7 Hari Tanpa Shampoo

Tanpa shampoo selama seminggu bukan artinya rambut saya berbau tak sedap, atau berketombe, atau kusam. Justru malah terasa lebih seimbang – tidak terlalu kering atau berminyak. Itu yang saya rasakan selama sepekan bereksperimen.

Semuanya berawal saat saya kemarin iseng membaca artikel di dinding Facebook seorang teman. Teman saya berpikir sungguh absurd untuk berkeramas dengan telur sebagai salah satu bahan alami ‎pengganti shampoo. Bayangkan telur mentah yang amis itu ada di rambut Anda. Tetapi jujur saya pernah dulu melakukannya karena penasaran saja. Kalau ada shampoo yang mengklaim memiliki kandungan telur dan madu yang bisa membuat rambut berkilau, saya lalu berpikir, kenapa harus pakai shampoo? Sekalian saja saya pakai telur untuk cuci rambut supaya nutrisinya lebih utuh, tidak rusak. Saya selalu skeptis dengan klaim-klaim marketing produsen shampoo zaman sekarang. Sealami apapun mereka mengklaim, tetap saja saya pikir yang terbaik adalah bahan yang tersedia di alam.

Karena rambut saya sering terasa kering, saya pikir akan lebih baik jika saya mencoba minyak-minyak alami untuk membuatnya lebih lembab. Karenanya di malam hari, saya mencoba menggosokkan minyak biji wijen atau minyak zaitun ke rambut lalu memijat kulit kepala perlahan. Dan biarkan saja semalam suntuk. Asal Anda tidak menuangkan dalam jumlah berlebihan, Anda tidak perlu cemas sarung bantal akan berminyak atau kotor. Cukup pakai sekitar 1 sendok teh minyak alami tadi lalu ratakan dulu di telapak tangan dan sapukan ke seluruh bagian rambut hingga kulit kepala. Kadang saya juga ambil gel lidah buaya lalu meratakannya ke rambut dan kulit kepala. Gel itu akan segera kering saat rambut kena angin, jadi jangan takut bantal akan kotor.

Besoknya karena rasanya rambut agak lengket dan lepek karena minyak, pakailah air perasan jeruk lemon atau jeruk nipis untuk diratakan ke rambut dan kulit kepala. Angin-anginkan sebentar. Fungsi lemon ini ialah menyerap minyak yang ada dan membuat lingkungan rambut lebih kering secara alami tanpa membuatnya terlalu kering, kondisi yang kemudian bisa memicu ketombe. Lalu cucilah perlahan dengan air bersih, pijat kulit kepala pelan untuk menggugurkan sel kulit mati yang bisa menjadi ketombe dan mengenyahkan bau yang kurang enak di rambut. Kalau lemon bisa membuat piring-piring kita bersih, kesat dan segar dari lemak rendang dan gulai, pastinya ia bisa membuat rambut kita lebih bersih juga bukan? Dan kalau belum yakin bau rambut Anda sudah netral (bukan aroma wangi yang menusuk hidung khas shampoo), Anda bisa gunakan air lemon untuk diratakan ke rambut lagi supaya lebih segar.

Mungkin Anda penasaran, apa yang saya lakukan kalau saya berkeramas. Sejujurnya saya sepekan ini justru lebih sering mencuci rambut, hanya saja bedanya saya memakai air bersih saja. Tanpa shampoo lagi. Setespun tidak. Bahkan dengan air tawar yang bersih saja rambut sudah tidak berbau dan lebih bersih, asal Anda tidak cuma mengguyur tetapi juga memijat lembut kulit kepala dan rambut yang lebih lama. Basahi dengan air, kemudian pijat kulit kepala dengan lembut berulang kali. Belum puas? Basuh dan pijat perlahan lagi. Selain membersihkan kulit kepala secara alami, pijatan lembut dalam kondisi basah membuat peredaran darah di kulit kepala lebih lancar. Jadi kuncinya rambut bersih sebenarnya bukan shampoo, tetapi air bersih dan pijatan yang banyak!

Bagi Anda yang mengeluhkan kerontokan rambut, cobalah berhenti memakai shampoo apapun lalu rasakan bedanya. Berdasarkan pengalaman selama 7 hari ini, saya amati rambut saya malah lebih sedikit yang rontok karena berhenti menggunakan shampoo sama sekali. Memang saya tidak mengalami rontok hebat tetapi saat disisir dan dibilas rambut yang jatuh lebih jarang. Cukup menggembirakan terutama bagi para pria muda yang cemas mengalami kebotakan dini.

Proses transisi saya ke era tanpa shampoo mungkin masih akan berlangsung lebih panjang daripada sepekan. Dan saya akan bereksperimen dengan bahan-bahan alami lainnya yang tak kalah bagusnya. Misalnya merang (batang padi yang sudah menguning lalu dibakar sampai hitam dan abunya direndam semalam suntuk, untuk mencuci dan menghitamkan rambut secara alami) atau daun mangkokan (biasanya ditanam sebagai pagar hidup di rumah-rumah di Jawa Tengah dan sekitarnya).

Menulis Itu Harus Egois

‎Menulis untuk orang lain itu susah, dan memang tidak seharusnya begitu. Apalagi kalau masih dalam tahap belajar. Makin terfokus pada pembaca, penulis biasanya makin stres. Dan meski stres itu bagus untuk memacu konsentrasi dan kinerja, jika berlebihan tentu dampaknya pada kreativitas berpikir seorang penulis juga kurang baik.

Menyaksikan wawancara Stephenie Meyer dengan Times, saya menyimpulkan menulis yang paling mudah adalah untuk diri sendiri. Meski untuk diri sendiri, bukan artinya bisa asal-asalan! Kita bisa ambil contoh dari catatan diari yang kata Dewi Lestari mirip “diare” verbal. Encer, keluar terus sampai si pemilik lemas, tapi miskin ampas alias esensi atau intisari yang bisa dipelajari. Maaf kalau deskripsinya terlalu memualkan.

Begini jawab Stephenie Meyer kurang lebih saat ia ditanya untuk siapa ia menulis Twilight:”Saya menulisnya untuk diri saya sendiri.” Dia tidak menulis Twilight untuk menyenangkan orang lain atau untuk dinikmati untuk orang lain tetapi karena ia ingin menulis buku yang ia hendak baca dan nikmati sendiri. Atau dengan kata lain, ia ingin menulis buku yang sesempurna mungkin di dalam benaknya demi kepuasan diri pertama-tama. Orang lain nanti dulu.

Menurut saya, pendekatan semacam ini patut dicoba. Dan ini bukan soal salah atau benar, terbukti atau tidak, tetapi lebih pada cocok atau tidak cocok karena tiap penulis memiliki gaya dan motivasi menulis yang unik.

Saya juga pernah mendengar novelis Ann Patchett ‎tidak mau mengikat kontrak buku dengan penerbit sebelum ia memang memiliki idenya dulu. Jadi Patchett menulis karena ide dalam dirinya dulu, bukan karena dipaksa oleh kontrak. Ia lebih menghargai dorongan internal dalam dirinya selama proses kreatif menulis daripada kekuatan eksternal seperti ketakutan karena melanggar tenggat waktu dan semacamnya. Saya suka pemikiran itu karena Patchett memperlakukan menulis sebagai ritual sakral, yang meski hasil kerjanya bisa dikomersialisasikan kemudian untuk mencari penghidupan tidak membuatnya terlalu murahan. Murahan adalah saat penulis menulis demi bayaran, royalti dan imbalan semata tanpa memiliki ide otentik dan idealisme serta pesan positif yang unik di dalamnya. Jiwa menulisnya rela dibiarkan tercerabut dari akarnya demi uang atau motif lain yang lebih dangkal atau keuntungan jangka pendek.

‎Jadi kalau saya harus menulis untuk lomba pun rasanya akan berbeda dibandingkan jika kita menulis karena dorongan dan inspirasi dari dalam benak. Itulah mengapa rasanya saya lebih susah menulis jika dorongan eksternal terlalu banyak bermain. Rasanya aneh, apalagi jika Anda menulis karya fiksi.

Menurut Anda?

Menggugat Definisi Ibukota

‎Hidup di Jakarta tidak sekejam yang banyak orang bayangkan. Malah pada dasarnya mengasyikkan. Asal Anda memilih gaya hidup yang masuk akal, lingkaran sosial yang tepat, tempat tinggal yang aman, nyaman, bersih dan bekerja sesuai dengan passion disertai kerja keras dan cerdas yang di atas rata-rata, Anda bisa melesat setinggi apapun di sini. Atmosfer meritokrasi modern lebih kental di sini daripada di kampung halaman, setahu saya sejauh ini.

‎Bagi saya sendiri, Jakarta dapat diibaratkan sebagai seorang bapak yang tegas tetapi penyayang. Pameo selama ini yang menganggap Jakarta kota nan kejam melebihi kekejaman ibu tiri sudah usang. Saya bosan mendengarnya. Kita tidak lagi hidup di zaman Bawang Merah dan Bawang Putih atau Cinderella yang membuat banyak orang ketakutan dengan istri baru bapak mereka. Lagipula hal itu tak masuk akal juga. Kalau ada anak diperlakukan kejam oleh ibu tiri, mana mau ia kembali kepadanya? Sementara ia bisa lebih bebas dan merdeka di luar sana. Analogi itu terasa kurang pas bagi Jakarta yang sekejam-kejamnya masih saja dikerumuni pendatang baru setiap waktu, tidak hanya pasca Lebaran.

Jakarta mungkin ‘kejam’ bagi sebagian orang tetapi tak dapat dipungkiri bahwa di sini rejeki itu paling banyak berakumulasi. ‎Dan arti ‘kejam’ itu mungkin bermakna tegas. Jakarta seperti bapak yang menempa anak-anaknya. Ia membina jiwa-jiwa manusia di dalamnya menjadi lebih tegas, lebih asertif, lebih blak-blakan, dan lebih tangguh untuk seterusnya. Itulah yang saya rasakan. Saya menjadi lebih berani, nekat dan tak segan bermimpi besar, bekerja dan bertaruh demi masa depan.

Bagaimana dengan Anda? Apakah pengalaman Anda tentang Jakarta juga sama dengan saya? Silakan berbagi di kotak komentar.

Keunggulan Wartawati Dibanding Wartawan

Jurnalis perempuan – apalagi yang rupawan – seringkali mendapatkan keistimewaan. (Image credit: Commons.Wikimedia.org)

Salah satu cara agar mudah mengeruk informasi berharga dari narasumber ialah menghadapi mereka dengan sikap yang menyenangkan, terlepas dari tulus atau tidaknya sikap itu. Namun, bila Anda masih jurnalis baru dan berkelamin laki-laki, lalu Anda harus mencari informasi dari narasumber yang juga laki-laki, tampaknya lika-likunya agar mengakrabkan diri akan lebih sulit.

Berbeda jika Anda adalah wartawati dan narasumber yang Anda buru adalah pria. Narasumber pria – apalagi yang berprofesi politisi – biasanya lebih jinak jika dihadapkan pada wartawati. Entah kenapa, tetapi begitu pengalaman satu wartawati berikut ini.

Suatu ketika wartawati itu, sebut saja Miss Misan, tiba-tiba ditugasi redakturnya untuk mencari narasumber dari parpol Nampol, salah satu partai politik besar yang menggunakan tema agama. Seperti biasa, ia pun menggunakan jejaring kenalan-kenalan wartawannya yang luas untuk memberitahukan nomor kontak para politisi yang berasal dari parpol yang dimaksud. Dengan kepribadiannya yang supel dan cara bicaranya yang ramah, Miss Misan sukses besar menjaring berbagai nomor kontak tadi. Ia kebanjiran nomor bahkan dari para koleganya. Begitu banyak sampai kebingungan mana yang harus ia hubungi lebih dulu. Karena sudah larut malam, ia memutuskan menghubungi semua politisi itu keesokan harinya.

Ia pun mengirimkan pesan pendek ke semua nomor ponsel politisi parpol Nampol dan berpikir, “Saya akan mewawancarai orang yang paling dulu membalas SMS saya.”

Pucuk dicinta, ulam tiba. SMS dibalas oleh satu politisi, lalu Miss Misan membalas gembira:”Asyikkkk…Di mana, pak?” Di kantor saja, jam segini, balasnya lagi pada Miss Misan kita yang sangat periang ini. Ia merasa sedikit bersalah karena pesannya terlalu santai padahal dengan politisi parpol yang juga anggota DPR-RI. Fakta itu sendiri Miss Misan baru ketahui dari hasil menjelajahi Internet. Ia tak berani bertanya ke politisi tadi atau koleganya di kantor karena takut dianggap bodoh. Daripada bertanya dan urusannya jadi panjang dan dikata-katai, ia memilih berpaling ke Google.

Wartawati yang mengaku tak mendapat uang saku dari si politisi ini berkata lagi,”Isi BBM bapak itu suka aneh-aneh.” Misalnya, saat Miss Misan kita ini mengajaknya berbicara tentang kansnya menjabat lagi di periode depan, si politisi Nampol itu malah menjawab:”Nggak tau deh, yang penting masih deket dengan Misan aja…” “Bapak ini apa sih?”Miss Misan bereaksi risih. Di malam hari, si politisi juga sering mengirimkan pesan “Have a nice dream” dilengkapi emoticon bunga-bunga pada Miss Misan. “Hhh, bapak ini sesuatu…”

Jika lain kali Miss Misan digoda seperti itu lagi, teman kerjanya yang lelaki menyarankankan Miss Misan untuk menjawab:”Anak istri sehat, pak?” Rekan kerjanya itu mengakui bahwa narasumber biasanya memang lebih cerewet pada wartawati.

Karena itulah, Miss Misan merasa sering dijadikan senjata andalan oleh redakturnya saat harus mewawancarai narasumber yang berjenis kelamin pria. Kenapa? Karena ia perempuan, dan wajahnya tidak terlalu buruk, pembawaannya serta cara bicaranya kenes, supel, membuat narasumber itu lupa bahwa mereka memiliki rahasia untuk disimpan rapat-rapat. Apakah itu ‘sexist’? Bisa jadi. Karena Miss Misan ini mengaku ia sering tidak kenal dengan narasumber penting. Cuma politisi-politisi yang ‘klimis dan perlente seperti Ferry M. Baldan dari Nasdem  yang ia idolakan.

Menyoal Alasan Hatta Rajasa Tak Hadir Lagi Bersama Prabowo

Kara Swisher dari blog teknologi Recode pernah mengkritik bahwa para wartawan sering menulis hal-hal yang membosankan ‎untuk para pembacanya. Namun ironisnya, diskusi dan debat mereka di ruang redaksi (newsroom) yang justru lebih menarik dan tajam malah tidak disajikan pada audiens yang haus informasi dan analisis bermutu. Dengan kata lain, para wartawan memendam informasi, analisis dan prediksi logis yang lebih menarik itu bagi kalangannya sendiri dan tidak mau menyebarkannya melalui medianya.

Begitu juga dalam kasus satu ini. Seperti kita ketahui bersama, Prabowo sudah babak belur menderita kekalahan telak dua kali di Pilpres dan sengketa hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa kesempatan Hatta memang tak lagi terlihat tampil di depan publik bersama Prabowo Subianto.Tetapi tahukah Anda‎ alasannya?

‎Menurut sumber tepercaya yang juga seorang pewarta, tidak tampilnya Hatta bersama dengan Prabowo dilatarbelakangi oleh hal berikut ini:kubu Prabowo-Hatta sebenarnya sudah terbelah dengan perpecahan pendapat dalam tubuh PAN sendiri. Ada kubu sang tetua PAN Amien Rais dan kubu sang besan Status Quo Hatta Rajasa. Amien mau Hatta terus mendampingi Prabowo, tetapi Hatta sendiri sudah “ogah”. Masuk akal juga. Siapa yang mau berjalan bersama pecundang? Tetapi kalau pecundang itu teman sejati Anda, asumsi ini pasti akan terpatahkan. Dan sayangnya di dunia politik tak ada yang namanya teman sejati, seperti yang ditunjukkan ‘wartawati senior’ Nanik S. Deyang, yang pernah secara terbuka dekat dengan Jokowi dan kemudian menyeberang ke kubu Prabowo lalu menyerangnya dengan cara yang sangat tidak etis dalam koridor jurnalisme.

Bila sumber ini salah, mungkin alasan sebenarnya akan tetap terkubur dan menjadi objek spekulasi kita bersama sebagai bangsa dalam berbagai wacana.

Kantor Transisi yang Sunyi hingga Celoteh Wartawati Jilboobs

IMG_3507.JPG
Alhamdulillah semua kisruh Mahkamah Konstitusi itu berlalu. Sekarang Indonesia ibarat membuka lembaran baru. Season baru, begitu istilahnya kalau kita merujuk ke dunia sinetron atau serial televisi semacam Tersanjung atau Grey’s Anatomy. Kali ini tokoh antagonisnya sudah tenggelam, tetapi mungkin disimpan sutradara untuk ditampilkan secara mengejutkan di episode atau musim selanjutnya, sejenis Georgina Sparks yang jalang lalu bertobat di Gossip Girl. Tarik ulur yang menyenangkan, bak bermain layang-layang. Seru!

Kenapa saya bandingkan politik Indonesia dengan semua serial ini? Karena keduanya sama persis. Semuanya telah diatur di belakang layar. Skenario berjalan dan para aktor menjalaninya. Peran bisa berubah, watak juga demikian. Semua bisa berubah jika sutradara dan penulis naskah atau skenario berkehendak.

Jadi intinya sepanjang pagi tadi saya di sini, hanya untuk mengintai para pemimpin negeri, yang barangkali muncul tanpa peringatan kemari. Dan untuk itu kami – para jurnalis malang ini – bersiaga di depannya.

Saya sudah sampai pagi pukul 10.30, dan disambut hening. Saya pikir saya akan disuguhi keriuhan massa di sana tetapi saya salah besar. Memang dari jauh sudah terlihat mobil-mobil Metro TV dan TV One serta Kompas TV di dekatnya tetapi begitu saya mendekati, senyap. Seorang polisi tua berkumis tebal mengoceh dengan rekannya di perangkat HT miliknya. Ada juga segelintir pewarta TV hilir mudik resah memandang ke dalam melalui pintu teralis bercat putih itu. Tak ada siapapun di dalam kecuali dua orang anak muda dengan bingkai kacamata kontemporer yang bergaya dan celana pas kaki serta sneakers. Entah siapa mereka itu. Waktu solat Jumat mendekat dan saya harus pergi dari sana. Untungnya di Taman Menteng ada jamaah solat Jumat jadi tidak perlu jauh ke Masjid Sunda Kelapa.

Setengah dua siang menjelang sore, saya selesai bersantap siang kemudian berjalan kaki di rimbunnya pepohonan Taman Kodok di dekat jl. Situbondo, Menteng. Sampai di kantor transisi itu lagi, dan tak menemui kerumunan apapun jua.

Namun terlihat sekelompok pewarta di pojok dalam sana. Di halaman rumah yang sempit itu. Seorang petugas Paspampres menyuruh saya menuliskan nama dan paraf di buku besar berjudul “Wartawan”. Saya masuk dan duduk. Suasananya beku, membosankan. Semua orang itu asyik dengan gawai mereka sendiri. Dua orang di meja tengah itu tampak asyik dengan jari jemari mereka. Satu pria berambut sebahu dan satu wanita ber-jilboobs. Maksud jilboobs, kalau Anda belum paham, adalah jilbab yang masih belum syar’i karena terlalu pas di dada dan bercelana ketat.

Semua membosankan. Hingga tiba-tiba wartawati jilboobs dari stasiun televisi kenamaan itu mengawali celotehnya. Cerita-cerita yang cukup menghibur. Saya ikut mendengarkan sembari tetap mengetik, berpura-pura sibuk padahal mengantuk.

Live Blogging for Dummies

Live blogging could be distraction to some. Take Steve Jobs as an example. He once made all of the journalists in the room covering the launch of the product ‎put their laptops down, and even better, switch them off. Poor Jobs. He annoyed the journos without remorse. You cannot blame people for doing their job, Jobs!

So apparently live blogging is pretty much a hit maker especially when a hugely impactful event is in progress. Like the last live blog I was writing on that news site I work for. I was on fire writing about the verdict of Prabowo Subianto law suit. As we all know, he sued his opponents, accusing Jokowi and Jusuf Kalla of being tricky and slimy to win over him and Hatta Rajasa. He seemed to do it only to prove he is a loser once again. Another shame he brought for himself. The staunch supporters of Prabowo-Hatta rallied outside the Constitution Court and caused some physical clashes but luckily no one got killed in the process. The army on duty had been instructed to be less agressive (because perhaps Prabowo used to be part of them‎ and is still so no, though informally).

I was NOT there, to be blunt. I was only sitting at my desk, listening to some live streams broadcast on the web. Everyone was curious on what was going on and what was about to happen after the rally. I also summarized longer pieces of news spread on Twitter timeline of some news sites.

Basically this is what I do when I have to live blog indoor. I prepare a web page where I could write a line or two at first, and then as the time goes by, I will add more details chronologically. Mention hours and minutes to give impression you’re continously updating. So when they refresh your page, they can find something new to read, whether it be texts or photos or videos.

Here are some of my insights on live blogging based on my experience.

Focus, focus, focus!
You undoubtedly need to enhance you focus. It’s like listening exams, you listen to sources and process, summarize and publish the information and thoughts almost instantly. Without too long delay, or your readers will be disappointed. It’s very easy when you are in the middle of the quiet room. But when you have to cover outdoor events and liveblog about it, there’s extra mental work to do for you. Never forget to ask a friend or two to be with you to watch your belongings in case you need to use the bathroom for a minute or so. You cannot leave your laptop just like that in an open space where strangers‎ are anywhere to see. That holds true when you already get the right strategic spot to comfortably see and observe a live event and never want to relinquish it to other journos.

Make sure you’re near ‎unused power outlets

‎I cannot stress more on the importance of securing a spot near power outlets.

Make sure the connection works smoothly
After electricity supply is solved, you need to ensure your connection works at the desired speed. Never rely on one modem or one cellular operator. At least, provide two. Otherwise, you’ll cry a river when your favorite operator’s‎ service turn out to suck a lot there.

Get ready with your smartphone
Live blogging could be similar to live tweeting but of course you have to write longer, because you simply CAN. ‎Be more accurate as a reporter than a Twitter user.

And if you are an avid user of WordPress mobile application, you may use the app to live blog. Just add more details on one single blog post with time stamps for each update, with the latest right up there near the title. The app would be such a great tool when you cannot sit there to type on your laptop.

I haven’t given an outdoor live blogging a try. But my hunch is it is going to be a lot more challenging as you will have to deal with more distraction than live blogging indoor.

That said, happy live blogging!

LinkedIn Buktikan Blogging Tidak Akan Pernah Mati

‎Saya benci judul yang terlalu bombastis, tetapi untuk kali ini saja, saya pikir saya HARUS. Kalau diedit menjadi lebih lunak, judul di atas akan berbunyi:”LinkedIn Buktikan Blogging Masih Perlu”. Seperti itulah.

Hari ini saya resmi menulis blog di sini selama 4 tahun persis. Sebuah pencapaian pribadi yang cukup membanggakan, bagi diri sendiri setidaknya. Kalau orang aktif selama bertahun-tahun di Facebook, Twitter atau Google Plus mungkin terdengar hebat. Tetapi yang lebih hebat lagi adalah menulis blog selama bertahun-tahun tanpa lelah mengenai tema tertentu. Saya bukan sedang membanggakan diri dan blog ini. Sama sekali tidak. Blog ini bukan blog profesional. Lihat saja domainnya. Temanya saja gratis. Hosting cuma-cuma. Semua gratis. Tema-tema tulisannya tidak menentu. Kadang yoga, kadang social media, kadang jurnalisme, kadang pepesan kosong, sesekali politik, fiksi, dan sebagainya. Saya kadang cuma mengunggah gambar tanpa teks atau cuma sebuah video dengan penjelasan singkat. Benar-benar tanpa perencanaan. Semuanya spontan saja.

Tetapi awal mula bersentuhan dengan dunia blogging adalah tahun 2009. Tahun itu menandai lebih intensnya saya menekuni blogging. Waktu luang yang melimpah, sebuah laptop dan modem dial-up Smart yang berkecepatan siput berhasil membuat saya kecanduan blogging. ‎Dari bangun pagi hingga dini hari, sering saya terpaku di kursi untuk menulis. Sembari bermain jejaring sosial Twitter dan Facebook, saya pastikan blog saya terisi tulisan baru yang kemudian siap saya promosikan dengan blogwalking (membaca, meninggalkan komentar dan berdikusi dengan blogger lain).

Hari ini pula saya diundang oleh LinkedIn untuk mempublikasikan konten saya di sana. Rupanya, usut punya usut LinkedIn sudah mulai memfasilitasi aktivitas blogging juga sejak beberapa waktu lalu. Mereka tampak bertekad memupuk tingkat kekayaan dan keragaman konten di sini. Kalau bisa saya bandingkan, fitur ini mirip notes di Facebook secara sekilas. Menulis blog di LinkedIn lebih mudah sehingga cocok bagi siapa saja yang merasa gagap teknologi.

Apa yang dilakukan LinkedIn ini bagi saya menjadi pembuktian bahwa blog tidak akan pernah usang. Inilah ‘fitrah’ para pengguna Internet, yaitu membangun interaksi dan tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada berbincang dengan teman akrab di rumah kita sendiri. Rumah itu adalah blog. Anda bisa membangun koneksi di mana-mana, berkenalan dengan orang baru di berbagai tempat di seluruh penjuru dunia tetapi mereka yang istimewa pastilah menyempatkan diri ke rumah Anda, blog Anda.

IMG_3469.PNG

Overwork or Underwork? You Decide

‎I read the other day an article endorsing the idea of “work harder, fellows!” and days before that, I happened to see someone – a serial entrepreneur – with a suggestion of less work, more productivity in order to achieve the work-life balance. I just nodded and came up with my own opinion. I am no entrepreneur, nor do I plan to be one, at least for now, but I suppose the issue is relevant to employees and employers alike. Here is my stance.

The first entrepreneur, or I should say, the future entrepreneur, criticized the laid back culture in Indonesia. He claimed that Indonesians ‎are laid back, much too laid back to compete with the others. I am convinced, by ‘laid back’, he means LAZY. He highlighted in his writeup how unpunctual and undisciplined workers here may get often times. Look at east Asian nations, he wrote somewhat emotionally. They work harder so it goes without saying they are leaving Indonesia behind, far behind. He lamented the consumptive mindset of Indonesians and strongly call for better work ethics. He stated that he was anxious whether the nation would stay consumptive all the time and remain to be audiences in the arena of global entrepreneurship.

The second entrepreneur – who is more seasoned – advises that entrepreneurs or business owners encourage their employees to get a life outside after office hours. They must have some fun, or mingle with friends, date someone they like, watch movies, or whatever ‎they love to do.

To me, ‎both are two different end of a spectrum. None is wrong absolutely. Rather, in my opinion, they are the two phases every startup has to undergo. The first phase requires entrepreneurs to work days and nights, virtually 24 hours 7 days a week. As their businesses grow, flourish and strengthen their position in the market, they definitely cannot relax. The work-as-hard-as-you-can ethos very much applies to this. But then once their businesses are getting stable, there is no need to work that hard. They need to find the balance point ‎to work for passion without getting burned out by its ‘flame’, because who cares how much you are passionate about something? Your body and mind are not machines. Wait a minute, even machines need an overhaul once in a while!

Happy Birthday to This Blog!

IMG_3325.PNG

 

If I didn’t have this blog, I might have gone mad, psychologically troubled. It helps a lot when I need to shout but my mouth cannot say a word. It aids me to handle the influx of ideas, which would be otherwise a waste of intellect. These ideas would be wild, unorganized but the blog helps me organize them all when someday I need them again.

 

Korea dalam Realita

(Image credit: Wikimedia)

Seperti gading, tiada bos yang tak retak…

Begitu peribahasa modifikasinya. Pokok bahasan yang satu itu tidak pernah kering sampai akhir zaman nanti, saya yakin. Selalu saja ada yang bisa diperbincangkan, dikritisi, dicela, dicaci, dan jika ada, dipuji, dari seorang bos.

“Halo, gimana kabarnya?”sapanya ramah di suatu pagi yang bersuasana biasa saja di sebuah ruang bawah tanah yang sedikit pengap tetapi hangat.

Saya terkejut seorang wanita menyapa saya dengan ceria. Beberapa nano detik dibutuhkan otak ini untuk menemukan informasi identitas si nona dalam otak saya. Ah, namanya X, panggil saja Xena. Kibasan rambutnya yang panjang tergerai itu mengingatkan saya pada Xena sang wanita perkasa.

Tetapi lain dari Xena, tubuhnya tidak kekar. Bahkan jika dibandingkan dengan tubuhnya beberapa bulan lalu sebelum pindah kerja ke perusahaan lain, ia tampak jauh lebih menggembung. Entah pilihan kata ini benar atau terlalu kasar, tetapi memang tidak ada yang benar kalau sudah menyoal bentuk dan berat badan. Kata-kata sifat apapun bisa diartikan sebagai pelecehan karya Tuhan. Mulut saya katupkan agar tidak keluar kata-kata semacam:”Hai, makin gemuk saja kamu?! Tambah makmur ya?” Meskipun lebih berisi, ia tampak lelah. Senyumnya agak sedikit dipaksakan.

Kami bercerita panjang lebar dari pengalaman menghadapi bos-bos terdahulu hingga yang sekarang. Tawa sesekali pecah saat kisah-kisah lucu dan absurd mengalir dari mulut. Bos-bos eksentrik dengan kebiasaan dan cara kerja dan perilaku yang tidak lazim.

Hingga di suatu titik, ia menceritakan bos lelakinya yang masih berusia 32 tahun di depan saya. Sambil sesekali menyedot jus jeruk segar dari wadahnya, ia berceloteh,”Bosku ini orang Korea…” Jeda, karena ia tengah merangkai kata.

Pria Korea. Kupikir ia akan bercerita dengan mengharu biru, bangga dengan si bos baru. Raut mukanya biasa saja. Malah cenderung datar. Tetapi saya ingat ia sedang membicarakan seorang manajer, bukan selebriti K-pop atau K-drama. Mimik muka dan bahasa tubuhnya, saya lalu menduga, menunjukkan bahwa si manajer bukan orang yang menyenangkan, apalagi rupawan. Kalau pun tampan, minusnya kelakuan menjadi sandungan memberi sanjungan.

Benar saja. Lanjutnya,”Bosku itu udah punya istri ama anak tapi orangnya ambisius gitu, jadi suka menjilat. Ngintilin presidennya ke mana-mana.” Oh, saya memberi simpati singkat sembari membatin,”Lanjutkan…” Otak saya mencatat dengan huruf besar:”KOREA PENJILAT…”

Teman saya resah, menengok jam tangan. Sementara saya masih tenang dan tekun mendengar. Selesaikan dulu ceritamu, batin saya memohon. Padahal percuma saja. Memangnya dia bisa membaca pikiran saya?

Saya pancing,”Memang pria Korea brengsek ya?” Saya sedikit bergeser menjadi seorang devil’s advocate agar pembicaraan lebih seru. Devil’s advocate adalah orang yang mendukung sisi buruk argumentasi agar perbincangan lebih membara. Begitulah kira-kira.

Pancingan itu sukses. Tak dinyana ia mengeluarkan ekspresi persetujuan spontan. “Iyaaa!! PK banget!!” PK, kependekan dari istilah prokem masa kini Penjahat Kelamin, mengacu pada pria yang suka berselingkuh. Otak saya seolah mengambil pensil dan kertas kemudian menulis dengan huruf tebal font kapital:”KOREA PK”.

Bagaimana ia tahu? Ia pernah menangani reimbursement bertanda terima dari klub malam ternama ibukota, Alexis. Sebetulnya kalau orang berkata Alexis yang teringat dalam benak saya adalah gadis baik- baik, manis dan cerdas seperti Alexis Bledel, pemeran utama Gilmore Girl. Tetapi klub malam ini membuat reputasi nama Alexis tercemar parah. Andai Bledel pernah ke sini dan mengetahuinya, bisa jadi ia akan minta rehabilitasi nama, atau menuntut klub itu di muka hukum. Saya berkomentar,”Wah, kenapa tidak ditegur? Kan kalau ketahuan bisa mencemarkan nama baik perusahaan itu.” Sebelum menjawab ia tersenyum simpul,”Itu dia sama-sama Presidennya, buat entertain tamu rekanan sih… Susah kalau urusan moral di sini.”

Manajer yang menurutnya kurang kompeten itu bekerja tidak becus. Ia bertekad dipromosikan menjadi general manager tetapi prestasinya dapat dikatakan tidak istimewa. B, begitu kalau ia dapat nilai di kuliah. Tidak bodoh tetapi juga tidak mencengangkan.

Tidak jarang ia dan teman-teman kerjanya mengaku dilimpahi pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab si manajer Korea tadi. Supervisor disuruh mengisi lembar penilaian kinerja rekan supervisornya, padahal hidup matinya karir yang bersangkutan akan ditentukan dari penilaian tersebut. Mana tega kalau memberi penilaian buruk pada teman sendiri? Kalau memberi penilaian terlalu bagus nanti bisa menjadi bumerang buat diri sendiri. Dilematis.

Orang Korea yang bekerja di Indonesia, tutur dia, banyak yang bertingkah seperti OKB, Orang Kaya Baru. Di negerinya sana mereka cuma orang dengan gaya hidup biasa saja tetapi begitu bekerja di Indonesia, dengan kurs kita yang lebih rendah, mereka menjadi lebih leluasa meningkatkan level gaya hidup.

Tetapi tidak semua pria Korea juga seperti itu. Sebagai penyeimbang informasi saja, mr. Ahn yang tinggal di sebelah kamar saya terlihat lebih sederhana dalam hal gaya hidup. Kemejanya beberapa. Laptopnya Acer yang biasa dipakai mahasiswa. Ia juga tidak punya mobil. Ke mana-mana berjalan kaki. Saya menduga karena tingkat pendidikannya. Ia tak seberuntung pria Korea lainnya, termasuk si manajer muda teman saya. Mungkin mr. Ahn bukan manajer. Tetapi yang aneh, ia tidak ingin diketahui bermukim di tempat kami oleh teman-teman kerjanya apalagi atasannya di kantor. Ia tidak sebutkan alasannya secara jelas. Mungkin saja ia mau berhemat hingga titik darah penghabisan tetapi malu. Mengencangkan ikat pinggang sampai maksimal dan menjadikan gengsi sebagai tumbalnya.

Enaknya Tua

‎Salah satu sisi enaknya jadi tua adalah tidak perlu pusing dengan urusan sekolah. Masa bodoh dengan perubahan kurikulum. Lebih enak belajar sendiri. Sekolah menyediakan guru, tetapi guru yang menyenangkan dan membuat kita pintar sekaligus susah juga.

‎Tetapi itu kalau Anda tua tanpa anak. Kalau punya anak, tetap saja pusing karena anak Anda harus sekolah. Seperti ibu kos saya malam ini.

“Masak anak SD disuruh bikin skripsi,”katanya sendu. Saya hampir tidak percaya, rahang hampir jatuh. Benarkah? Skripsi yang sampai membuat saya meregang otak 10 tahun lalu? Mengerikan.

Itu kurikulum 2013, jelas ibu kos. Dengan berapi-api, ia melanjutkan keluhannya,”Nanti juga penilaiannya kayak anak anak mahasiswa. Pake A, B, C, D, E…. Bukan pake angka lagi kayak sekarang.”

Saya bertanya dalam hati, apa esensi perubahan ini? Perubahan ini apakah akan membawa kebaikan atau sekadar percobaan?

Untungnya, tidak semua perubahan yang diakibatkan penerapan kurikulum 2013 itu membuat anak-anak Indonesia cemberut. Salah satu yang membuat mereka senang adalah tidak perlunya membawa buku setumpuk dalam tas ke sekolah setiap hari. “Cuma bawa buku satu. Satu buat banyak pelajaran,”celotehnya lagi. Ia prihatin kalau anaknya ke sekolah dengan buku begitu banyak. Kasihan. Punggung mereka masih lemah. Postur dan pertumbuhan mereka bisa terganggu.

“Anak-anak ‎boleh rekreasi tapi nggak ke outbound, nggak ke kolam renang. Nggak ada gunanya. Bakal ke museum aja. Ke museum Gajah, ke museum Fatahillah, gitu lah. Yang ada hubungannya ama pelajaran pokoknya,”paparnya panjang lebar. Bu kos lebih suka dengan ide itu, karena bu guru yang dulu menjadi wali kelas anaknya sering membuatnya kesal. “Masak ke outbound aja cepek (seratus ribu- pen), ke kolam renang deket aja cepek, saban ke mana cepek. Gitu aja masih bilang kurang!”

Anaknya berkeluh-kesah juga tentang perubahan kurikulum ini. “Sekarang ada mencongak jugak. Temenku yang juara kelas malah dapet nol. Aku dapet 50. Lumayan…,”mukanya penuh kemenangan. Ibu si juara kelas protes ke kepala sekolah. “Bu, kok anak saya juara kelas bisa dapat nol?!! Ya, itu sampaikan ke guru yang bersangkutan ya, tukas kepala sekolah itu. Mencongak itu sungguh mengerikan. Bayangkan 10 soal berhitung lalu satu soal diberi waktu cuma 2 detik. “Bagaimana bisa??!!”ibu kos tak percaya.‎ Kalau saya di bangku sekolah dasar diharuskan mencongak begitu juga, saya pasti akan gemetaran lemas. Saya benci berhitung. SANGAT.

Suaminya berkomentar‎ singkat seakan ingin mengingatkan anaknya yang malas belajar,”Makanya kamu… Ah, serba salah juga. Udah lah diem aja…”