Di Balik Kegelapan Pekat, Ada Cahaya Hebat

Astronot NASA dan seorang perempuan imigran Aljazair di Perancis bertukar kisah. (Tangkapan layar: Tubitv.com)

MITOLOGI Yunani Kuno memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Saat SMA, saya pernah ingin mencuri sebuah ensiklopedia karena di dalamnya ada pohon keluarga dewa-dewi Yunani Kuno dan kisah-kisah lengkap mereka. Aphrodit, Hermes, Apollo, Athena, duh banyak banget yang membuat saya ingin membaca sampai tuntas semuanya. Apa daya beban belajar tak bisa ditinggalkan.

Di film “Macadam Stories” ini, mitos dari Yunani Kuno diselipkan juga dan sebelumnya saya belum pernah mendengarnya. Jadi ini tidak klise, setidaknya untuk saya ya.

Jadi seorang astronot NASA tetiba jatuh ke atap sebuah apartemen. Pendaratan yang mulus untungnya. Tidak ada yang cedera dan tidak ada kerusakan yang ditimbulkan.

Begitu astronot itu keluar kapsulnya ia limbung dan linglung. Ini di mana? Ia tentu tak bisa mengenali tempat ia mendarat karena bumi ini begitu luas. Ternyata ia mendarat di sebuah kota di Perancis.

Sialnya ia cuma bisa berbahasa Inggris. Namun, pintu yang ia ketuk ternyata milik seorang perempuan imigran Aljazair yang cuma fasih berbahasa Perancis. Bahasa Inggrisnya sama sekali nol.

Si astronot makin gusar karena ia tak dijemput. Malah disuruh menginap di apartemen si perempuan selama 2 hari sebelum sebuah helikopter diperintahkan menjemputnya.

Di situ, astronot ini diperlakukan bak anaknya sendiri. Anak laki-laki si perempuan itu sedang direhabilitasi akibat mungkin penyalahgunaan narkoba dan ia manusia yang tak becus apa-apa. Bekerja keras bukan hal yang ia anggap mulia.

Awalnya saya geram sih dengan sikap si astronot yang sudah dibantu si perempuan itu tapi malah berlagak marah-marah dan ingin selekasnya keluar. Dan dia lupa berterima kasih pada si perempuan itu yang sudah meminjaminya telepon untuk menelepon markas besar NASA.

Tapi lama-lama mereka berdua akrab. Si astronot bersimpati pada perempuan itu. Ia bahkan mau memperbaiki pipa wastafel rumah perempuan itu meski gagal juga. Tetap bocor sampai ia harus pulang.

Adegan yang menyentuh ialah saat ia memberikan kaos kesayangan anaknya ke si astronot untuk dipakai. Dan si anak kandung tentu keberatan kaos kesayangannya dipakai orang asing. Tapi di sisi lain, si anak kandung juga tak percaya dengan kisah ibunya. “Serius ada astronot NASA tiba-tiba nginep di rumah, mah?” ia bertanya dengan nada begitu lalu memvonis ibunya mulai berhalusinasi.

Lalu muncullah mitos Yunani itu. Setelah si perempuan tua bertanya bagaimana antariksa rasanya, si astronot menjawab bahwa antariksa sama dengan lautan. Tak berbatas. Di mana-mana terasa tak berujung. Manusia diselimuti olehnya.

Si astronot ini lalu bercerita bahwa dulu orang Yunani Kuno menganggap bintang-bintang adalah lubang-lubang kecil. DI balik lubang-lubang itu, sebenarnya ada dewa-dewa yang mengintip dan mengawasi setiap tingkah polah manusia yang bermacam-macam.

Kemudian si astronot berkata: “Behind all the dark, there is a great light…” (*/)

P.S.:

Tonton filmnya gratis di sini https://tubitv.com/movies/516307/macadam-stories?start=true

Pandemic Diary: Tentang PBJJ (Penulisan Biografi Jarak Jauh)

AKHIR pekan lagi. Fiuh.

Tapi ya namanya pekerja kreatif ya weekend kayak gini tetep kudu kerja otak. Tapi karena kerjaannya di bidang yang disukai jadi nggak terasa berat-berat banget. Untung lah. Bayangkan kalau aku disuruh kerja jadi, misalnya, aktor yang kayaknya wah atau glamor dan duitnya seabrek.

Jadi aktor atau talent atau model di industri hiburan kayaknya enteng ya. Apalagi kalau udah punya tampang ganteng dan tinggi dan putih. Jaminan sukses lah kalau punya fitur-fitur Kaukasia semacam hidung bangir, mata lebar, rambut pirang.

Tapi nyatanya nggak segitunya kok. Hidup jadi seorang pekerja seni begitu nggak seglamor yang dipikir orang.

Banyak aral melintang juga ternyata. Semua aset fisik itu memang memudahkan saat audisi tapi ya fungsinya cuma kayak mengantar kita lolos dari saringan tahap pertama. Kayak ijazah dan IPK gitu. Minimal bisa memenuhi syarat S1 atau IPK 3,00 atau lulusan universitas dengan reputasi yang nggak abal-abal.

Aku tahu ini dari seorang klien yang sedang menjalani proses PBJJ (lihat judul di atas) denganku. Ya, lumayanlah masa pandemi gini ada side hustle nulis biar bisa tetep jajan enak (karena nggak bisa masak).

Klien ini kebetulan memang sedang bekerja di Bali kemudian di tengah tahun 2020 lalu, setelah ia terjebak di Bali akibat pandemi, ia pun memutuskan pulang ke tanah air pacarnya di China sana. Ia sendiri orang Eropa.

Ternyata kehidupan pekerja seni seperti dia yang Kaukasia pun sebenernya penuh perjuangan. Mereka memang punya privilege di atas pekerja seni lokal tapi tantangan mereka untuk bertahan dan bisa merangsek ke papan atas ternyata juga nggak ringan lho.

Dan kalau dikatakan Jakarta itu keras, ya memang keras sih. Bahkan buat mereka yang orang Eropa juga.

Mereka harus kerja keras buat belajar bahasa, beradaptasi dengan budaya, makanan, gaya hidup orang Indonesia yang asing. Mereka juga nggak bisa sembarangan kerja di sini karena bisa digaruk petugas imigrasi dan dideportasi kalau ketahuan cuma punya visa turis dan nggak mengantongi izin kerja. Dan kalau sudah berurusan dengan birokrasi RI kan udah tau rumitnya dan korupnya.

Susah sih sebenernya buat nulis biografi tapi nggak pernah bertemu orangnya dan kami cuma berkomunikasi via WhatsApp. Untungnya kami tidak berada di belahan dunia yang terlalu jauh. Zona waktu tak begitu timpang. Masih selisih sejam dua jam lah. Jadi komunikasi bisa dilakukan lancar tanpa mengorbankan jam tidur.

Satu hal yang sangat membuatku berjuang keras di dalam menulis biografi secara jarak jauh begini ya ketidakmampuan menggali lebih dalam beragam informasi yang terkesan remeh tapi bisa melengkapi isi biografi agar lebih kaya.

Dan untuk mengatasi ini aku berusaha untuk memahami kepribadian dan cara ia berkomunikasi dan berpikir dengan menelusuri unggahan Instagram-nya. Iya, yang bisa kulakukan leluasa ialah dengan stalking akunnya. Jadi aku bisa mempelajari gaya dan langgam bahasanya. Aku mencoba menyelami kepribadiannya.

Selain Instagram, aku mencoba mengendus jejak-jejak digitalnya yang lain. Di YouTube, aku menemukan. Tapi ya seadanya.

Ya meski tantangannya banyak gini, kadang bersyukur sih masih bisa bekerja sesuai passion di rumah sambil duduk-duduk nyaman, nggak perlu ngantor dan mempertaruhkan kesehatan di masa pandemi.

Jadi ya udah lah aku mau nulis dulu. Minggu depan udah deadline. (*/)

Pandemic Diary: Roda Sepeda Buktikan Nyatanya Konflik Kelas Karl Marx

SEPANJANG pandemi ini sudah tak terhitung banyaknya pesepeda yang seliwar-seliwer di jalan protokol ibukota.

Jam 6-7 saya kerap menyaksikan para pesepeda borjuis ini giat mengayuh pedal. Semangat banget sampai ada yang teriak-teriak kayak lupa ini bukan di dalam rumahnya. Jalan, seperti fasilitas umum lain, juga ada aturan dan tata kramanya sendiri.

Jadi saat kemarin ada pesepeda motor berplat AA yang menunjukkan jari tengah ke rombongan pesepeda elit ini di jalur arteri ibukota, sontak mereka yang pernah jengkel dengan ulah pesepeda elit pun mendukung tanpa banyak cing cong. Mereka seakan mendapatkan validasi akan kegeraman yang mereka rasakan. “Tuh bener kan yang kesel nggak gue doang!,” langsung pada ngegas.

Tapi ada juga yang berpihak ke pesepeda elit yang merasa dizalimi. Ada pesepeda elit yang mengejek: “Ah itu paling lagi bokek. Belom gajian, bla bla bla.”

Perang screenshot pun dimulai. Tangkapan layar komentar dan chat. Pokoknya jadi posenggg.

Konflik kelas ala Marxisme pun jadi berpindah ke jalanan Jakarta. Ya sebenernya udah dari dulu sih tapi sekarang di masa pandemi saat masalah ekonomi goleklah alias golongan ekonomi lemah makin menjadi-jadi.

Sebagai bagian dari grup proletar, saya juga mengimbau para bozque yang pagi gandrung sama sepeda-sepeda berbodi karbon ringan, please jangan mencederai hati rakyat jelantah yang sudah remuk akibat problem finansial ini lah.

Takutnya nanti kalian kena karma. Serius ituh.

Pandemic Diary: Terjebak Enak

Dicekal dari Jayakarta

HIDUP di luar Jakarta katanya nggak enak. Begitu kata seseorang di twitter tempo hari karena menurutnya memilih tempat tinggal jauh dari tempat kerja adalah kegilaan dan kesia-siaan.

Buat nanti pensiun sih oke tapi buat rumah pas masih produktif no way. Mending kontrak atau ngekos, tuturnya.

Kontan ia digeruduk warga twitter yang berpandangan sebaliknya. Rumah adalah aset dan investasi, klaim mereka. Uh, padahal kalau dihuni sendiri mah bukan investasi sih. Tapi kalau tak dihuni malah jadi beban. Sad.

Tanpa bermaksud merendahkan, sepertinya sudah saatnya orang mencari atau menciptakan pekerjaan di luar Batavia yang sudah dari zaman VOC jadi episentrum ekonomi nusantara. Apa nggak bosen?

Ya kalau aku sih kalau memang beli rumah di luar Jakarta ya juga harus siap ganti kerja.

Jangan pekerjaan kantoran 9-5 yang mengharuskan di kantor selama hari kerja. Shit. That is so boring and tiresome. Bukannya kita udah di abad digital yang bikin kerjaan lebih luwes? Mau kerja di mana aja katanya bisa?

Ya sekali lagi memang nggak semuanya bisa menikmati kerjaan dengan privilege gini tapi kalau memang berniat jebol desa keluar ibukota, sangat disarankan ganti jenis kerjaan juga dong biar badan nggak rontok habis digerus angin jalanan dan kemacetan jalanan ibukota yang bikin…. Hoegh. Sick to the bone.

Mengenang Layar Tancap

LAYAR tancap jadi satu kenangan masa lampau yang sering diromantisasi.

Bioskop masa pandemi sudah dibuka tapi dengan protokol kesehatan yang membikin mereka yang hipokondriak tak kunjung mereda kecemasannya. Mereka bertanya bagaimana jika virus beredar di dalam bersama hembusan AC.

Di sini layar tancap menjadi suatu solusi jitu sebenarnya lho tapi masalahnya siapa yang punya lahan terbuka seluas bioskop dengan atap dan layar proyektor segede itu?

Ah, tapi di masa pancaroba yang membingungkan seperti Mei 2021 ini, menonton di luar ruangan malam hari juga bikin badan rusak. Hujan turun sekonyong-konyong kalau sore.

Lagi lagi hiburan berupa konten digital yang dipancarkan melalui sambungan internet jadi pemecah kebekuan akibat sunyi yang mencekam. Lumayan lah.

Setidaknya saya kini bisa memutar ulang adegan yang saya sukai, melompati yang saya benci, memutar lagi dialog-dialog yang membingungkan, mencerna adegan-adegan yang butuh kekuatan intelejensia berlebih.

Ekstrim Nggak Seenak Es Krim

GAYA HIDUP yang dianggap ekstrim saat ini sedang menggejala di berbagai bidnag kehidupan. Sebut saja minimalisme (gaya hidup irit, minimalis), veganisme (berpantang produk hewani apapun), athletisisme (gaya hidup berkegiatan fisik dan berolahraga yang lebih banyak daripada rata-rata manusia modern) dan masih banyak lagi.

Gaya-gaya hidup semacam ini tidak bisa disangkal adalah salah satu cara manusia untuk bisa memetakan dunia yang sangat membingungkan, majemuk, kacau, dan acak ini. Pandangan hidup isme-isme ini bisa membantu menyederhanakan kekacauan dan kebesaran semua fenomena di muka bumi menjadi setidaknya dua kutub atau pihak: pihak yang sependapat, pro dan pihak yang tidak sependapat, kontra.

Pandangan hidup yang dikemas dalam berbagai -isme ini juga membantu manusia untuk mengetahui posisi dirinya di tengah dunia yang kacau ini. Dengan begitu, ia merasa memiliki makna. Bayangkan seseorang yang tak punya, katakanlah, nasionalisme. Ia tak punya kebangsaan dan bakal mengalami banyak masalah jika ia harus berurusan dengan manusia dari negara lain atau saat ia harus berpindah tempat tinggal ke negara lain, atau beraktivitas di tempat lain. Begitu juga dengan -isme yang berbau agama dan kepercayaan. Tanpa agama, seorang manusia apalagi di negara yang mengklaim dirinya relijius seperti Indonesia tak mungkin diizinkan hidup tanpa bisa dilacak agamanya. Agama itu meski cuma label hatus tertera jelas di kartu identitasnya. Sepenting itulah.

Saya sendiri sedang terjebak dalam sebagian gaya dan pandangan hidup tersebut. Dan mungkin Anda juga lho. Tiada manusia yang bisa terhindar dari hal ini.

Kata psikolog sih memang tiap manusia ada kecenderungan untuk terkena pengaruh gaya hidup ekstrim apapun itu. Yang punya kecenderungan terbuka untuk urusan agama, bisa jadi dia terkena pengaruh pemahaman agama yang menghalalkan kekerasan bagi manusia yang dianggap berseberangan meskipun mereka tidak memusuhi orang-orang ini.

Dan kadang kita mencap orang pinter dengan tingkat pendidikan tinggi bakal berisiko rendah terkena beginian. Nggak juga bung!

Baik yang intelijensia rendah sampai tinggi ada kok risiko masing-masing.

Yang berkecerdasan tinggi bisa saja dia merasa nyaman dengan -isme yang dia pilih sehingga apapun yang dihadapi pasti dipandang dari kacamata -isme itu.

Misalnya orang yang berpandangan relijius tinggi bakal cenderung menganggap semua masalah dan fenomena dalam hidupnya sebagai pesan, teguran, rahmat, atau kutukan dari tuhan dia.

Lain lagi dengan orang yang menghamba pada sains. Ia menganggap semua hal adalah fenomena ilmiah yang bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Yang nggak bisa dijelaskan dengan sains ya nggak patut dipercaya lah.

Intinya manusia manapun punya zona nyaman mereka sendiri. Bahkan manusia yang mengaku tak punya pandangan ekstrim apapun soal hidup.

Brodo Active: Keren, Murah, Tapi Bukan untuk Olahraga

BRODO bukan merek dalam negeri yang jarang terdengar. Merek produk kaki ini sudah lumayan dikenal luas, terutama bagi mereka yang gemar berbelanja daring.

Saya sendiri sudah beberapa kali melirik produknya. Ya karena sudah banyak testimoni yang baik mengenai produk tersebut dan citra di media sosial juga baik. Tampilan dan pesannya terkesan profesional. Bukan ecek-ecek, sehingga tecermin profesionalisme dari pemilik dan operator bisnis di belakang mereka itu.

Saya mulai melirik produk Brodo tatkala menyadari sepatu New Balance saya sudah agak aus di bagian belakang tumitnya. Busanya sudah bolong besar meski tak mengurangi kenyamanan dalam memakai.

Lalu saya pun lihat di situs marketplace langganan, dan menemukan ada sepatu Brodo Active yang tampaknya diperuntukkan bagi mereka yang sering beraktivitas jalan kaki atau lari. Kata “active” di sini bagi saya identik dengan gaya hidup aktif, olahraga dan sejenisnya.

Jadi, tak ragu lagi saya pun order sepasang sepatu berwarna biru dengan warna sol oranye. Lumayan menarik karena saya suka biru. Dan desainnya juga tidak norak-norak amat kok untuk sepatu dengan banderol kurang dari 300 ribu. Murah meriah sekali sih. Dan saya ingat pesan presiden untuk menambah porsi belanja produk dalam negeri. Saya menuruti anjuran beliau.

Tiga hari sejak order, saya pun menerima produk. Kesan pertama menerima produknya sih bagus. Kemasan oke, tidak ada yang sobek atau koyak atau lecet. Mulus semuanya. Jadi, saya tak ada alasan untuk gusar seperti emak-emak yang viral di media sosial memaki-maki seorang kurir. Tidak, saya tidak memiliki energi sebesar itu cuma untuk marah-marah tidak jelas dan tak ada untungnya.

Saya coba langsung di kaki, memakainya untuk berdiri lalu jalan. Nyaman. Tidak ada istilah lecet di tumit atau pergelangan kaki belakang yang lazim dialami saat memakai sepatu harga terjangkau. Sungguh soal kenyamanan tidak ada keluhan. Sepatu ini nyaman banget ngettt.

Yang bikin saya nggak menyesal juga bobotnya yang seakan seringan kapas. Seperti tak pakai sepatu saat mengayunkan kaki. Asli! Saya nggak bohong. Memang materinya ringan dan lembut.

Tapi sensasi ringan itu juga ternyata ada konsekuensinya. Saat saya ajak sepatu ini berlari pagi, terasa hentakan di telapak kaki agak lebih keras terasa ke seluruh tubuh saya. Solnya yang terbuat dari bahan mesh apa itu seolah tak berdaya meredam goncangan yang diakibatkan loncatan saya ke permukaan beton, aspal, dan sebagainya. Ya sekali lagi saya tekankan ada harga, ada mutu.

Dengan harga seterjangkau ini, sepatu Brodo Active ini cocok untuk jalan-jalan, piknik, atau hiking di alam luar yang permukaannya datar dan resik. Tapi jelas bukan untuk menemani saat beraktivitas luar ruangan yang sudah serius seperti lari lintas alam, atau bahkan sekadar jogging yang intens di pagi hari. Goncangannya masih terasa ke badan.

Lain saat saya bandingkan dengan sepatu New Balance saya yang meski sudah lama tapi solnya masih terasa lembut dan tebal. Berbeda dari bahan mesh sepatu ini.

Meski solnya tampak tebal, ternyata jenisnya berbeda. Sehingga efeknya juga berbeda.

Di sini, saya menyimpulkan bahwa memang sepatu ini keren untuk nongkrong atau sekadar jalan santai di mall atau nonton bioskop atau aktivitas santai lain. Tapi untuk berolahraga yang intens dan serius, rasanya ia bukan pilihan yang tepat sih. (*/)

Catatan:

Saya tidak dibayar atau mendapatkan keuntungan dari merek yang saya ulas ini.

Berikut jenis/ varian sepatu yang saya ulas dengan harga Rp270 ribu sekian:

https://www.blibli.com/p/brodo-active-kaze-racer-blue-is/is–BRO-35372-00691-00003

Bukit Algoritma Sampai Technopolis: Omong Kosong Revolusi Industri 4.0

MESKIPUN sudah jadi sasaran nyinyir netizen RI yang bengis, ternyata pemerintah masih meneruskan rencana pembangunan BUKIT ALGORITMA yang digagas Budiman Sudjatmiko, politisi yang dulu identik dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan jadi bulan-bulana rezim Orba.

Dikabarkan badan usaha punya negara PT Amarta Karya (AMKA) menjalankan proses pembangunan bukit baru di Sukabumi yang katanya sih digadang-gadang sebagai Silicon Valley lokal. Tim AMKA bertindak sebagai partner dalam hal penyediaan infrastruktur bekerjasama dengan PT Kiniku Bintang Raya.

Saya jadi ingat dengan gagasan yang mirip dan pernah dilontarkan Ridwan Kamil beberapa tahun lalu.

Sebagai bagian dari misi besarnya untuk membuat Bandung sebagai kota yang paling bahagia dan manusiawi di Indonesia, wali kota Bandung Ridwan Kamil yang kala mengucapkan itu masih berusia 43 tahun juga bercita-cita mendirikan technopolis di wilayahnya. Konsep technopolis sendiri itu mirip dengan Singapura, yang memungkinkan warga menggunakan kartu cerdas untuk mengakses berbagai layanan dan transportasi publik. Berbagai aplikasi spesifik dalam kota juga akan diciptakan untuk itu.

Namun, sampai sekarang gagasan itu sepertinya menguap. Entah mentok atau bagaimana.

Lalu pada 20 Mei 2021 tanpa disangka-sangka muncullah berita menggemparkan bahwa di situs RaidForums.com konon ada salah satu penggunanya yang memiliki dan berniat menjual data pengguna BPJS.

Bayangkan data 279 penduduk negara ini diumbar begitu saja. Mirip ditelanjangi di muka umum nggak sih? Bedanya ini data pribadi. Banyak hal yang bisa dilakukan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab dengan data pribadi orang lain.

Sebelm itu juga kita pernah mendengar bocornya data pribadi pengguna Tokopedia, salah satu startup unicorn yang kini merger dengan GoJek. Dan ujungnya apa? Nggak jelas juga. Tidak ada kompensasi dari Tokopedia atas bocornya data yang sudah diamanatkan pengguna padanya. Impunitas seperti ini mengerikan sekali kalau dibiarkan terus-menerus.

Dan payahnya selain negara berlagak cuek, juga malah menjadi korbannya dan seolah gagap menanggapi krisis yang menimpanya. Depkominfo alih-alih mencari pelaku, malah memblokir akses ke situs RaidForums.com itu, seolah menutup mata bahwa ada layanan VPN yang bisa dipakai untuk mengakali akses yang ditutup. Sedih sih. Gini amat sih punya pemerintah. (*/)

Anomali Bernama Baduy

PREAMBULE. “Gas saja terus!” kata seorang pria mempersilakan mobil elf kami di tengah keremangan fajar di Rangkasbitung. Kami tidak sedang membelah jalan biasa. Yang baru saja kami lewati dengan susah payah ialah sebuah pasar tradisional, yang layaknya pasar tradisional di daerah di pelosok Indonesia, tidak terlokalisasi dalam sebuah kawasan yang terorganisir dan resik. Semuanya chaos, seperti kejadian big bang yang konon menjadi cikal bakal alam semesta ini. Ada mentimun berserakan di sini, baju-baju bergantungan di situ, daging ayam di kiri, beras-beras beragam macam dalam ember-ember dan karung di kanan. Para penjualnya tak kalah kacau. Mereka turut meracau, menawarkan barang dagangannya dengan penuh semangat, ingin menarik calon pembeli agar barang dagangan segera tandas dan uang berkumpul di tangan saat kembali ke rumah.

Mobil terus melaju menembus kabut tatkala kami memasuki daerah perkampungan Rangkasbitung yang masih hijau dan permai. Sawah dan rumah membentang berselang-seling. Saya juga heran bagaimana bisa kabut masih ada melingkupi lansekap ini padahal waktu telah merayap ke pukul enam pagi. Semestinya kabut tiada lagi. Sirna ditelan bumi.

Seinci demi seinci mobil mendekati tujuan kami: perkampungan suku Baduy. Kendaraan yang dimuati 16 orang ini sesekali berpapasan dengan beberapa motor dan mobil melaju melawan arah. Saya amati hanya kami yang menuju ke arah pedalaman.

“Pagi,” saya sapa Harry, salah satu orang yang mengorganisir tur ini. Kami menyempatkan diri menyinggahi sebuah masjid. Sekadar menunaikan salat subuh yang agak terlambat karena sesungguhnya matahari sudah terbit.

Belok ke arah Ciboleger, kami disambut pemandangan menantang. Sebuah mobil colt hijau disesaki penumpang para pelajar berseragam pramuka. Di atas mobil, beberapa orang juga naik. Tidak cuma siswa pria juga wanita. Mereka berjilbab dan mengenakan rok. Tetapi toh tidak merasa rikuh atau terbatasi oleh busana, mereka terus merangsek tanpa segan secuilpun.

Perkampungan penduduk makin jarang semakin kami memasuki Bojongmanik. Hutan-hutan dan tegalan berisi pohon pisang dan jati serta tanaman keras lainnya mendominasi perbukitan. Jalanan berkelok-kelok dan sempit. Sesekali mobil melambat agar guncangan tidak terasa hebat bagi kami penumpang malang yang mabuk darat dalam perjalanan singkat 4 jam ini. Saya dengar Harry meminta antimo dari temannya yang mengaku tertidur pulas akibat obat itu. Saya pikir ajaib juga obat anti mabuk perjalanan itu bisa menidurkan orang selama perjalanan yang terasa kurang mulus.

Pukul 7:15. Sang surya masih berupa bulatan emas di ufuk timur. Kami sudah berada di sebuah pertigaan. Ke kiri, arah ke Baduy. Wisata budaya. Masih delapan kilometer lagi. Di samping kanan kiri, anak-anak menjerit menyambut kendaraan yang lewat. Mereka sudah mandi, berpupur lalu bersisir rapi dalam kondisi rambut setengah basah. Rumah-rumah telah membuka pintu. Sebagian terbangun dari batubata. Sisanya masih dari papan, kayu, dan bambu. Rumah panggung dari kayu juga masih dijumpai. Sebagai konsekuensi medan yang berkelok, penumpang terus terkocok-kocok. Agar risiko muntah itu dapat ditekan, saya menyengajakan diri untuk mengosongkan perut. Minum air ala kadarnya. Seteguk dua teguk. Menahan diri untuk menyedot air sepuasnya meskipun tahu bahwa tubuh perlu asupan air setelah semalam suntuk tak minum. Makanpun saya tunda. Setidaknya sampai kaki sudah menjejakkan di tempat tujuan sebelum mulai beryoga.

Sebuah sekolah kami lewati. Murid-muridnya menengok ke mobil kami. Yang perempuan duduk-duduk di warung panggung kecil yang masih tutup. Yang laki-laki berdiri agak jauh dari gerombolan lain jenisnya. Semuanya berpakaian pramuka karena ini hari Sabtu. Dan lain dari anak-anak ibukota yang sudah mengenal lima hari sekolah, mereka di sini masuk sekolah enam hari dalam sepekan. Sementara itu, dua anak laki-laki yang berpakaian olahraga berjongkok memisahkan diri mereka, di kedua tangan tersungging sebuah mangkuk. Mungkin mi instan yang mereka lahap di pagi yang sejuk ini.

Saya mulai mendapati penampakan orang Baduy yang berjalan kaki pada pukul 7:34. Mereka bertelanjang kaki dengan kecepatan melangkah yang cukup tinggi.

Sebuah gapura menyambut kami. Sebuah warung penjual pulsa mencantumkan “jual focer elektrik”. Sebuah bangunan berpapan nama “Alfamart” sedang diperbaiki. Riuh rendah beberapa tukang bekerja. Di sini memang sudah tidak kebal invasi waralaba.

Masuk melalui gapura desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, ada pelataran yang tata letaknya mirip suatu alun-alun saja. Empat patung ayah ibu dan dua anak berada di tengahnya. Lalu sekelilingnya adalah mobil-mobil wisatawan yang diparkir pararel.

Ada alasan kuat mengapa modernisasi menjadi semacam musuh yang harus diwaspadai sekaligus sekutu yang dielu-elukan di daerah semacam ini. Pertama dan yang utama ialah sampah plastik yang dihasilkannya.

Dari pelataran tersebut, kami pun melangkahkan kaki menuju jalur yang akan kami daki menuju ke perkampungan Baduy yang jaraknya lebih dari 10 km dengan medan yang naik turun.

Di sebelah kiri, sebuah bangunan sekolah berdiri. SDN 2 Bojongmenteng, demikian namanya menurut sebuah papan. Hari ini Sabtu tanggal 20 Mei 2017 adalah hari terakhir ujian akhir nasional di sana. Dan untuk menjaga ketenangan suasana, ditempelkan sebuah kertas berisi peringatan agar tidak gaduh. Tetapi kertas itu tidak bisa membungkam mulut-mulut murid yang kegirangan menyambut kedatangan kami yang menyumbangkan sejumlah buku anak-anak. Mereka keluar dari ruang kelas dan mengikuti kuis singkat yang kami adakan. Beberapa anak bahkan mau saja disuruh menyanyi lagu-lagu nasional dengan menghadap terik matahari.

Sebuah pertanyaan dilontarkan dua panitia rombongan Geo Tour kali ini, Johar dan Harry, untuk menambah kesemarakan suasana. Di antaranya ialah: ”Siapa yang tahu nama presiden Indonesia sebelum Jokowi?” Seorang anak laki-laki dengan mantap mengajukan diri sebagai penjawab. “Su… eh, SBY,” tukasnya agak gugup. Entah ia hendak mengatakan Sukarno atau Suharto atau Susilo lalu kebingungan dengan kepanjangan dua huruf setelahnya dan berpikir lebih aman menjawab dengan singkatannya saja.

Seorang ibu guru bergincu merah muda tipis dengan sandal pita pink yang sangat mencolok tampil membantu mengarahkan anak-anak didiknya sambil sesekali membetulkan jilbabnya. Ia menjadi perwakilan sekolah dalam menerima bantuan buku secara simbolis.

PUNCAK. Niscaya inilah bagian perjalanan trekking yang paling menantang hari ini. Kami terus dipandu oleh Teguh dan Didi yang sudah hapal dengan rute dan seluk beluk alam dan masyarakat Baduy Dalam dan Luar. Medan yang kami harus lalui dengan berjalan kaki ini cukup ganas juga.

Sebagian memutuskan untuk meminta bantuan warga lokal untuk membawakan barang-barang bawaan mereka ke tempat tujuan. Tenaga mereka kemudian dipertukarkan dengan sejumlah uang yang dapat dipakai untuk menafkahi diri.

Dua orang anak juga termasuk dalam rombongan warga lokal yang mengiringi kami masuk ke dalam wilayah perkampungan Baduy Luar dan Dalam. Aceng (11) dan Damin (12), begitu nama mereka, membawa masing-masing satu tas punggung (backpack) seukuran punggung orang dewasa. Bobotnya mantap, mungkin setara dengan setengah atau dua pertiga tubuh mereka sendiri. Sepasang kaki anak-anak Baduy ini juga kalah kekar dengan kebanyakan kaki kami.

Saya sendiri mengikuti kedua anak ini tepat di belakang mereka. Dan untuk merasakan pengalaman trekking yang sesungguhnya, saya juga memanggul barang bawaan saya sendiri. Meski saya bisa merogoh kocek, saya hanya ingin mengetahui kemampuan saya baik dalam ketahanan, kekuatan dan kecepatan. Percuma rasanya saya sudah bersusah payah memelihara kesehatan tetapi masih mengandalkan bantuan orang lain. Maka, saya putuskan membawa semuanya sendiri.

Satu-satunya yang mungkin belum saya bisa tinggalkan agar pengalaman trekking kali ini bisa sedekat mungkin dengan apa yang dirasakan Aceng dan Damin ialah alas kaki. Saya rasanya tidak sanggup menanggalkan alas kaki (sepatu) sebab medan trekking ini tidak bisa ditebak permukaannya. Kadang memang permukaan tanahnya bersahabat. Ada bebatuan sebagai pijakan, ada tanah yang padat dan kering sehingga memungkinkan saya melangkah dengan nyaman dan aman. Tetapi lebih seringnya permukaan yang saya harus lalui ialah tanah basah cenderung berlumpur, bebatuan yang licin berlumut, ranting-ranting pohon yang jatuh berserakan di lantai hutan, batu-batu mungil yang sisinya tidak beraturan sehingga jika terinjak akan menancap atau menggores telapak kaki. Untuk kemelakatan pada alas kaki ini, saya berharap permakluman karena inilah setidaknya garis demarkasi pembeda saya yang orang luar dan mereka yang kalangan dalam suku asli.

Tanjakan demi tanjakan saya lalui. Damin dan Aceng terus menapaki semua itu dengan tabah. Tanpa banyak komentar, mereka melaju. Sementara saya, yang sesekali berkeluh kesah (dan dalam diam pun masih bersumpah serapah kenapa harus menyusahkan diri seperti ini). Saya upayakan terus untuk mengimpangi kecepatan mereka yang ada di lini terdepan rombongan. Ibarat pelari, merekalah fore runners kami.

Di belakang, rombongan yang terdiri dari 33 orang seluruhnya termasuk peserta tur dan pemandu serta panitia tur terus bergerak merayap. Jika ada helikopter atau pesawat dari atas, kami terlihat bak sekoloni semut hitam yang melintasi sebuah gundukan tanah. Merayap pelan-pelan tetapi pasti. Kecepatan kami begitu lambat karena ada beban di sebagian pundak dan yang lain kakinya bekerja keras membawa berat tubuhnya sendiri, ditambah dengan cuaca Mei yang sudah memasuki musim kemarau.

TANJAKAN CINTA. Tiap tanjakan membuat jantung saya bekerja lebih keras. Pemandu kami, Teguh, mengatakan akan ada “Tanjakan Cinta” yang tiada ampun sudut kemiringannya. Ia berusaha menyiapkan mental kami rupanya. Saya sendiri tidak ingin berceletuk untuk memberikan komentar dan keluhan. Sebab semakin banyak berkomentar, makin terasa berat. “Terus saja jalan!” hardik saya pada diri sendiri.

Matahari siang makin condong ke barat tetapi teriknya sungguh di luar dugaan. Aktivitas fisik yang intens ini ditambah sengatan matahari membuat tenaga saya terasa terperas habis-habisan. Napas tersengal. Baju sudah kuyup.

Tanjakan demi tanjakan terlewati. Hingga saya tiba juga di tanjakan maut itu. Tidak salah jika ia dinamai Tanjakan Cinta sebab saat siapa saja menaikinya dengan kedua kaki (memang hanya kaki saja yang bisa menempuhnya, tidak ada kendaraan atau alat lain yang bisa), jantung akan berdegup kencang. Bukan karena jatuh cinta tetapi karena jantung diinstruksikan untuk memompa darah semaksimal mungkin ke seluruh tubuh untuk memberi tenaga pada tubuh agar sampai di atas tanjakan. Ditambah dengan adrenalin yang terpicu karena rasa cemas jika terpeleset atau pijakan kami runtuh atau pikiran-pikiran buruk lain (pingsan atau lemas mendadak di tengah tanjakan, misalnya), pendakian Tanjakan Cinta seakan menjadi puncak perjuangan trekking setengah hari ini.

Dalam kondisi semacam itu memang semestinya terus memfokuskan diri pada apa yang harus dijalani. Bukan malah berpikir yang tidak-tidak. Memberikan ruang bagi pikiran yang negatif untuk berkembang malah menyurutkan semangat dan membuat kita mudah menyerah. Jadi, saya terus mendaki saja dengan tas punggung yang lumayan berat dan mat yoga yang saya harus bawa di salah satu tangan. Satu tangan yang lain akan saya tugasi meraih apapun yang bisa saya genggam jika terpeleset. Lagipula saya tidak mendaki sendirian. Di bawah masih ada teman yang bisa menolong saya.

Matahari tidak memudarkan pancarannya. Saya memandang ke tanah yang saya pijak hanya untuk menyaksikan keringat ini menetes dari dahi langsung ke tanah, seperti tetesan air hujan.

Saya terus mendaki. Otot-otot kedua tungkai saya terus berdenyut. Lalu saya entah bagaimana bisa mendengarkan denyut jantung saya sendiri di telinga. Ini sungguh menakutkan. Rasanya jantung saya hampir meletus. Jika cinta bisa membuat hati meletus karena lika-likunya yang tiada bisa ditebak makhluk yang fana seperti manusia, tanjakan satu ini saya pikir bisa sungguh-sungguh membuat jantung saya meletus juga. Dan meletus di sini yang saya maksudkan benar-benar meletus karena dipaksa memompa darah sekencang mungkin. Saya terus mendaki dengan berhati-hati. Lengah sedikit, bisa berakibat panjang.

Entah ada berapa jumlah pijakan tanah yang ada di Tanjakan Cinta itu. Tetapi jumlahnya rasanya banyak  dan merayap panjang ke atas. Saya terus mendaki dengan segenap kekuatan yang tersisa. Niscaya habis ini napas seketika.

Sampai di atas tanjakan, saya hanya bisa bernapas lega. Beberapa teman yang berhasil naik juga dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan saya berjuang mendapatkan napas mereka kembali. Wajah mereka sudah merona tidak karuan, gradasi antara kecokelatan tertimpa sinar matahari dan keringat yang membuat kulit berkilauan dengan semburat merah karena derasnya darah mengalir ke seluruh penjuru tubuh untuk menyuplai oksigen.

Kami sibuk mencari tempat untuk beristirahat begitu kami tahu masih ada rombongan lain yang juga sedang mencari hawa sejuk dan rehat sejenak di atas bukit. Sebuah pondok berdiri di tempat itu dan menjadi pit stop bagi kami yang ‘sekarat’ ini.

Sementara itu, anak-anak Baduy tadi hanya berdiri tegak sambil tetap memanggul bawaan orang-orang kota yang tak biasa mengeluarkan banyak tenaga. Mereka memang masih berkeringat dan sedikit lelah tetapi tidak banyak ekspresi yang terpasang di mimik muka. Semua sudah begitu biasa bagi mereka.

“Aceng, duduk!” imbau salah satu dari kami padanya. Yang dipanggil diam saja, seraya melempar pandang sejauh hamparan di bukit-bukit yang ada di bumi Lebak, provinsi Banten ini. Berdiri diam di bawah lindungan pohon besar sudah bermakna istirahat baginya. Tak perlu duduk lalu meluruskan kaki, mengipasi badan, atau membeli minuman dingin.

Tanjakan Cinta resmi saya taklukkan. 

YOGA. Hari pertama pukul 11-12 siang kami melakukan yoga di dekat sungai yang dilintasi sebuah jembatan bambu yang didirikan dengan rancangan yang tiada duanya. Jembatan bambu Gajeboh ini adalah sekumpulan bambu yang disatukan dengan tekun dan teliti memakai tali ijuk pohon aren. Ia membentang sekitar 20 meter menyatukan dua tepi sungai Ciujung. Konon konstruksi ini dibangun dengan gotong royong warga Baduy Luar.

Tidak ada logam apalagi paku dan baut serta mur untuk saling menggabungkan elemen-elemennya. Hanya elemen-elemen organik dari alam yang ada. Selain bambu, pengikatnya hanya serabut berwarna hitam yang juga dipakai sebagai atap rumah yang dipilin sedemikian rupa sehingga berbentuk tali yang besar dan kokoh. Para pelintas jembatan yang baru pertama kali pastinya merasa miris tetapi saya pikir itu karena kebiasaan mereka yang sudah terbiasa menapak di beton yang diam dan kokoh sehingga saat menyadari bambu yang mereka injak berayun-ayun, mereka panik, seakan tidak percaya dengan kekokohan desain dengan material alami ini. Padahal alam itu dapat diandalkan lebih daripada yang kita kira.

Matras-matras yoga berwarna-warni digelar di salah satu tepi sungai yang disatukan jembatan tersebut. Saya di tengah dengan pandangan menghadap ke aliran sungai yang gemericiknya terdengar lirih tersamar keriuhan suara para wisatawan lokal di akhir pekan seperti sekarang. Keramaian memuncak di hari Sabtu dan Minggu sehingga membuat perkampungan menjadi lebih hingar bingar.

Karena baru saja kami melalui jalur trekking yang begitu menantang, fokus latihan pun saya berikan pada area bahu, leher, punggung, sepanjang tulang belakang dan seluruh daerah pinggul yang mendapatkan tekanan dari beban-beban berupa barang bawaan dan tas-tas berat.

Kami berangkat lagi dari perkampungan Baduy Luar setelah makan siang serta salat zuhur. Pukul 1 siang, kami pun melangkahkan kaki untuk melanjutkan kembali perjalanan yang ternyata masih jauh. Beberapa gambar masih bisa diambil di titik ini karena meskipun kami sudah masuk ke perkampungan Baduy, ini baru wilayah Baduy Luar, yang dikenal lebih terbuka dan lebih moderat dalam menyambut pengunjung luar. Penggunaan alat-alat komunikasi dan elektronik masih diperkenankan. Meski demikian, saya enggan juga menyentuh alat-alat simbol keterhubungan – dan keterikatan – dengan dunia modern. Saya ingin menenggelamkan diri dalam kehidupan mereka tanpa komunikasi virtual dan digital. Setidaknya dalam 2 hari ini. Diet digital ini ampuh untuk mengurangi tingkat ketergantungan manusia modern perkotaan yang kerap cemas dan merasa tidak berdaya tanpa gawai-gawainya. Saya ingin memberikan gawai itu pada porsinya kembali, bahwa mereka tidak bisa menentukan suasana hati saya. Bahwa perangkat-perangkat itu hanyalah kepanjangan dari diri saya, bukan bagian dari diri saya. Jadi, jika saya tidak memakainya, saya masih merasa utuh, tidak merasa ada yang kurang dan perlu untuk dilengkapi.

Beryoga di tepi sungai seperti ini menyuguhkan suatu sensasi berbeda dari beryoga di studio bahkan di taman kota sebagaimana yang saya kerap lakukan di Jakarta. Perbedaan itu begitu subtil, halus, sampai saya kehilangan kemampuan untuk menggambarkannya dengan kata-kata yang tertata. Yang pasti, inilah bedanya beraktivitas di tengah lansekap yang sudah penuh rekayasa dan lansekap yang relatif masih terjaga kemurniannya dari intervensi manusia.

Keesokan paginya latihan yoga bersama kami adakan juga di halaman antarrumah yang sebetulnya tidak seberapa lapang. Permukaan sebidang tanah mungil itu lebih rata dan kering dibandingkan halaman yang lebih luas tetapi permukaannya lebih penuh bebatuan dan basah.

Beryoga di ruang terbuka semacam ini memang memerlukan konsentrasi ekstra agar pikiran bisa lebih terfokus. Begitu banyak potensi distraksi, yang jika dipikir-pikir akan menjadi tantangan tersendiri.

Kelas kami pagi itu mulanya berlangsung khidmat. Kami memulai dengan pikiran yang tenang. Saya sendiri harus menempatkan diri di beranda sebuah rumah yang posisinya lebih tinggi dari sekitarnya, seolah membuat saya memiliki sebuah panggung khusus untuk melakukan demonstrasi yoga. Ian, seorang peserta, saya daulat sebagai peraga juga.

Semua berjalan lancar tanpa kendala…

Hingga sekonyong-konyong entah dari arah mana seekor ayam jantan merangsek masuk ke tengah para peserta yang sedang asyik masyuk melakukan yoga. Belum cukup, seekor ayam jantan lainnya mengikuti temannya (atau lawannya?) lalu bertarung sengit di tengah-tengah halaman, seakan tidak peduli ada sejumlah peserta yang kalang kabut dan panik tidak tertahankan karena ketakutan terkena taji dan patukan.

Menyaksikan insiden itu, saya sempat kebingungan apakah harus tertawa menikmati ini semua atau mengusir dengan keji kedua satwa yang sejatinya tidak tahu apa-apa. Dan sebelum kelas yoga saya kocar-kacir dan bubar sebelum waktunya, untunglah ayam-ayam jantan itu sudah berpindah dari arena persabungan yang tidak sepatutnya. 

CURUG KAHYANGAN. Begitu kelas yoga rampung sekitar pukul 8 pagi, sebuah acara kuis diadakan untuk membagi-bagikan hadiah pada peserta Geo Tour. Sebagai materi kuisnya, sejumlah foto destinasi wisata di seantero negeri digunakan. Banyak foto yang saya tidak kenali. Saya harus lebih banyak berjalan-jalan di negeri saya sendiri, pikir saya. Pantas dari tadi beberapa anak-anak Baduy itu getol melihat-lihat gambarnya karena saya duga semua foto itu menunjukkan banyak hal yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.

Matahari yang mulai meninggi membuat udara makin gerah sehingga sebagian besar peserta pria berniat untuk segera mencelupkan tubuh ke sejuknya air sungai Baduy. Dan rupanya mereka sudah merancang suatu rencana yang tidak sempat saya ketahui.

Saya sendiri, karena ketidaktahuan saya, malah melangkahkan kaki menuju sungai yang kemarin sore saya kunjungi. Sungai itu amat lengang. Begitu lengang hingga saya memicingkan mata ke setiap sudut tersembunyi untuk memastikan apakah benar-benar tidak ada orang yang bersama saya di sana. Saya sempatkan menebar pandangan ke segala penjuru sebelum melucuti pakaian. Kaos saya sangkutkan di pucuk bambu di pinggir kali. Jam tangan saya lepaskan di bebatuan di bawahnya. Jaket saya gantungkan di dahan pohon yang roboh dan mulai melapuk. Dua lagi yang saya bisa lepaskan: celana dan rasa malu.

Tetapi sebelum Anda berfantasi, izinkan saya berkomentar bahwa ternyata pekerjaan aktor atau aktris film porno dan model pakaian renang atau pakaian dalam tidak semudah yang kita bayangkan. Tidak terkira besarnya kepercayaan diri yang mesti dikumpulkan untuk bisa menanggalkan pakaian tanpa penyesalan.

Dan di sini saya tidak mau menyesal juga jika harus melewatkan kesempatan menikmati air sungai jernih yang melimpah ruah ini sendirian. Sebuah sungai yang detik itu, menit itu, dan sampai beberapa puluh menit kemudian, saya bisa monopoli untuk diri sendiri. Dan untuk memonopoli itu semua, saya tidak perlu mengeluarkan biaya.

Saya tidak mau membuang waktu. Sebelum ada orang lain, saya harus sudah memuaskan diri di sini. Saya pun mulai berjingkat di tepi sungai yang paling dangkal untuk mencicipi suhu airnya. Masih sejuk. Saya menengok ke atas, hanya terlihat daun-daun bambu yang melengkung, membentuk kanopi yang di sela-selanya masih memungkinkan berkas-berkas cahaya mentari jatuh hingga ke dasar sungai. Porsi sinar mataharinya yang sampai ke bawah terbilang pas sekali. Tidak begitu kebanyakan sampai terik, tidak begitu sedikit hingga tubuh menggigil.

Sebuah batu yang lebar terhampar di dasar sungai yang dangkal. Begitu lebar hingga saya dapat dengan nyaman merebahkan diri sepeti di sebuah ranjang raksasa, lalu di saat yang bersamaan saya membiarkan tubuh dialiri air sungai. Saya pejamkan mata lalu membiarkan tubuh dan pikiran istirahat sejenak dalam posisi savasana.

Sungguh seperti di kahyangan saja rasanya…

Saya ingin juga memuaskan diri dengan menjajal berenang di ceruk yang lebih dalam tepat di bawah jembatan. Namun, karena saat melangkah rasanya telapak kaki sakit sekali dihunjam bebatuan dalam berbagai ukuran di dasar kali, saya urungkan. Lagipula, saya ingatkan diri bahwa di sini tidak ada orang. Jika saya tidak bisa mengayuh ke tepian, bisa tamat riwayat saya.

Belum puas rasanya menikmati air sungai sejernih ini sendirian, saya teruskan menggosok tubuh dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Saya hembuskan ingus keluar, berkumur-kumur, seolah ingin mengeluarkan segala kotoran yang ada saat itu juga.

Begitu saya mulai merasa menggigil, saya putuskan untuk menepi dan mengeringkan tubuh sesegera mungkin. Saya tidak mau mengakhiri liburan dengan sakit.

Entah berapa lama saya sudah di sana. Saya bahkan tidak terpikir untuk mengukur waktunya dengan menilik jam tangan. Pokoknya saya sudah puas. Itu yang terpenting rasanya saat itu.

Saya bergegas berpakaian kembali dan berkemas ke rumah tempat saya menempatkan tas. Beberapa saat kemudian saat saya duduk santai merenungi pengalaman mandi yang tiada tertandingi tadi, lewatlah rombongan teman-teman pria yang tadi ternyata antusias ingin menikmati sebuah curug (air terjun) yang disebut Curug Kahyangan.

Anehnya, mereka kembali dalam keadaan masih berkeringat dan kering kerontang. Usut punya usut, curug yang diklaim indah dan permai itu baru mengalami musibah kekeringan akut. Alhasil, debit airnya menipis hingga hanya sanggup “membasuh sandal dan telapak kaki”, demikian pengakuan seorang teman yang begitu kecewa.

Tiba-tiba saya merasa beruntung bisa mandi dengan bebas tadi. Tiba-tiba terbetik pemahaman bahwa saya tadi memiliki sebuah curug pribadi. 

BINTANG. Dengan tirai raksasanya, malam mulai membungkus perkampungan Baduy di Cibeo. Badan kami terasa luluh lantak semuanya setelah menjalani rute trekking yang berat bagi kebanyakan kami. Beberapa orang yang tersisa di belakang masih tidak kuasa melangkah jauh-jauh dari rumah sebab kaki pegalnya bukan kepalang. Saya yang ada di garda depan dan memanggul bawaan sendiri sudah mulai bisa melepas penat selama perjalanan seharian. Mungkin ini berkat air kali yang sejuk itu. Jadi teringat sebuah film yang jagoan-jagoannya begitu rampung bertarung lalu pulang ke markas dan berendam tanpa sehelai benang di bak mandi berisikan air es. Itu rupanya cara efektif nan alami untuk merestorasi kondisi fisik yang baru saja diperas habis-habisan, pikir saya.

Kami pun dijamu dengan keramahan luar biasa. Keluarga yang menjadi tuan rumah bagi rombongan mempersilakan kami makan dahulu. Menunya sederhana dan bersahaja:sayur sop, teri goreng, nasi putih dan sambal cabai hijau yang nikmat. Harry membawa menu cadangan berupa abon cakalang dan abon sapi. Dugaan saya menu-menu cadangan itu untuk berjaga-jaga jikalau menu yang ada tak sesuai dengan lidah.

Saya suka terinya. Dan baru menyadari keesokan harinya bahwa tak semestinya saya makan menu itu secara liberal. Suara saya serak dan hampir hilang selama berhari-hari setelahnya.

Setelah makan, saya kebingungan mencari minum. Gelas-gelas bambu itu sudah dipakai semua orang. Lalu Harry menawari saya gelas yang dipakainya. Dan saya berseloroh,”Tadi kamu minum dari sebelah mana?” sambil mata saya pura-pura arahkan ke sekeliling bibir gelas sebelum meneguk air putih dari botol kaca berukuran besar yang dipakai menampung air minum. Kami tergelak. Di saat seperti ini, rasanya sudah tidak mungkin memikirkan standar higienis modern yang kami biasa terapkan. Saya teguk saja air dari gelas itu tanpa ingin tahu jawaban Harry.

Ada yang aneh dari rasa air putih yang saya teguk. Saya berkali-kali meneguknya untuk memastikan bahwa saya minum air putih, bukan kopi. Mungkin saja ini bekas minuman sebelumnya, karena saya baru ingat mereka tak memakai sabun apapun di kampung ini. Jadi, kemungkinan besar ada yang meminum kopi sebelumnya. Dan rasa itu terus melekati permukaan gelas bambu itu.

Kemudian kami berkumpul di beranda dua rumah yang kami inapi dan kebetulan berhadap-hadapan. Anggap saja ini sebuah acara “Saturday Night Live”. Seorang bintang tamu istimewa yang akan diwawancara hingga tuntas sampai audiens puas dihadirkan. Seorang pembawa acara bercakap-cakap menguras deposit informasi menarik dalam benak pembicara.

Bedanya malam itu, semua orang dalam rombongan kami adalah bintang tamunya. Dan satu persatu harus menjawab pertanyaan “pengalaman apa yang paling berkesan selama melakukan perjalanan?” dan “apa yang paling berkesan selama dalam perjalanan ke perkampungan Baduy ini?”

Dan karena kampung ini tak dialiri listrik sama sekali, kami hanya bisa menerangi diri dengan lilin-lilin elektrik dengan baterai. Satu persatu kami membagikan cerita. Sembari mendengarkan, pandangan saya arahkan tidak ke sumber suara tetapi malah lebih banyak ke angkasa raya. Pemandangan malam itu langka sekali saya bisa nikmati. Bintang-bintang seperti butiran kristal swarovski yang ditebarkan secara acak di permukaan kain beludru hitam yang maha lebar. Suatu kemewahan yang tidak bisa dibeli orang-orang di kota-kota yang sudah dialiri listrik.

Dari cerita-cerita itu, saya bisa simpulkan rombongan kami terdiri dari berbagai jenis pengelana. Ada yang sudah menjelajah ke mana-mana di dalam negeri sendiri seperti Didi, ada pula yang sudah menjejakkan kaki berkali-kali ke negeri manca. Ada pula yang baru ke daerah-daerah yang dekat dan familiar serta populer bagi kebanyakan orang, seperti saya.

Sebuah cerita perjalanan menarik menurut saya sendiri tidak perlu jauh dan berbiaya mahal. Asal kita setelahnya membawa pulang ‘oleh-oleh’ yang tidak ternilai harganya. Bukan oleh-oleh yang selama ini bisa peroleh di toko-toko suvenir atau makanan khas lokal (meskipun itu juga tak kalah menggoda) tetapi oleh-oleh yang berupa pelajaran dan hikmah atau pengetahuan yang baru yang kita bisa simpan lalu amalkan dalam kehidupan dan bisa kita pakai untuk memperkaya makna kehidupan kita dan orang-orang di sekitar kita. Seperti apa yang dialami oleh Didi dalam perjalanannya ke sebuah pulau yang bernama Benggala yang ternyata adalah pulau yang berlokasi di titik paling barat nusantara. Sementara itu, ada lagi pulau terluar di barat, yang kata Didi ialah pulau Rondo. Dari pengalaman perjalanannya itu, Didi mendapatkan sebuah pemahaman yang membuka mata atas asumsi keliru bahwa Sabang atau Pulau We ialah titik terluar di barat Indonesia. Didi menjelaskan Pulau Benggala memang tak banyak dikenal orang karena tidak sembarang orang bisa memasukinya. Konon tersimpan cadangan minyak yang tidak sedikit di sini dan TNI membangun pertahanan di sini agar negara-negara lain tidak begitu saja mengklaimnya sebagai wilayah mereka. Jadi, jangan berharap bisa sembarang orang singgah lalu berwisata hura-hura di pulau Bengal itu. Didi saja harus mengantongi perizinan yang rumit dan berliku untuk bisa masuk ke dalamnya, baik dari pihak kampus tempat studinya sendiri serta pendekatan khusus dengan pihak TNI yang berpangkalan di sana.

Didi ini pengalana muda yang istimewa. Ia baru saja lulus kuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Arsitektur Vernakular. Sebelum saya meminta penjelasan atas nama jurusan yang sangat akademik itu, pemuda berambut ikal dan berhidung mancung ini menjelaskan bahwa dalam jurusan arsitektur vernakular, ia mempelajari arsitektur yang berkaitan erat dengan rumah-rumah adat di nusantara atau seantero dunia yang membawa makna sederhana. Makna dan lambang di dalam rumah-rumah yang dipelajari dalam arsitektur vernakular ini tidak serumit apa yang kita temui dalam rumah-rumah di kebudayaan Jawa yang dikenal memiliki kandungan simbolis dan filosofis yang sarat dan berat.

Didi mengatakan rumah-rumah Baduy Dalam ini tergolong rumah yang menerapkan konsep arsitektur vernakular sebab dibangun sesuai dengan kondisi lingkungannya. “Adanya di sekitarnya bambu ya mereka memakai material bambu untuk rumah,” terangnya. Pokoknya tidak ada unsur impor. Semua material yang dipakai untuk membangun rumah dapat diperoleh dalam jarak dekat. Sungguh kearifan lokal yang kini makin langka tetapi juga mulai dipuja, karena dengan demikian, kita diajak kembali untuk memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita tanpa harus rakus menginginkan hal-hal di luar jangkauan. Dengan penerapan arsitektur vernakular, rasanya jejak karbon kita dalam membangun rumah juga pasti lebih rendah.

Sesi berbagi pengalaman ini menjadi momen refleksi yang jarang ditemui di perjalanan-perjalanan biasa. Sejauh pengetahuan saya orang-orang yang mengunjungi dan menyinggahi kampung Baduy Dalam ini tidak banyak yang tertarik untuk melakukan interaksi atau menggali lebih dalam mengenai kehidupan suku yang mengasingkan diri dari peradaban modern. Mereka menganggap kampung ini sebagai sebuah resor atau penginapan yang aman, sentosa dan damai sehingga datang, makan, menikmati alam, lalu beristirahat dan esoknya meninggalkan kampung itu cepat-cepat sebab sudah tak betah tidak bisa memakai ponsel, tidak bisa menggosok badan dengan sabun, menggosok gigi dengan pasta gigi, mandi dan buang air di toilet yang tertutup rapat dan menikmati segala aktivitas yang hanya bisa dijumpai di ibukota.

Sesi itu kami akhiri segera karena sejatinya sudah banyak yang mengeluh mengantuk karena kecapaian sepanjang hari. Ditambah dengan kurang tidur di malam sebelumnya karena berangkat pukul 3 pagi dan hanya bisa ‘tidur ayam’ di perjalanan darat yang medannya relatif menantang, kami sudah ingin meluruskan punggung dan kaki saja secepatnya.

Secara sembunyi-sembunyi saya lirik ponsel yang saya telah atur ke moda pesawat dan hening sejak kemarin sore. Layarnya menyala. Sudah pukul 21.15 rupanya. 

Malam saat kami beranjak tidur memang tidak begitu dingin. Namun, begitu lepas tengah malam hingga dini hari dan subuh, hawa dingin merasuk melalui lubang-lubang di dinding rumah Baduy yang terbuat dari anyaman bambu. (B)untung bagi saya, di atas saya, sebuah lubang di dinding bambu menganga cukup lebar. Jaket bisa membendung hawa dingin pegunungan ini dari pinggang ke atas tetapi kaki saya resah bergerak ke sana kemarin mencari kehangatan karena cuma berbalut celana pendek dan sarung yang terlampau tipis.

Pukul setengah lima, saya biasa terbangun tetapi di sini, saya memutuskan bangun lebih lambat. Faktor suhu salah satu alasannya. Yang lain ialah perkara cahaya. Sepagi itu, rasanya masih riskan untuk keluar sendirian. Semua orang masih mendengkur dan berbaring meringkuk di tikar jerami anyaman wanita-wanita Baduy. Saya tidak tahu apa yang ada di luar sana karena bahkan di dalam rumah, kondisinya pekat seluruhnya. Pembaringan saya di pojok ruangan membuat saya harus berjuang melompati banyak orang jika ingin bangun lebih pagi.

Kepala yang masih setengah mengantuk ini kemudian tak jadi tidur nyenyak lagi sebab tak berselang lama, seorang bayi menangis, meraung-raung dan seorang ibu menenangkannya dengan bicara lirih-lirih. Suara mereka begitu jelas jadi saya duga mereka ada di rumah sebelah. Rupanya ini alarm dari Yang Kuasa, pikir saya. Tetapi saya tetap tidak bisa bangun, hanya terpaku dan memejamkan mata menikmati kesadaran di sini, di lantai bambu sebuah rumah yang hanya dialasi tikar dan dikelilingi anyaman bambu dan dilingkupi atap ijuk. Saya menunggu ada orang di rumah ini yang terbangun. Tetapi semenit, dua menit, kemudian tak tahu berapa lama, karena putus asa, saya tertidur juga kembali begitu bayi itu tenang kembali.

Kami mengawali hari dengan yoga sekitar pukul 7 pagi. Dan sarapan pagi nasi goreng dengan telur dadar langsung meredam rasa lapar ini. Beberapa suap terakhir masih tersisa di piring saya hingga jaro atau kepala kampung adat di Cibeo menyambangi kami. Ia tampak sebagaimana pria Baduy Dalam biasa. Pakaiannya mirip dengan yang lain sehingga jika saya bertemu dengannya lagi kapan-kapan, saya pasti tidak bisa mengenalinya lagi dalam sekumpulan pria Baduy.

Bersamanya, kami duduk di beranda kembali. Saya buru-buru mencuci tangan lalu mengambil buku catatan saya dan merangkum percakapan kami. Dengan sabar, jaro menjawab pertanyaan-pertanyaan kami yang  kritis, iseng, dan kadang ‘gila’. Untuk tiap topik, saya berikan subjudul tersendiri di bawah ini.

__***__

FAUNA. Sesaat setelah lolos dari ujian terberat Tanjakan Cinta siang itu, pemandu kami Teguh berceletuk,”Di atas tidak akan ada hewan berkaki empat.” Yang ia maksud “di atas” tentu wilayah suku Baduy Dalam.

Tidak pernah terpikir oleh saya mengapa ada kondisi ganjil semacam itu. Apakah memang tidak ada hewan berkaki empat yang sanggup mendaki sampai sejauh kami? Hipotesis itu tentu kurang bisa diterima akal sehat karena binatang-binatang itu dapat dengan lebih mudah menjelajah alam bebas seperti bukit-bukit ini jika mau daripada manusia yang lebih banyak pertimbangannya. Dan apa yang Teguh maksud dengan binatang berkaki empat? Ia menjelaskan hewan yang dimaksud ialah sapi, kambing, kerbau dan hewan-hewan ternak sejenisnya.

Betul juga. Begitu kami memasuki perkampungan Suku Baduy Dalam di Cibeo, tidak saya jumpai seekor pun hewan-hewan ternak berkaki empat. Hanya saja, ayam-ayam berkeliaran bebas di sana-sini.

Jaro atau lurah kampung Baduy Dalam yang kami kunjungi ini membeberkan jawabannya pada kami. Dalam sebuah kesempatan, sang jaro ini bersedia duduk bersama kami untuk beraudiensi, layaknya seorang walikota atau gubernur yang menyambut tamu-tamu kehormatan dari negeri asing. Usai makan pagi nasi goreng yang berhias telur dadar yang dibuat oleh ibu pemilik rumah yang kami inapi satu malam, pria yang sudah menjabat sebagai jaro selama 25 tahun terakhir ini duduk di beranda rumah yang terbuat dari bambu dan dengan sabar menanggapi semua pertanyaan dan masukan dari para pendatang.

Dalam balutan pakaian khas berupa kemeja lengan panjang yang putih agak kecokelatan akibat waktu, jaro kampung Cibeo ini mengatakan bahwa hewan-hewan pemamah biak yang disebutkan tadi berpotensi menjadi hama pengganggu bagi tanaman padi yang sudah susah payah mereka tanam. Kucing menjadi satu pengecualian. Pertama karena ia bukan hewan pemamah biak yang gemar melahap rerumputan termasuk padi-padian. Kedua ialah karena kucing dianggap suku Baduy Dalam sebagai satwa domestik yang bermanfaat untuk mengusir tikus dari rumah. Saya sendiri belum sempat menemukan seekor tikus pun di sekitar permukiman ini. Entah karena saya beruntung atau bagaimana. Tetapi itu juga menjadi sebuah kelegaan, karena jika tikus jarang ditemui di sekitar perkampungan, ular pun akan lebih jarang, karena jika kita masih ingat pelajaran rantai makanan dalam pelajaran biologi, tikus adalah makanan ular. Jadi, adanya kucing secara alami mengendalikan – kalau tidak bisa dikatakan memusnahkan – secara tidak langsung populasi ular di sekitar perkampungan. Saya sendiri tidak bisa membayangkan jika saat mandi di sungai ada ular yang tiba-tiba berenang menuju ke arah saya. Untuk perkara mandi di sungai, akan saya bahas tersendiri juga nanti.

Pertanyaan tidak terhenti di situ. Bagaimana dengan anjing? Anjing memang kami sempat temukan di wilayah kampung Baduy Luar meskipun jumlahnya juga tidak sebanyak yang kita bisa temukan di Bali. Tetapi anjing-anjing itu berkeliaran bebas. Tidak dikungkung atau diikat oleh pemiliknya sebagaimana yang dilakukan orang di perkotaan Jawa. Di sini, saya duga karena suku Baduy tidak memeluk Islam, mereka lebih liberal dalam menyikapi kehadiran anjing di sekitarnya.

Jaro kami ini juga mengamini bahwa orang Baduy tidak menyingkirkan anjing dalam kampung mereka. Justru anjing diperlukan karena bisa memberitahukan pada mereka bahwa ada manusia atau hewan yang tidak mereka kenal atau berniat buruk yang masuk ke wilayah rumah sang majikan. Aspek keamanan ini begitu penting sebab manusia Baduy tinggal di tengah hutan, tempat banyak potensi bahaya juga tersembunyi.

Ayam menjadi ternak kesukaan orang Baduy Dalam sebab hewan ini tidak peduli dengan tanaman padi yang menjadi sumber pangan utama. Mungkin ayam suka dengan beras, tetapi saat masih dalam bentuk padi, kecil kemungkinan ayam ingin mematukinya untuk memenuhi tembolok.

Karena itu, dalam berbagai kesempatan seperti hajatan, kematian, dan peristiwa penting lainnya dalam kehidupan manusia Baduy, daging ayam potong segar yang dipelihara secara organik (karena suku Baduy sama sekali tidak memakai pupuk buatan kimiawi buatan pabrik di sawah mereka) menjadi hidangan andalan. Jumlah ayam yang dipotong untuk perhelatan besar semacam itu bisa mencapai 500 ekor.

Uniknya, di kampung Baduy ini, ayam-ayam yang ada dibiarkan berkeliaran bebas. Memang ada yang dikandangkan tetapi lebih banyak yang tidak. Ayam-ayam itu kata sang jaro sudah diketahui siapa pemiliknya. Tanpa harus memberi label atau tanda pada bulu di sayapnya. 

‘LARANGAN’ PINTAR. Menjadi cerdas seolah sudah menjadi ambisi dan impian masyarakat modern. Kita diajarkan untuk menjadi makhluk yang haus informasi dan ilmu pengetahuan. Di mana-mana, kalau ada waktu, membacalah, begitu nasihat yang sudah tertanam dalam benak kita. Terus belajarlah sampai ke negeri China, begitu bahkan petuah dari agama. Dari segala arah, manusia modern sudah dibentuk sedemikian rupa untuk terus bersaing dan menyempurnakan kecerdasan mereka.

Lain halnya dengan orang-orang Baduy, terutama Baduy Dalam. Alih-alih mendidik anak-anaknya agar sepintar mungkin, masyarakat Baduy lebih memilih untuk memberikan kesempatan belajar secukupnya dan membatasi agar jangan sampai terlalu cerdas.

“Karena saat seseorang terlalu pintar, ia bisa membohongi orang lain,” ujar jaro.

Saya termangu. Ada hal-hal yang dianggap sebagai penderitaan, atau ketertinggalan yang bukannya dihindari tetapi malah dipilih secara sadar dan tanpa paksaan oleh orang, atau dalam kasus ini, sekelompok orang. Dan saya tidak bisa menghakimi ini sebagai suatu kepandiran. Ini pilihan hidup mereka dan kita sebagai orang luar mestinya menghargai.

PERMUKIMAN. Permukiman orang Baduy tidak stagnan, atau sama dari waktu ke waktu. Seperti halnya masyarakat lain yang dinamis, permukiman Baduy juga terus berubah-ubah dalam banyak aspek. Mengenai jumlahnya, ternyata bisa terjadi pertambahan sesuai kebutuhan.

Satu rumah yang dibangun bisa berisi satu atau dua keluarga. Sebuah rumah yang saya tempati satu malam bersama teman-teman serombongan juga dihuni satu keluarga besar yang kebetulan adalah keluarga Damin, salah satu anak laki-laki yang turut berjalan kaki bersama kami membawakan barang bawaan. Di akhir pekan seperti sekarang mereka menyewakan ruangan luar rumah sederhana berdinding anyaman bambu dan beralas tikar anyam itu dengan traif sukarela. Jadi, kalau bisa dikatakan mereka mirip host di layanan AirBnB. Jumlahnya mungkin tidak seberapa jika dibandingkan penghasilan manusia urban tetapi toh jumlah sebesar itu bisa menghidupi sebuah keluarga dengan 8 anak seperti di keluarga ini.

Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, papan juga menjadi fokus penting dalam kehidupan masyarakat Baduy. Biaya pembangunan setiap rumah di perkampungan Baduy diperoleh dari si pemilik rumah. Mereka harus menyiapkan materialnya yang sebagian besar adalah bambu, kayu keras dan dedaunan. Namun, untuk tenaga, pemilik dibantu oleh warga lain juga dalam proses pendiriannya.

Yang unik, dalam bangunan rumah dan apapun di suku Baduy Dalam, penggunaan paku sama sekali dilarang. Sehingga yang kita bisa jumpai di rumah-rumahnya hanyalah pasak kayu atau penyusunan bahan yang lebih taktis untuk mengakali ketiadaan paku sebagai perekat antarelemen bangunan. Suku Baduy Luar lebih fleksibel perkara paku. Bangunan rumah mereka masih diperbolehkan memakai paku.

KEBERSIHAN DIRI. Salah satu sumber frustrasi para wisatawan urban di daerah ini ialah larangan tegas untuk menggunakan bahan-bahan pembersih badan dan rambut yang mengandung zat dan senyawa kimiawi buatan pabrik. Larangan tersebut bukannya tanpa alasan. Selain karena memang bungkus plastik kemasannya bisa menambah gunungan sampah plastik di alam terbuka, air bilasan dari penggunaan produk-produk perawatan semacam itu juga bisa mencemari lingkungan. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika larangan itu tidak ada, padahal sungai menjadi satu-satunya andalan kami dalam berbagai urusan mandi, cuci, sampai kakus!

Tetapi karena adanya larangan tegas tersebut, saya yang terbiasa mandi di ruangan tertutup dan air bersih yang sudah disedot sedemikian rupa dari dalam perut bumi, bisa juga menikmati sesi mandi di alam terbuka dengan air mengalir di permukaan tanah tanpa ada rasa cemas yang berlebihan jika ada kotoran atau hal-hal semacamnya. Air yang mengalir begitu bersih dan jernih serta alirannya konstan. Tidak ada kotoran yang tertahan. Jikalau ada butiran pasir atau tanah pun bisa dibilas lagi.

Sebagai pengganti shampo dan sabun, masyarakat Baduy memakai bahan-bahan alami dari dedaunan untuk membersihkan diri. Untuk pengganti sikat gigi, sang jaro mengatakan sabut kelapa bisa dipakai membersihkan gigi. Daun hejo juga dapat dipakai untuk mencuci rambut.

Perkara perapian rambut, masyarakat Baduy tidak mengenal gaya rambut yang bermacam-macam. Mereka juga tidak mengenal adanya profesi penata rambut (hair stylist) atau juru potong rambut (barber). Dalam pengamatan saya, pria-pria Baduy memilih membiarkan rambut mereka tergerai sepanjang telinga atau bahu. Tidak lebih dari itu. Sementara para perempuan memanjangkan dan memelihara rambut mereka sampai ke pinggang. 

MCK. Tidak ada yang paling membuat stres di kampung Baduy ini bagi kami selain urusan ke belakang. Apapun kami bisa tahan tetapi soal mandi, cuci dan kakus, sebagian dari kami tidak bisa menolerir. Tidak bisa tidak, kami harus mandi tanpa bisa dilihat orang lain. Dan alternatifnya cuma dua: mandi sebelum atau sesudah semua orang mandi atau mandi di tempat yang agak jauh dari permukiman (yang sebenarnya juga tidak beratap juga jadi tidak sepenuhnya kebal pandangan mata manusia lain).

Sungai menjadi tempat kami melakukan segala aktivitas yang amat sangat pribadi tersebut. Dan ketiadaan pembatas menimbulkan rasa segan, rikuh, dan tertekan. Kegiatan mandi menjadi suatu perbuatan yang harus dilakukan dengan kewaspadaan yang tidak ada redanya dan kehati-hatian ekstra serta perasaan penuh curiga. Pandangan terus disebarkan ke sekeliling. Dan memikirkan kemungkinan pakaian hanyut atau hilang terbawa orang atau sengaja dibawa orang makin membuat kepala pening. Pertanyaan “bagaimana jika…?” yang terus menghantui membuat mandi cukup menguras tenaga dan pikiran.

Sebelum mandi, saya mengkondisikan diri agar dapat menganggap kegiatan mandi sebagai suatu aktivitas berenang bersama yang mengasyikkan. Karena di sana juga tidak boleh memakai sabun, jadi berenang dan mandi terlihat sama saja. Dan itulah yang saya saksikan dan pelajari dari anak-anak Baduy yang mandi di sungai. Mereka melakukannya dengan riang gembira. Sementara orang-orang tua melakukannya sebagai kewajiban. Dan orang-orang luar yang dengan angkuhnya merasa lebih maju dan modern seperti kami menganggap mandi di alam terbuka sebagai suatu kenistaan yang tidak patut dilakukan, sangat purba, menjijikkan, permisif dan sinting.

Jika kita mencermati tata letak zona permandian di sepanjang sungai ini menunjukkan pemikiran orang Baduy juga. Begini letaknya dari hulu ke hilir: zona atas, tengah dan bawah. Zona atas ialah yang paling dekat ke hulu dan khusus diperuntukkan bagi para tetua adat Baduy. Dua kali saya mandi di sungai, saya belum pernah sekalipun menemukan tetua adat mencelupkan tubuh di sana.

Zona tengah, yang dekat dengan jembatan penyeberangan, diakses khusus oleh para pria dan anak laki-laki. Di bawah jembatan tersebut, terdapat sebuah palung yang cukup dalam. Mungkin setinggi leher orang dewasa. Karena tidak dapat berenang dengan baik, saya hindari area ceruk dalam itu dan memilih menjauhi jembatan serta memilih berendam santai sambil menggosok tubuh dengan bebatuan yang ada di dasar kali.

Sementara itu di zona bawah, para perempuan dipersilakan membasuh tubuh. Dari sini kita bisa ketahui bahwa masyarakat Baduy bersifat patriarkis karena perempuan-perempuan Baduy segala usia harus rela menggunakan air sisa mandi dari para tetua (yang notabene juga pria) dan suami, saudara laki-laki, atau anak laki-lakinya. Bahkan air sisa mandi para pria pendatang yang tidak dikenalnya!

Sebetulnya jika kita mau berjalan lebih jauh lagi agak jauh dari permukiman, ada dua bilik tertutup yang bisa dipakai mandi. Tetapi tetap saja meskipun ada dinding jerami sebagai penghalang pandang, Anda akan mandi dengan menatap langit.

Sekembalinya ke Jakarta, kami mengobrol soal MCK. Ada yang mengaku menahan selama di perkampungan. “Sampai Jakarta, langsunggg!” katanya penuh kelegaan. Ada juga teman yang berhasil menyelesaikan ‘hajat’ di sana. “Pantas tidak ada sepagian,” seloroh seorang yang lain menyadari ketidakhadiran temannya di acara tur.

Saya sendiri bukan tipe orang yang bisa melampiaskan urusan pembuangan secara serampangan. Buang air kecil masih bisa diselesaikan dengan santai. Namun, soal buang air besar, sungguh sulit. Mungkin karena dehidrasi juga. Karena sepanjang perjalanan, keringat mengucur tanpa ampun.

Kebiasaan ke toilet atau kamar mandi sebelum tidur terasa jauh lebih mudah di rumah. Di sini, kami tidak bisa sembarangan ke kali di malam hari sebab medannya yang tidak rata dan siapa tahu ada satwa yang kehadirannya tak terduga dan bisa membuat celaka? Maka sebelum berangkat tidur, kami yang laki-laki secara berkelompok saling menjagai saat ingin kencing di malam hari. Baru kali ini, kami kencing berdiri, di tepi kali, lalu menjerit-jerit minta diterangi tetapi begitu disoroti, kami minta jangan terlalu diterangi. Intinya serba salah. Ingin melihat tetapi juga tidak ingin dilihat. Saya sendiri berdoa supaya tidak ada ular yang iseng berenang melintasi titik tempat kami bergerombol. Jika ada, tamatlah kami dipatuknya.

PLASTIK YANG MENGGELITIK. Jika Anda memiliki kesukaan untuk berperilaku aneh, biasanya Anda akan dihapal oleh orang-orang di sekitar Anda. Dan demikianlah yang terjadi di situ juga. Siang itu setelah sesi yoga dan salat zuhur di alam terbuka di tepi sungai perkampugan Baduy Luar, saya menyempatkan diri untuk berfoto dengan dua anak laki-laki Baduy Dalam yang membawakan barang-barang beberapa orang: Aceng dan Damin.

Mereka berdua tidak banyak berekspresi. Aceng dan Damin hanya bermimik muka datar saat saya ajak berfoto bersama. Saya berdiri di belakang mereka dan melakukan pose yoga bernama durvasana yang menurut saya ‘praktis’ karena tak mesti mencari tempat yang bersih atau rata. Cukup dengan berdiri tegak lalu menaikkan satu kaki ke belakang kepala, saya sudah bisa mencapainya.

Amor, teman saya yang saya titipi untuk menjepret kami bertiga, duduk dan berancang-ancang memberikan aba-aba. Saya fokus ke ponsel berkamera saya dan memasang senyum lebar. Dalam tiga kali jepret, saya amati Damin lebih salah tingkah daripada Aceng. Aceng lebih alami dan tidak setegang sahabatnya itu dalam berpose. Damin lebih pemalu dan cenderung mengarahkan pandangannya ke bawah, ke tanah tempat dedaunan mati berserakan tanpa pernah tersapu.

Selain rombongan kami, di sana juga duduk sejumlah penjual makanan dan minuman instan sebagai pengisi tenaga kami yang sudah kepayahan mendaki. Sebenarnya saya agak menyayangkan masuknya makanan dan minuman instan semacam itu ke daerah ini. Pasalnya makanan dan minuman semacam itu terbungkus dalam kemasan plastik, yang pasti menimbulkan gunungan atau ceceran sampah plastik di mana–mana. Dan jika makanan instan berkemasan plastik sudah hadir di sebuah daerah di Indonesia, kita bisa pastikan tingkat kebersihannya sudah menurun.

Perjalanan kami akan dimulai lagi ke kampung Baduy Dalam. Harry dan Johar meminta kami semua memperhatikan sampah-sampah yang kami hasilkan sepanjang kami singgah di tepi sungai. Pokoknya jangan sampai dibiarkan begitu saja mengotori lingkungan Baduy Luar ini. Penanganan sampah di sini ternyata sederhana, hanya dikumpulkan dalam sebuah kantong (plastik pula) untuk kemudian dibakar, demikian kata pemandu perjalanan kami, Teguh.

Mendengar jawaban ini, Johar dan saya sebenarnya tersentak juga. Johar berusaha menolak pembakaran sampah kami tetapi saya tahu ia tidak memiliki ide penanganan lain yang lebih masuk akal dan realistis. Apa boleh buat, kami pun tak bisa berbuat apa-apa. Saya juga cuma bisa membisu.

Melontarkan ide daur ulang sampah plastik itu tampaknya juga akan membutuhkan tindak lanjut yang panjang dan kompleks. Itu memang idealnya. Tetapi di sana saat kondisi itu, rasanya tidak mungkin dengan pongah dan idealis saya berkata,”Jangan dibakar. Daur ulang saja.” Saya sadar setelah memberikan saran semacam itu, bakal harus ada penjelasan yang lebih pelik dan pengajaran yang konkret. Berbicara sungguh mudah.

Kami pun mendaki kembali siang itu. Kami lewati ladang-ladang di perbukitan tinggi yang bermandikan sinar matahari yang teriknya tidak terbendung awan. Dan persoalan sampah plastik yang menjadi isu laten itu agak terlupakan. Namun, sejujurnya dalam hati saya tetap resah juga.

Hingga saat jaro (kepala adat di kampung) perkampungan Baduy Dalam yang kami singgahi bertandang ke beranda rumah pagi itu setelah kami menyantap sarapan pagi. Salah satu pertanyaan yang dilancarkan kepadanya juga tentang penanganan sampah plastik di kampung.

“Bagaimana penanganan sampah plastik yang dibawa oleh pendatang ke sini (kampung Cibeo)?” tanya Johar pada sang jaro.

Saya sendiri sudah menduga jawabannya setelah menyaksikan adegan di hari sebelumnya saat kami hendak berangkat mendaki setelah beryoga di tepi sungai.

“Sampah plastiknya kami kumpulkan untuk dibakar. Daripada berserakan,” ucap jaro yang bijak itu tenang.

Pengumpulan sampah plastik memang sudah relatif baik di kampung ini. Di depan beranda setiap rumah, ada sebuah anyaman bambu yang bentuknya mirip ember dan ternyata difungsikan sebagai pengumpul sampah. Dan karena para pengunjung di akhir pekan ramai, saat saya saksikan sampah begitu memenuhi wadah tadi. Dan kebanyakan adalah sampah kemasan makanan dan minuman instan.

Jaro mengakui bahwa masyarakat dan para tetua adat di kampungnya belum memiliki suatu skema penanganan sampah plastik yang terpadu dan sistematis. Saya bisa memakluminya karena sampah plastik sejatinya masalah luar yang diimpor ke dalam. Tentu mereka tidak memiliki sumber daya untuk menghadapinya. Mestinya orang-orang luar Baduy-lah yang tahu diri untuk tidak membawa sampah plastik dalam bentuk apapun ke dalam.

Kami pun mengusulkan agar warga Baduy Dalam jangan sampai disusahkan dengan penanganan sampah plastik itu. Membakar sampah plastik itu saja sudah suatu tindakan penghasil pencemaran udara. Dan patut dicamkan juga bahwa asap hasil pembakaran plastik mengandung racun yang tidak hanya berbahaya buat manusia yang ada di sekitarnya tetapi juga pastinya ekosistem alami Baduy yang relatif masih terjaga.

Di sekitar perkampungan Cibeo itu saya memang tidak sempat menemukan lokasi pembakaran sampah plastik tetapi saya duga pastinya ada. Hanya saja lokasinya tersembunyi jauh dari perkampungan.

Jaro menampik halus usulan solusi kami, mengatakan bahwa mereka tidak tega membuat pengunjung kerepotan dengan mengurus dan membawa sampah plastik lagi. Saya kemudian ingat bahwa orang-orang Baduy Dalam ini begitu ramah dalam memperlakukan kami saudara-saudara mereka dari luar. Mereka mendahulukan tetamu sebelum menyantap dan meneguk apapun. Dan soal sampah plastik, mereka juga segan menegur pengunjung luar untuk mengurus soal itu sendiri. “Kami tidak tega dan tidak ingin merepotkan jika mengingatkan,” terang jaro.

Warga Baduy Dalam juga kurang memiliki ketegasan dalam menghadapi para penjual makanan dan minuman instan dari luar sehubungan dengan sampah plastik yang dihasilkan dari kegiatan niaga mereka dengan turis-turis di sini.

Seperti seorang pria pedagang mi instan dan minuman sachet yang sekonyong-konyong menghampiri saya setelah beberapa saat menyaksikan saya bersantai di beranda setelah trekking yang melelahkan.

Dalam bahasa Sunda yang saya kurang pahami, ia bercakap-cakap dengan Damin dan Aceng sembari sesekali terkekeh memandangi saya. Saya menduga ia ingin memastikan pada Aceng dan Damin bahwa saya adalah orang yang berfoto dalam posisi berdiri di satu kaki dan menaikkan satu kaki di belakang kepala. Orang yang aneh, langka dan hanya satu-satunya ada di rombongan turis lokal yang ia jumpai hari itu.

Begitu ia yakin saya adalah orang yang ia ingat, pria itu mendekati saya tanpa meninggalkan beranda yang ia duduki di rumah seberang. Tetapi kali ini kami berhadap-hadapan lebih dekat.

Tanyanya pada saya kemudian,”Mas, biasa olahraga ya?”

Saya terbengong-bengong, tidak menyangka akan disuguhi pertanyaan seperti itu. Saya sudah biasa menghadapi pertanyaan ini di Jakarta tetapi di sini saya sama sekali tidak menduga ada yang tertarik dengan yoga.

“Ya, mas. Sudah biasa. Hehe,” tukas saya, mencoba beramah tamah dengannya. Saya mencoba mempertahankan aliran percakapan,”Tinggal di sini?”

“Tidak. Saya dari kampung luar sini,” dalam bahasa Indonesia yang berakses Sunda ia menjawab singkat. Pakaiannya memang menunjukkan ia bukan warga Baduy Dalam. Ia memakai kaos jersey sebuah klub sepakbola negeri asal pizza. Celananya jeans biru tua yang bisa ditemukan di toko-toko pakaian di pasar-pasar tradisional atau toko pakaian di Lebak.

Pria ini ialah salah satu orang dari rombongan pedagang yang mengiringi kami selama trekking. Mereka juga berjalan kaki di bawah sengatan mentari, sampai kulit legam dan berkilau.

Masyarakat Baduy Dalam di kampung Cibeo ini terbilang relatif terbuka daripada kampung Baduy Dalam lainnya. Mereka membuka diri terhadap kunjungan orang luar dan bahkan menganggap kedatangan mereka sebagai berkah, bukan bencana. Pariwisata budaya ini mereka jadikan sumber penghasilan yang bisa memacu kesejahteraan.

Hanya saja, seperti tren pariwisata pada umumnya, eksploitasi berlebihan menjadi momok yang menakutkan. Dan di sini mereka belum memikirkan kemungkinan terjadinya kerusakan yang berpotensi muncul dan mengganggu keseimbangan ekosistem alam sekitar dan kondisi keseluruhan masyarakat di dalamnya.

Masyarakat Baduy Dalam di sini belum memahami batas tipis antara pariwisata massal dan ekoturisme. Yang pertama lebih berorientasi kuantitas dan volume dan bersifat eksploitatif tanpa kendali. Yang kedua lebih beretika, terkontrol, terencana, tidak serampangan dan mengindahkan kelestarian dan daya dukung lingkungan sekitar.

Klaim saya ini terbukti setelah kami secara spontan menanyakan dan mengusulkan adanya peraturan kuota yang diberlakukan segera agar kampung tersebut tidak diluberi wisatawan secara berlebihan. Layaknya orang berkunjung ke sebuah tempat suci untuk berziarah seperti berhaji, diperlukan pembatasan jumlah orang luar yang memasuki wilayah tersebut agar ketertiban dan kebersihan kampung tetap terjaga.

Masyarakat Baduy Dalam masih memerlukan masukan dari kita mengenai solusi-solusi yang baik untuk memaksimalkan upaya-upaya dalam memanfaatkan potensi wisata budayanya sambil memelihara kelestarian dan kemurnian budaya dan alam sekitarnya. 

MENGHAYATI BADUY. Saya duduk di beranda sore itu. Beranda rumah orang Baduy Dalam lain dari beranda rumah orang Baduy Luar. Baduy Dalam merancang rumah mereka tidak sebagai tempat untuk bekerja (terutama bagi kaum Hawa untuk mengerjakan tenunan kain mereka) sehingga luas berandanya ala kadarnya. Barangkali cuma bisa untuk menempatkan bokong saja tanpa bisa meluruskan kaki. Kaki mesti menjuntai ke bawah jika ingin duduk santai dan bercakap-cakap lama dengan banyak orang.

Di ambang pintu rumah yang saya tinggali semalam itu, saya mendengar lamat-lamat dua jenis percakapan yang berlainan secara bersamaan. Di dalam dinding anyaman bambu, percakapan khas orang-orang urban mengalir tanpa henti. Soal dunia akademik, perkuliahan, lalu berlanjut ke pekerjaan, pendidikan, dan prestise dan tetek bengek kehidupan masyarakat perkotaan. Semua pembicaraan itu tentang dunia luar, dunia yang asing dari tempat yang kami sedang pijak sekarang.

Sementara itu, di luar rumah, saya dengarkan di waktu bersamaan sekelompok pria Baduy Dalam yang bercakap-cakap dalam bahasa Sunda Kasar yang hampir saya tidak bisa pahami.

Dua percakapan yang membuat saya kebingungan. Yang pertama membuat saya segan mengikuti karena saya sedang ingin menghayati pengalaman hidup di sini, jadi apapun soal dunia luar saya coba sekuat mungkin tinggalkan sejenak. Saya ingin tidak hanya tubuh kasar saya yang berada di kampung Baduy ini tetapi juga segenap pikiran dan jiwa saya. Karena ini saat-saat yang langka dan mungkin tidak akan terulang lagi. Begitulah saya selalu mencoba menghargai tiap momen ini. Saya yakin tidak ada hari atau kesempatan yang sama. Sabtu ini berbeda dengan Sabtu depan meskipun sekilas masih sama-sama bernama Sabtu.

Kang Cecep dari rombongan kami mengusulkan bahwa agar pengalaman tinggal di perkampungan Baduy Dalam lebih mengesankan, akan lebih baik jika segala perlengkapan dan peralatan yang dibawa dari ‘dunia luar’ Baduy dititipkan di sebuah pos khusus untuk kemudian dibawa kembali jika kunjungan sudah selesai.

Dan tidak lupa supaya lebih menghayati kehidupan orang Baduy Dalam, kami juga usulkan untuk memperbolehkan pengunjung mengenakan busana Baduy. Jadi, di sini tidak ada orang yang pakai kaos dengan tulisan aneh-aneh ala anak kota, atau celana pendek (hotpants) yang minim.

Jaro yang menemui kami menampik gagasan tersebut. Menurut hematnya, mereka warga Baduy Dalam sendiri merasa tidak tega untuk menyusahkan pengunjung sampai harus melucuti mereka dari pakaian yang biasa mereka kenakan dan berganti mengenakan pakaian tradisional seperti mereka. “Lagipula nanti susah membedakan mana orang Baduy dan yang pendatang,” jaro beralasan. Kami menerima argumentasinya itu. Masuk akal juga. Maka kami tidak memaksa lagi.

Saya sendiri bergidik jika gagasan itu diterima dan diterapkan. Bagaimana tidak? Para pria Baduy Dalam ini konon tidak mengenal pakaian dalam. Karena itulah, mereka duduk dengan kedua kaki terlipat rapat. Selalu. Meskipun ada argumentasi ilmiah bahwa tidak memakai celana dalam  apalagi yang ketat lebih kondusif bagi kesuburan, tetap saja saya tidak terlintas untuk mengaplikasikannya di luar rumah apalagi saat bepergian dan bertemu dengan banyak orang. Jadi, tidak terbayang bagaimana leganya saya karena jaro sudah menolak ide itu mentah-mentah.

Meskipun memiliki citra introvert dan konservatif, masyarakat Baduy terutama yang lelaki tidak sepenuhnya anti terhadap dunia luar. Sebagian dari mereka kadang berkunjung ke kota besar seperti Jakarta.

Jika kita menempatkan diri kita sebagai seorang manusia Baduy Dalam, memandang dunia luar tentu kita anggap sebagai sebuah dunia penuh kebebasan sementara kampung halaman sebagai tempat yang penuh kekangan. Dan kita pasti lebih merindukan kebebasan itu. Namun, mereka tidak merasakan hal itu. Mereka lebih merasa rindu pada kehidupan desa yang tenang.

Jaro kampung Cibeo ini sendiri pernah diajak berkunjung ke Jakarta. Ia bersama temannya yang pernah bertandang ke rumah mengajak untuk menonton film Barat di bioskop. Bioskop yang pernah ia kunjungi ada di Pondok Gede dan juga Mal Taman Anggrek. Bahkan mereka sempat menginap di sebuah apartemen di lantai 20.

Sebagai pihak luar, saat berada di Jakarta, warga Baduy tentunya mengalami banyak gegar budaya dan sosial sebagaimana yang warga urban alami di perkampungan Baduy. Perjuangan mereka untuk bertahan di Jakarta tentu lain dari kita yang memiliki cara hidup dan pemikiran yang hampir sama dengan masyarakat Jakarta. Ditambah lagi dengan tingginya angka kriminalitas di ibukota serta beragam risiko lainnya yang bisa datang dari interaksi kultural dan sosial, warga Baduy yang menyambangi Jakarta pasti mengalami saat-saat sulit. Jaro yang pernah ke Jakarta itu mengatakan tidak tebersit dalam pikirannya bahwa diri mereka akan tertimpa tindakan kriminal di kota besar.

Di kampung-kampung Baduy, angka kriminalitas hampir nol. Tidak ada bahkan, kata jaro yang kami ajak bicara. Kasus-kasus pencurian, perzinahan, dan segala macam penyakit masyarakat yang menjangkiti masyarakat modern di luar sana jarang sekali dijumpai di sini.

Warga Baduy yang melanglang buana ke luar daerahnya biasanya bukan karena keinginan sendiri tetapi lebih karena diundang oleh orang luar. Tetamu dari kota-kota besar seperti Jakarta kerap mengundang mereka untuk bersilaturahmi atau beranjangsana. Jika mereka beruntung, mereka akan disediakan oleh si pengundang segala moda transportasi dan tetek bengeknya. Tetapi jika tidak, mereka akan tetap berangkat juga. Dan untuk membiayai perjalanan ke Jakarta demi memenuhi undangan tadi, mereka mesti berjualan sepanjang perjalanan. Pria-pria Baduy itu berkelana ke jalan-jalan kota Jakarta tanpa alas kaki dan lazimnya karena mereka tak memiliki dana untuk menyewa tempat menginap, mereka bisa meminta pertolongan aparat kepolisian untuk menyediakan kantornya sebagai tempat menginap semalam saja. Selain kantor polisi, mereka juga biasa tidur di kantor satpam, kenalan yang berbaik hati dan kebetulan memiliki rumah yang luas, serta masjid.

Dan jaro yang kami tanyai menjawab begini saat kami tanya apakah mereka iri atau tidak melihat gemerlapnya Jakarta:”Kami tidak merasa iri. Semua sudah ada tempatnya masing-masing…” (*/)

Ella

Hari sudah beringsut temaram. Ia makin resah dan lelah. Nekat meski uang sudah tidak seberapa menjelang hari raya, gadis muda itu melambaikan taksi di depannya. 

Toh THR akan segera ditransfer. Ia hanya mau pulang segera ke rumah. Ada nenek dan kakeknya di sana menunggu. 

“Mereka pasti cemas kalau aku pulang lewat beduk Maghrib,”batin Ella. 

Hampir putus asa, Ella lambaikan lagi tangannya. Lemah tetapi tidak gemulai. Ia sudah dehidrasi berat seharian di dalam ruangan berpendingin. Bibirnya pecah-pecah. Tenggorokannya tercekat saking keringnya. 

Taksi itu berkelebat melewatinya. Ada orang di jok belakangnya. 

“Sial!”makinya dalam hati,” Ah, padahal kan aku sedang puasa…”

Ella memasrahkan diri. Ia masih melambaikan tangan tetapi tidak seambisius sebelumnya untuk mendapatkan taksi kosong.

Saat ia sudah pasrah jika sewaktu-waktu pingsan di trotoar, sebuah taksi meluncur mendekatinya. “Alhamdulillah,”ucapnya sembari sempat bertanya apakah itu bisa menebus makian sebelumnya. Entahlah, itu kan urusan Tuhan, pikirnya lagi.

Ella membuka pintu taksi dengan perlahan, berharap bisa bertemu dengan sopir yang baik dan jelas identitasnya. Ia siap membanting pintu jika taksi itu tidak dikemudikan sopir dengan tanda pengenal yang dipajang di dasbor depan. Di ibukota, begitulah menurutnya seorang wanita mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Meskipun ini bulan puasa, katanya dalam hati. 

Begitulah ia dididik selama ini oleh kedua kakek neneknya. Keduanya sudah meninggal dalam kondisi mengenaskan 8 tahun lalu dalam kecelakaan mobil. Maka dari itulah ia kini tinggal dengan kakek dan neneknya, orang tua mendiang ibunya. Sementara itu, orang tua bapaknya sudah tak bisa diketahui keberadaannya. Mereka lenyap saat tsunami menelan bibir pantai Aceh.

“Mau ke mana, mbak?”tanya si sopir. Pria itu masih muda. Wajahnya keras dan tegas, cocok untuk berpetualang di jalanan Jakarta. Di kepalanya, bertengger sebuah kopiah putih. Kopiah itu mengingatkannya pada kopiah sang kakek, yang terus saja membuatnya rindu ke rumah di waktu senja. Kakek bisa memasak makanan enak. Nenek juga. Tetapi karena kakek adalah seorang laki-laki itulah yang menurut Ella membuat makanannya makin enak. Terasa tidak biasa.

Butuh waktu sejenak bagi Ella untuk menjawab. “Oh iya, aku mau ke Kelapa Gading, pak,”tukasnya singkat. Ia bahkan merasa terlalu malas membuka mulut. Energinya sudah hampir nol.

Argo dihidupkan, dan mulailah perjalanan taksi menjelang senja itu. 

Lalu lintas makin tidak bersahabat. Toh taksi itu terus melaju meski kecepatannya tak teratur. Kadang melaju kencang, tetapi lebih sering melambat.

Ella tak peduli. Pandangannya menerawang melalui jendela taksi. Tak lupa ia mencatat nomor taksi dan nama sopirnya lalu mengunggahnya ke Twitter. “Buat jaga-jaga,”pikirnya. Ia selalu terbayang-bayang dengan kecelakaan setahun lalu itu. Taksi yang dinaiki kedua orang tuanya ditabrak trailer di sebuah ruas jalan nan sepi. Hingga kini belum diketahui pelakunya.

Perasaan nelangsa itu urung menyedotnya lebih dalam lagi dengan pecahnya keheningan dalam kabin taksi. 

“Tahu nggak mbak tadi siapa yang baru naik taksi saya?”sopir taksi itu berusaha membunuh kebosanannya.

“….Hmm…Siapa pak?”Ella sungguh sedang tidak bersemangat mendengarkan apapun tetapi ia memaksa diri bersikap sopan, seolah antusias dengan upaya ramah sang sopir taksi.

“Reporter-reporter!!!”

“Oh ya?”

“Iya mbak. Mereka tuh cerita. Dapet Rp500.000 sehari kalau mau ngikutin  pak Jono.”

“Lumayan yah pak…”

“Yah bukan lumayan lagi! Kalau saya dapet segitu juga sudah nggak jadi sopir taksi.”

Ella tercekat. Uang sebesar itu mungkin ia bisa habiskan sekali belanja pakaian di Uniqlo atau produk kosmetik favorit di The Body Shop. Namun, untuk seorang sopir taksi bernama Solikhun, Rp500.000 sudah berarti banyak.

“Itu saja ngikutinnya nggak sehari kok, mbak. Cuma 3-4 jam! Gimana nggak enak?!”Sopir taksi itu berceloteh. “Kalau saya mending berhenti jadi sopir, tinggal pegang ekornya pak Jono udah. Dapet duit terus…”

Ella menghela napas. Pak Jono lagi, pak Jono lagi. Ia sudah amat bosan dengan semua kampanye pak Jono. Di mana-mana ada berita pak Jono, yang terus bersitegang dengan lawannya pak Broto. Ella merasa terkepung dan jenuh dengan berita-berita politik. Ia menjauhkan diri dari siaran televisi yang mengumbar pemberitaan pertarungan kekuasaan keduanya. Pun di peramban ponselnya tak ada satu pun situs daring yang ia kunjungi untuk mendapatkan informasi terkini dari kampanye pak Jono dan pak Broto.

 Solikhun penggemar Iman Aris, seorang politisi senior yang ia anggap sosok ideal pemimpin negeri. Terpelajar dan berani serta tahu benar kehendak rakyat. Tak ayal saat Iman Rais pensiun dari jabatan politiknya di partai yang ia dirikan, Solikhun yang sebelumnya 5 tahun bergabung dan berpartisipasi di dalam partai itu ikut keluar.

Itulah mengapa ia menolak memilih dalam pemilihan presiden baru kali ini. Ia hanya mau memilih Iman. Titik. Tidak ada kompromi. Sehidup semati bersama tokoh idolanya itu.

Sebetulnya Ella memahami perasaan Solikhun. “Saya dulu juga memilihnya, pak,”timpal gadis itu. Pendek saja ia menjawab. Ia tidak mau dianggap cerewet.

Lagi-lagi Solikhun menyebut angka 500 ribu tetapi kali ini ia menyebut angka itu untuk menggembarkan besaran imbalan yang diberikan partai yang didirikan oleh Iman padanya karena sudah berhasil memenangkan simpati sebagian besar orang di kampungnya. Alhasil, TPS di tempatnya menjadi basis pemenangan partai Iman.  “Saya bisa mendekati orang-orang di kampung saya waktu itu makanya dapat imbalan.” Ingin rasanya Ella bertanya:”Mengapa mengaku menjadi agen perubahan negeri padahal sama saja melakukan politik uang?!” Namun, suaranya tertahan di dalam. Ia tahu ia sedang puasa. Jangan berdebat, batinnya menenangkan diri. Pandangan matanya kembali menerawang ke luar jendela.(*/)

Ageisme Era Baru: Xenials, Geriatric Millenials, Serahhh Dah!

Sempat saya membaca artikel di Medium.com yang ditulis seseorang bernama Erica Dhawan. Intinya ia mengklaim bahwa kelompok millenial tua yang lahir di awal tahun 1980-an itu paling cocok untuk menjadi pemimpin di perusahaan dan startup saat ini yang berjuang untuk beradaptasi dalam dunia Kewajaran Baru (New Normal).

Respon kami yang masuk dalam kelompok ‘istimewa’ ini pun meruak. Ada yang menentang penggunaan frase “geriatric millenials” ini karena ada konotasi miring.

Kami dianggap tua.

Semprul!

Ya memang kami lebih tua dibandingkan kelompok millenial lain tapi mbok ya jangan terlalu ditonjolkan gitu lho!

Buat Anda yang masih buta soal pengelompokan ini, berikut kategorisasinya yang jelas supaya nggak capek menerka-nerka:

  • 1925-1945: The Silent Generation (ya nggak silent gimana wong memang banyak yang sudah almarhum kan ya)
  • 1946-1964: Baby Boomers (kebanyakan kakek nenek zaman sekarang)
  • 1965-1980: Generation X (kebanyakan om-om zaman sekarang)
  • 1977-1983: Xennials (kebanyakan papa-mama muda zaman sekarang)
  • 1981-1996: Millennials (alias Generation Y)
  • 1993-1998: Zennials
  • 1997-2012: Generation Z
  • 2013-present: Generation Alpha

Istilah “geriatric millenials” atau “xennials” ini memang memberi efek nano-nano. Meski dirasa menghina, juga ada sih rasa bangga.

Bangga karena kami ini nggak sekatrok generation X soal penggunaan teknologi informasi. Kami memang tua tapi masih dengan lincah mengikuti perkembangan zaman dan tren terkini.

Kami nggak segaptek orang-orang tua kami yang Boomers itu. Kami masih bisa memakai mesin ketik dengan baik tapi juga menghargai praktisnya teknologi.

Kami memang mirip amfibi, bisa hidup di dua alam: alam nyata dan maya, anehnya dengan sama baik dan mulusnya.

Saat kecil kami masih menikmati syahdunya bermain permainan tradisional. Kami bukan anak-anak yang mager kayak anak sekarang. Kami berlari, kami menyusuri sungai, sawah, bermain congklak, petak umpet.

Tapi kami juga yang pertama mengadopsi penggunaan email di keluarga kami. Kami yang pertama bisa menggunakan aplikasi-aplikasi digital dengan lihai dan piawai. Kami mengajari orang tua dan adik-adik kami bagaimana menyalakan dan mematikan laptop, mengatur ulang ponsel pintar, mengetik SMS, bla bla bla.

Sayangnya, bersamaan dengan pengotak-ngotakan begini, datang juga overgeneralisasi dan stereotyping, yang nantinya memunculkan banyak pertanyaan bernada: “Kamu generasi Xennial tapi kok [sebutkan kelakuan atau sifat yang berlawanan dengan tipikal generasi Xennial]?”

Halah capek jawabnya…

Gini aja deh.

Pakai saja istilah-istilah itu untuk perbincangan dan pertukaran ide, wacana dan mengisi obrolan akademis yang muluk-muluk dan ‘tinggi-tinggi’ di webinar-webinar Zoom dengan judul yang seolah pintar dan intelek tapi please, jangan dipakai terus-terusan sampai overdosis di kehidupan nyata.

It’s just too much!

Dan kenyataannya di lapangan juga penggunaan istilah-istilah begini membuat banyak diskriminasi terjadi.

Ya kalau memang bagus dan cocok untuk posisinya ya nggak usah lah permasalahkan tahun kelahiran, umur. Kalau mau hire, ya hire aja. Jangan kebanyakan cing cong. Yang penting zaman sekarang mah performa. Ya nggak sih?

Memang kalau kerjaan sesuai umurnya dan stereotip usianya bakal menjamin kita nggak dipecat kalau nggak becus kerjanya? Nggak juga kan, bro sist?

Jadi ya udahlah nggak usah terlalu dipermasalahkan. Kalau ada kandidat yang kayaknya memenuhi syarat tapi secara usia melebihi atau kurang dari usia yang diasumsikan ideal ya udah, nggak usah terlalu dipermasalahkan. Kasih kesempatan aja untuk membuktikan bahwa asumsi masyarakat itu salah. Titik! (*/)

Pandemic Diary: All I Want for Eid Is Nature

Mother Nature always offers solace amid distress and frustration.

So for this Eid, all I really want is Nature without humans. I don’t need human beings around me.