarti meningkatnya artikulasi dan pengorganisasian serta jumlah permintaan. Seberapa baik sisi suplai (pemerintah, badan-badan perwakilan) akan menanggapinya adalah soal lain sendiri dan yang akhirnya akan menuntukan seberapa jauh kota akan menjadi lebih baik.
Tetapi, untuk sekarang tidak ada ruginya mencoba dan menggalakkannya terus, untuk menjadi modal besar perubahan di masa depan.
Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id.
(sumber: http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kelas-menengah-baru-berbasis-media-sosial.html)