MENULIS blog sekarang rasanya sangat mudah. Tinggal buka akun di Medium.com, atau WordPress.com atau di Blogger.com dan kita sudah bisa menulis. Yang mau buat domain mandiri, juga bisa meski lebih rumit dan menguras duit.
Tapi apapun pilihan platform blogging kita, semuanya kembali ke kerja kerasnya itu. Bukan alat-alat dan pirantinya tapi hasilnya bagaimana?
Infografis di atas saya ambil dari Semrush karena menurut saya bisa merangkum semua ritual yang seharusnya dilakoni jika seorang penulis terutama blogger agar bisa tetap ‘di atas angin’.
SELAMAT hari blogger nasional untuk Anda yang masih merasa pantas disebut sebagai blogger. Haha.
Ya seperti kita tahu, blogging tak lagi seseksi dulu lagi. Sudah banyak blogger yang memindahkan aktivitas digital mereka ke media sosial lain yang lebih populer seperti Instagram dan TikTok.
Tapi untuk saya sendiri blogging tetaplah sebuah aktivitas yang tak bisa ditinggalkan.
Bahkan saya malah sekarang menahkodai sebuah platform untuk menulis yang pada intinya sama persis dengan blog.
Jadi saya pikir blogging sudah jadi jalan hidup.
Hari ini saya puas bisa menerbitkan tulisan hasil wawancara dengan salah satu tokoh blogging nasional Wicaksono atau Ndoro Kakung.
Beliau dikenal sebagai salah satu narablog atau blogger yang paling pertama muncul dan giat mengampanyekan kegiatan menulis blog di banyak acara skala nasional.
Sesaat tadi sempat guyon di Twitter soal Pesta Blogger. Akankah ada Pesta Blogger 2022? Ndoro Kakung sendiri menampik wacana itu.
Ya mungkin blogging sudah kehilangan pamor.
Namun demikian, bagi sebagian orang seperti saya yang berjiwa ‘klasik’ dan merasa lebih nyaman berkomunikasi lewat teks, blogging tetaplah menarik dan tidak tergantikan. Persetan dengan media sosial canggih karena ternyata kebutuhan orang untuk mengonsumsi konten dalam bentuk tulisan blog masih akan terus ada. Sampai kiamat. Itu keyakinan saya.
Terkait atmosfer, blogging juga terasa lebih aman sentosa daripada media sosial lain seperti Twitter atau Instagram.
Mungkin ini perasaan saya saja tapi berkomunikasi lewat tulisan panjang di blog, yang tak sependek dan semudah menulis status Facebook atau tweet atau instagram story membutuhkan upaya intelejensia ekstra. Dan karena itulah, blogger biasanya bukan orang yang gegabah atau sembrono menerbitkan sesuatu. Menulis panjang membuat kita bisa lebih punya banyak kesempatan untuk memikirkan dampak dari tulisan yang diterbitkan.
Buktinya dari sejarah kasus UU ITE yang bermula dari Prita Mulyasari (versus RS Omni International) tahun 2008, setidaknya belum saya temukan tersangka atau tertuduh kasus UU ITE yang diperkarakan karen menulis di blog (sumber di sini).
Prita saja tersangkut kasus sehabis menulis uneg-uneg di sebuah mailing list (milis).
Lalu ada lagi yang curhat di Facebook dan dicokok polisi.
Ada pula yang tersandung UU ITE akibat status Blackberry Messenger yang bernada melecehkan pihak lain.
Intinya makin mudah dan cepat kita melepaskan pendapat pribadi ke orang lain dalam sebuah platform memberikan kita kemampuan membagikan gagasan, makin tinggi risikonya.
Dan blog tidak ditakdirkan bagi para manusia dengan cara pikir instan.
PERNAH saya ditanya mengapa budaya menulis dan membaca di masyarakat Indonesia masih rendah padahal bangsa lain sepertinya melaju pesat.
Saya jawab dengan hasil refleksi dan pengamatan saya sendiri bahwa budaya komunikasi manusia Indonesia adalah budaya lisan, oral, ngomong, ghibah. Bukan budaya yang menulis, surat-menyurat, korespondensi, dan sejenisnya. Sebelum budaya membaca tertanam dalam, bangsa kita sudah kemasukan televisi, radio, dan sekarang Internet dan media sosial. Bye!
Maka dari itu sampai sekarang ada saja orang yang masih lebih nyaman menggunakan voice notes daripada mengetik jawaban mereka di aplikasi chat. Saya kenal beberapa orang seperti ini. Mereka biasanya sangat menyukai berbicara. Jago banget lah kalau disuruh menjelaskan, mempersuasi, mengobrol dari A sampai Z.
Tapi kadangkala kita bisa menemukan karya-karya tulis bangsa kita yang sebenarnya dari tradisi oral itu hanya saja dibukukan jadi kita masih bisa menikmati sampai sekarang.
Salah satu karya tulis yang langka ini ialah sebuah karya syair berjudul “Lampung Karam” ditulis Muhammad Saleh di 131 tahun lalu tatkala Gunung Krakatau meletus di Selat Sunda dan menjadi legenda karena kekuatannya yang begitu hebat dan dampaknya pada seluruh permukaan planet ini pada saat itu.
Ditulis dalam bahasa Arab-Melayu di Temasek (Singapura dulu kala), syair Saleh tadi mengandung pelajaran hidup dan catatan historis yang mirip jurnal/ diari mengenai kehidupan dan perilaku manusia selama peristiwa alam yang legendaris tersebut.
Tapi sayangnya syair yang terdiri dari 100 bait ini bisa diangkat lagi bukan karena disimpan anak bangsa di negara ini tapi disimpan Belanda di perpustakaan Universitas Leiden. Seorang dosen bernama Suryadi Sunuri menemukannya tahun 2005.
Dalam syair “Lampung Karam”, Saleh menceritakan bagaimana para warga sekitar Selat Sunda di Lampung berlari menyelamatkan diri begitu Krakatau mengamuk. Mereka harus nelangsa saat mengungsi karena ada pemilik rumah yang merasa keberatan menampung orang asing. Diceritakan juga kisah pengungsi yang memakai sebuah piring yang retak sampai kuah sayurnya tumpah. Sebagian pengungsi ada yang harus rela tinggal sementara di gua-gua karang, di bawah rumah panggung orang lain, tidur saling bertumpuk sebab keterbatasan ruang berlindung. (*/)
SUATU malam saya mengobrol santai dengan seorang teman. Ia saya kenal sebagai pribadi yang dewasa, cerdas dan bijak. Tidak ada kesan bahwa ia memiliki kecenderungan untuk berpihak pada sebuah faksi atau kelompok politik dan kami juga tak pernah mengobrol soal itu sebelumnya.
Tapi entah kenapa saat itu ia tiba-tiba menyinggung soal istilah “kadrun” alias kadal gurun. Istilah ini seperti kita tahu merupakan sebuah sebutan peyoratif atau merendahkan bagi mereka yang dianggap “mabok agama”. Mereka ini sering dicap terlalu relijius, sok keArab-araban, kurang suka kemajemukan, keras, tak berkompromi pada mereka yang meyakini dan memeluk agama lain.
Dan untuk mengingatkan, istilah kadrun ini muncul dalam kosakata kita tatkala peperangan bertema politik identitas yang skalanya sudah mirip Bharatayuda versi digital antara Anies vs Ahok dan Jokowi vs Prabowo itu mencapai klimaksnya.
Saya sendiri tak pernah menggunakan istilah peyoratif semacam itu untuk melabeli orang karena jujur saya tak ambil pusing soal konflik politik yang berlangsung. Itu semua sudah diagendakan dan direncanakan demi sebuah ambisi kekuasaan jadi saya sebagai rakyat kecil cuma menonton lah. Tak mau begitu larut karena kalau sampai membela mati-matian juga tak ada untungnya.
Dan karena konflik politik identitas yang membelah bangsa ini, sampai sekarang konflik kadrun vs kecebong seakan sudah mustahil dihapus dari benak orang Indonesia.
Karena konflik itu jugalah, agama dicap sebagai sesuatu yang ‘memabukkan’ karena jika dipahami secara sempit, ia bisa menggiring kita menjadi manusia yang beringas dan sanggup bertindak apapun dengan mengatasnamakan ajaran agama dan Tuhan.
Tapi dari sindiran agama sebagai candu itu sebetulnya bangsa ini bisa bertahan di masa pandemi ini berkat agama juga lho.
The Economist pernah membahas soal bagaimana manusia-manusia yang tinggal di negara-negara berkembang (baca: miskin) bisa bertahan selama pandemi berkat optimisme yang ditanamkan dari nilai-nilai agama.
Dan untuk hal satu ini, bangsa kita jagonya. Angka kasus positif memang pernah gila-gilaan Juli-Agustus lalu tapi optimisme itu bahkan tak pernah surut. Kita terus bergerak. Masjid-masjid penuh. Tak ada yang namanya jaga jarak atau protokol kesehatan ketat.
Lalu yang membuat saya makin yakin lagi dengan kekuatan aset spiritual bangsa ini adalah sebuah penelitian yang dipublikasikan James Cook University tahun 2018 lalu. Di situ peneliti menemukan bahwa manusia-manusia yang relijius tetap bisa bahagia dengan meyakini sepenuh hati bahwa ada hikmah atau makna yang lebih dalam dari apapun yang terjadi dalam hidup mereka. Dan pandangan semacam ini sudah lazim kita temukan dalam ajaran agama-agama di Indonesia.
Dalam riset itu, ditemukan bahwa orang-orang yang mengapresiasi kejadian-kejadian kecil dalam keseharian mereka bisa merasakan emosi-emosi positif lebih baik daripada yang tak percaya Tuhan dan agama.
Misalnya mereka yang relijius merasa bisa lebih berterima kasih dan menghargai waktu yang dihabiskan bersama teman, keluarga. Dengan kata lain, mereka memberikan makna yang lebih tinggi pada detail-detail kecil dalam hidup.
Jadi bagi Anda yang merasa bahwa hidup ini kosong dan tak bermakna, cobalah mendekatkan diri pada Tuhan melalui ajaran agama yang relevan dengan Anda.
Tapi bagaimana kalau Anda cuma ingin meyakini adanya Tuhan dan tak mau terlalu larut dalam ritual dan formalitas beragama? Bisa saja Anda menekuni spiritualisme saja. Di sini Anda masih bisa menemukan esensi keilahian itu tanpa harus mengikuti ritual atau dogma agama tertentu. (*/)
SELAMA 11 tahun belakangan ini, saya mencoba berdisiplin dalam pola hidup. Sebelumnya saya tak begitu memperhatikan soal pola tidur, olahraga dan pola makan.
Tahun 2009 saya pernah mencoba melakoni pola hidup bak kalong. Tidur siang, bangun senja. Begitu terus. Dan saya tak merasa ada yang salah dengan pola aktivitas begini sampai di suatu titik saya merasa badan terasa remuk muk mukkk. Sering pusing dan flu. Meriang sudah bukan hal aneh. Dan saya merasa seperti sangat lemah dan tak bersemangat dalam melakukan apapun meski saya merasa masih bersemangat menulis. Saat itu saya seperti ‘kesetanan’ untuk menulis blog di malam hari, seolah saya tak akan mendapatkan ide menulis di siang bolong.
Karena tak bisa bangun pagi, otomatis saya juga jarang berolahraga (kalau tak bisa dikatakan tak pernah). Karena saya jarang ke luar rumah, dan hanya fokus pada hal yang saya sukai: menulis did epan laptop seharian penuh.
Lalu perlahan saya sadar saya mulai harus mengubah pola hidup tersebut. Rasanya memang menyenangkan bisa kapan saja bisa bekerja tapi ternyata tak begitu menyenangkan jika tidak ada struktur sama sekali dalam beraktivitas. Kebebasan penuh itu ternyata merenggut kesehatan fisik dan mental saya sendiri.
Di Desember 2010 saya mulai menekuni yoga. Dari latihan seminggu sekali kemudian menjadi setiap hari. Dan sekarang saya bisa menularkan pengetahuan dan pengalaman saya ke orang lain. Jadi saya sangat tidak menyangka, saya yang dulunya pemalas kalau disuruh menggerakkan badan dan keluar rumah, sekarang malah sebaliknya. Bahkan sampai ditanyai orang lain mengenai cara hidup sehat.
~~~
Hari ini 10 Oktober diperingati sebagai hari kesehatan mental sedunia dan kebetulan tadi pagi juga mengajar sebuah kelas yoga yang bertema yoga untuk meningkatkan energi.
Sempat saya singgung juga dalam sesi tersebut bahwa saya menyarankan agar saat energi kita turun (dalam yoga disebut ‘tamasik’), kita seharusnya berlatih gerakan-gerakan dinamis, mengalir (vinyasa), lebih banyak fokus pada jenis asana arm balance, backbend, dan twisting yang tujuannya meningkatkan detak jantung, memacu adrenalin, dan menyegarkan tubuh dengan melancarkan seluruh sistem peredaran darah, mengaktifkan sistem limfatik yang berperan penting dalam imunitas, dan masih banyak lagi.
Saya menekankan bahwa olahraga, menggerakkan badan, adalah sebuah takdir bagi tubuh manusia. Ia adalah suatu kebutuhan dasar. Seperti makan dan minum serta mandi, begitu kata saya. Apakah saat kita makan kita akan berharap tak perlu lagi makan selama setahun ke depan karena malas? Apakah setelah mandi kita merasa sudah bersih sehingga tak perlu lagi mandi setahun ke depan? Nah, demikian juga saat kita menyikapi olahraga. Jika ditanya seberapa sering harus menggerakkan badan, ya saya jawab: setiap hari. Kan kita juga makan, minum dan mandi tiap hari.
Dan pernyataan saya ini bukannya tak ada dasarnya sama sekali. Sebuah penelitian dari Southern Methodist University yang dipublikasikan di tahun 2010 lalu menyatakan olahraga adalah ‘obat ajaib’ bagi banyak orang yang menderita depresi dan kecemasan parah. Dan karena olahraga itu bisa dilakukan secara mandiri dengan bermodalkan kemauan individu, seharusnya olahraga diresepkan lebih sering sebagai penanganan gangguan kesehatan mental. Dalam studi ini jumlah olahraga yang dijalani ialah 150 menit perminggu dengan intensitas moderat, tidak berat. Tapi jika Anda ingin melakukan aktivitas olahraga yang berat, bisa dilakukan 75 menit per minggu.
Ilmuwan mengatakan olahraga meningkatkan mood, menekan stres, memperbaiki tingkat energi dan motivasi dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Dan yang terpenting: tidak ada motivasi dalam berolahraga bukanlah penghalang tapi seharusnya menjadi pendorong untuk berolahraga. Dengan kata lain, karena bad mood itulah Anda justru harus berolahraga agar kembali bersemangat. Bukan sebaliknya, menunggu mood membaik baru berolahraga. Konyol itu namanya!
Sebuah penelitian yang hasilnya dipublikasikan di The Lancet tahun 2018 lalu menegaskan mereka yang berolahraga memiliki kesehatan mental yang buruk 1,5 hari lebih pendek daripada yang tidak. Jadi memang olahraga tak menjamin Anda bebas 100% bebas gangguan dan kondisi mental tapi setidaknya bisa memperbaiki ketahanan kesehatan mental Anda dan mendorong pemulihan lebih cepat.
Tapi apakah Anda harus berolahraga sesering mungkin supaya kesehatan mental terjaga? Ternyata tidak juga lho. Ilmuwna mengatakan manfaat terbesar olahraga bagi kesehatan mental sudah bisa didapatkan dengan berolahraga 45 menit dengan frekuensi 3-5 kali seminggu. Jadi tidak harus 7 hari terus menerus.
Para ilmuwan sendiri belum bisa menjelaskan secara gamblang alasan mengapa kesehatan mental dan olahraga memiliki kaitan erat satu sama lain. Bisa jadi, ilmuwan menduga, bahwa kebiasaan ‘mager’ dan malas olahraga adalah salah satu gejala kesehatan mental yang buruk dan kebiasaan berolahraga dna gaya hidup aktif adalah salah satu tanda atau faktor yang berkontribusi pada ketahanan seseorang secara mental.
Penelitian lainnya yang dilakukan University of Otago dan hasilnya disebarkan pada publik tahun 2020 menyatakan ada 3 pilar kesehatan mental: tidur yang cukup, olahraga, makan buah dan sayuran segar.
Tidur yang cukup di sini adalah yang tidak kurang dari 8 jam tapi juga tidak sampai lebih dari 12 jam sehari. Lebih atau kurang bisa berakibat negatif pada kesehatan mental. Tapi yang tak kalah penting bagi kesehatan mental ialah mutu tidur kita. Percuma jam tidur sudah pas tapi belum bisa nyenyak.
Penelitian mengungkap depresi paling ringan ditemukan pada mereka yang tidur 9,7 jam sehari. Dan kesehatan terasa prima pada mereka yang tidur 8 jam per malam.
Bagaimana dengan porsi makan buah dan sayur? Menurut penelitian, 4,8 sajian sayur dan buah segar per hari memberikan kita kesehatan mental yang prima. Makan buah kurang dari 2 porsi sehari atau sampai berlebihan sampai 8 porsi sehari bisa membuat kesehatan menurun. Jadi memang harus pas.
Dengan demikian, sebetulnya menjaga kesehatan mental itu murah meriah kok. Cuma memang yang mahal itu cuma dua: motivasi dan konsistensi kita sendiri.
Dan dari sini kita juga idealnya tidak lagi ‘termakan’ janji manis pihak-pihak yang mengatakan ada pil atau obat ajaib X, atau Y, atau Z produksi pabrik untuk bisa hidup sehat. Bukan berarti semua multivitamin itu tak ada gunanya tapi jika tidak dibarengi dengan perbaikan pola hidup menuju ke arah yang lebih sehat yakni dengan meningkatkan konsumsi buah dan sayur, menata pola tidur dan berolahraga dengan porsi cukup maka akan sia-sia saja juga. (*/)
Ngapain nulis surat kalau sudah ada WhatsApp? (Photo by MART PRODUCTION on Pexels.com)
MELARANG penggunaan ponsel mungkin sudah jamak di tengah kalangan pendidikan terutama saat proses belajar mengajar di kelas secara tatap muka berlangsung. Tapi bagaimana dong kalau sekolahnya pondok pesantren yang tak mengizinkan siswa menggunakan gawai apapun (bahkan laptop yang bisa dipakai untuk mempermudah belajar) selama menuntut ilmu di sana? Ya selama 3 tahun penuh!
Begitulah yang dialami anak seorang saudara yang sedang belajar keras untuk menjadi penghapal Qur’an di sebuah tempat di provinsi tetangga sana.
Lalu bagaimana komunikasi bisa tetap dijalin? Para guru sih masih memegang gawai tapi tetap saja mereka cuma memberikan kabar via foto kelas atau kabar teks yang terlalu singkat dan kurang memuaskan.
Alhasil, si anak ini kembali ke metode korespondensi model baheula: menulis surat. Di saat anak-anak seusianya main TikTok sampai puas, menggunakan laptop untuk belajar sampai mata pedas dan kepala pening karena Zoom seharian, ia malah menggunakan jari-jarinya untuk menulis dengan tangan. Karena bahkan tidak ada mesin ketik atau laptop di sana.
Kekolotan metode belajar ini memang selintas menjengkelkan terutama bagi mereka yang berpikiran maju. Tapi saya sendiri malah sebetulnya sepakat sih dengan cara yang radikal begini untuk meniadakan gawai di kehidupan anak-anak. Dan saya pikir otak belia mereka nggak bakalan tertinggal. Bakal bisa mengejar ketinggalan lagi kok asal mau belajar.
Anak-anak zaman sekarang yang sudah kecanduan TikTok atau media sosial sebenarnya bisa diterapi dengan cara ini. Masalahnya: orang tua mereka sanggup memberi contoh nggak? Haha! Karena sebenarnya yang lebih butuh diterapi juga orang tua yang sudah terlalu melekat dengan pekerjaan mereka.
Di sini saya jadi ingin merunut ke belakang, menelisik tradisi orang menulis surat.
Masyarakat modern menganggap menulis surat sebagai sebuah tradisi masa lampau. Eksotis dan sangat berbudaya. Hanya saja sudah bukan untuk mereka yang hidup di masa kini.
Berkirim surat di masa kini juga sudah dianggap sebagai tata cara komunikasi ala korporat dan birokrat. Ini tak berlebihan karena terakhir saya mengirim surat via kantor pos terdekat, petugas menanyai saya: “Ini surat pribadi atau dinas?”
Saya terpana. Jadi itu ya stigma pengirim surat sekarang? Semuanya pasti untuk urusan pekerjaan, urusan formal, kirim-mengirim dokumen belaka. Korespondensi pribadi dengan surat seakan sudah dicap hal aneh. Buat apa? Wong sudah ada banyak aplikasi chat di ponsel. Bisa kirim teks, foto, video, kok masih mau kirim surat? Begitu saya ditertawakan si petugas dalam hatinya.
MENULIS SURAT, SEBUAH SENI
Menulis surat yang dimaksud di sini ialah menulis surat secara manual, bukan dengan mengetik di komputer, apalagi tinggal menyalin dengan mesin fotokopi dan mengirimkannya ke pos. Memang masyarakat modern masih menggunakan bentuk surat menyurat fisik tetapi lebih banyak pada urusan bisnis dan birokrasi. Untuk korespondensi pribadi, rasanya penggunaan surat yang ditulis dengan tangan sudah jarang sekali dijumpai. Kemudahan teknologi sudah menyingkirkan semua dorongan menulis surat panjang, begitu banyak orang berpikir.
Namun, sebenarnya tidak demikian. Mengapa masyarakat modern sudah kehilangan seni menulis surat bukanlah karena faktor kemajuan teknologi informasi. Sebab jauh sebelum surat elektronik (email) ditemukan dan dipakai sesering sekarang ini, seni menulis surat sudah perlahan ‘mati’ sejak dekade 1920-an di Barat.
Penyebab punahnya seni menulis surat secara historis jika kita telisik lebih dalam lagi bukanlah surel tetapi ketidakmampuan manusia secara alami untuk menulis surat dalam bentuk panjang dengan tangan mereka sendiri.
Ini bukan soal maju tidaknya sebuah peradaban, pendidikan, melek huruf, budaya menulis sebuah masyarakat, dan sebagainya. Penyebabnya sederhana saja: karena menulis surat membutuhkan pendidikan khusus.
Menulis surat bukanlah sebuah ketrampilan dan bakat alam yang turun begitu saja dari langit. Ia juga bukan bakat yang diturunkan secara genetis dari orang tua ke anak-anak dan cucunya.
Pendidikan khusus yang membuat seorang manusia piawai menulis surat ini sudah ada sejak zaman Romawi Kuno. Pendidikan ala Romawi saat itu ialah yang menekankan tata bahasa, kosakata, menulis, logika dan sebagainya. Jenjang pendidikan dasar ini disebut trivium, yang bisa diselesaikan dalam waktu 4-5 tahun. Tujuannya ialah mengasah kemampuan berpikir siswa dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam metode pendidikan Romawi, murid diperintahkan belajar tata bahasa Latin dengan menyalin karya-karya agung sastrawan saat itu seperti Cicero. Seiring dengan itu, setelah cukup pandai, murid akan mulai menyusun kalimat sendiri, menulis esai, berpidato dalam bahasa Latin, dan jika sudah mumpuni, berdebat dengan para cendekiawan dalam bahasa Latin. Jadi mereka belajar habis-habisan untuk meniru dahulu, baru kemudian diajak berpikir kritis atas pemikiran-pemikiran yang disajikan pendahulu.
Setelah trivium, orang Romawi masuk ke jenjang quadrivium yang memberikan mereka pendidikan mengenai geometri, aljabar, harmoni (musik), astronomi. Pendidikan ini rampung dalam waktu dua tahun.
Begitu lulus quadrivium, para remaja Romawi Kuno bisa memilih subjek yang disukai masing-masing individu. Dan sebagaimana jenjang pendidikan masa kini, makin ke atas, makin sedikit orangnya.
BAGAIMANA DENGAN KITA?
Lain dari bangsa-bangsa Eropa yang punya tradisi menulis yang mengakar kuat, bangsa kita rasanya punya akar lebih kuat dalam hal tradisi lisan.
Bangsa kita baru mau menulis sesuatu jika ia sudah dianggap sakral atau suci sehingga patut dilestarikan agar generasi penerus selalu bisa menengok kembali untuk ditelaah saat nanti para tetua sudah kembali ke tanah.
Tengok saja misalnya salah satu karya tulis paling monumental milik bangsa kita: “La Galigo”. Karya ini termasuk ke dalam golongan epik karena panjangnya melebihi Mahabharata yang terkenal di seluruh dunia itu. La Galigo terdiri dari 362 ribu bait. Sebagai perbandingan Mahabharata dan Ramayana kurang lebih hanya 150 ribu bait, sementara itu, epos Barat Ulysses cuma 70 ribu bait. Jadi kreativitas nenek moyang kita sebenarnya nggak kalah dari bangsa Arya di India dahulu kala itu.
Bangsa kita belum begitu lama terpapar pada budaya membaca dan menulis di abad ke-20 saat Balai Pustaka didirikan Pemerintah Kolonial Belanda. Eh, sudah disibukkan kita dengan revolusi fisik yang heboh dan berdarah-darah.
Begitu kondisi sudah mulai tenang, kita dihantam lagi dengan badai politik 1965. Ekonomi kocar-kacir dan otomatis literasi juga terpengaruh. Bagaimana mau baca buku dan duduk menulis kalau mau makan saja susah?
Dan setelah Soeharto berkuasa, masuklah televisi. Ini sedikit banyak menggerogoti tradisi membaca yang baru berkecambah. Sederhananya, buat apa baca buku? Nonton TV aja lebih enak. Usaha otak kita lebih sedikit untuk mencerna pesan di dalamnya. Ada suara dan gambar bergerak yang memperjelas semuanya. Tak perlu lagi membayangkan dalam benak kita seperti apa wajah si karakter cerita yang kita sukai itu.
Karena langka sekali kesempatan diperkenalkan pada bacaan-bacaan yang bentuknya tulisan narasi panjang, banyak anak muda yang beralih ke media penyebaran pengetahuan lainnya. Buku memang masih tak bisa digeser atau dihapus sama sekali tapi kini ia bukan satu-satunya media belajar bagi masyarakat kita.
Sebab tak ada referensi bagaimana menulis panjang, akhirnya kita lebih merasa nyaman menulis pendek seperti dalam SMS, chat, dan email.
Dan kalau anak-anak sekarang disuruh menjabarkan perasaan atau opini mereka dalam bentuk esai atau tulisan panjang, mereka juga berjuang sangat keras, kalau tidak kewalahan.
Bahkan menulis buku atau novel sekarang juga makin instan juga. Di paltform Wattpad, pengarang bisa menerbitkan satu bab demi satu bab novelnya. Dan ia langsung bisa mendapatkan respon dari pembaca fanatiknya. Ini tak pernah bisa dinikmati pengarang-pengarang era sebelumnya. Ini sebuah revolusi dalam dunia menulis dan kepengarangan. Tapi seperti halnya semua perubahan, ini juga bak pisau yang bermata dua. Satunya bisa menusuk lawan, yang satunya melukai diri sendiri.
Dalam SMS, chat, email, kita seakan dikondisikan untuk terbiasa menulis pendek, seperlunya dan mendapatkan ‘instant gratification’, sebuah pemuasan yang seketika. Kita bisa dapat pujian, atau cacian, dalam hitungan detik atau menit. Memang tak selalu enak, tapi setidaknya tidak ada penantian yang panjang dan menghabiskan kesabaran. Bayangkan pengarang-pengarang era lama yang harus menulis dengan tangan, lalu mengetik, memberikan naskah ke editor mereka, dan barulah dicetak jadi buku dan baru bisa sampai ke tangan pembaca setelah didistribusikan. Rantai pengerjaannya sangatlah panjang dan lama dan bertele-tele. Di platform menulis modern (entah itu blog seperti ini, atau Wattpad), semua itu dipangkas. Kini pengarang bisa langsung bertemu pembaca dengan perantara sebuah platform pihak ketiga yang menghemat energi dan waktu dengan begitu fantastis.
Jadi inilah yang saya maksudkan sensasi gatal. Menunggu respon, menunggu tanggapan pembaca. Tak peduli itu puja-puji atau caci maki, yang penting langsung tahu. Jadi tidak melalui banyak malam tanpa tidur karena penasaran setengah hidup mengenai reaksi pembaca pada karya yang sudah terbit. Apakah gagal (flop) atau sukses (best-selling).
Seperti saya yang setengah hidup menunggu balasan surat. Ini belum dibalas, atau suratnya ‘nyasar’, atau lupa dibalas, atau…? (*/)