3 Akun Instagram Berbasis Teks yang Wajib Di-follow

SELAMA 2022 banyak sekali akun Instagram yang saya temukan dan ikuti.

Tapi dari semua yang saya ikuti di tahun ini, cuma secuil yang sepenuhnya berbasis teks.

Dan entahlah, tapi 3 akun ini yang saya rasa paling kena di hati.

Cuma huruf, tidak ada foto atau ilustrasi apapun sama sekali. Lain dari konten akun-akun lain yang melulu memanjakan mata dan telinga.

Meski demikian, masih saja isi akun-akun ini terasa menarik untuk dinikmati.

Ya karena rangkaian katanya sangat terpilih, terseleksi sedemikian rupa sehingga sangat menyentuh hati. Pas sekali dibaca saat di kereta, atau saat ingin mengisi waktu luang. Buat renungan atau riset buat konten.

WE’RE NOT REALLY STRANGERS

Isi akun ini sangat simpel bentuknya. Tangkapan layar, jepretan foto yang isinya teks di layar hp atau gawai lain.

Nggak neko-neko atau susah untuk mengedit dalam pembuatannya meski pasti ada strategi di baliknya.

Kadang ada juga sih video TikTok yang masuk tapi itu sangat jarang sekali.

Kebanyakan isinya SMS, chat, DM, atau catatan di aplikasi Notes yang menggelitik, membuat trenyuh atau haru biru.

BRIANNA WIEST

Kalau satu ini saya ikuti karena saya sudah membaca bukunya yang bertema self journaling.

Lumayan seru meski postingannya cuma sederet teks yang buat mereka yang menyukai visual, bakal membosankan parah.

Kadang Wiest membagikan penggalan bukunya yang menurutnya paling ‘nyes’ di hati atau paling relevan dengan sebuah momen, misal tahun baru begini.

DIMOETRY

Akun ini milik seorang mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH) jurusan Computer Science bernama Ariel Dimitri.

Awalnya ia cuma mengisi iseng-iseng akunnya dengan tulisan pendek yang ia klaim sebagai puisi tapi sebetulnya menurut saya lebih mirip verbal sketch.

Saya sebut demikian sebab kata-katanya menggambarkan suasana hatinya pada momen tertentu.

Terkesan sendu, agak ‘menye-menye’, melankolis, cenderung overthinking. Tapi ya bukankah begitu memang semua sastrawan dan penyair? Mesti overthinking. Hahaha… (*/)

“Merli Sapere Aude” Shows Philosophy Can Be Cool

Philosophy is a boring subject, most people say.

But I’m pretty sure you’ll find it interesting once you watch this series.

Having watched the first season, I was mesmerized by the dynamic life of a small circle of philosophy students here.

Seen as weirdos due to overthinking, philosophy students break all the stigmas by leading a worldly, hedonic life.

Pol Rubio (Carlos Cuevas) as the protagonist is depicted as an intelligent, good-looking, yet underprivileged young man.

At first I thought he was guy as he had Bruno (David Solans) as his boyfriend but it turned out he self-confessed as a bisexual later on. You can see Pol (left) and Bruno (right) below.

On the contrary, Biel (Pere Valriberra) is a student that is what Pol is not. He is considered second tier, less physically attractive, slender, weaker, less confident in social and academic life.

Meanwhile, there is this boy named Rai (Pablo Capuz), who is living with his mother Victoria quite unhappily after his father passed away. He is rich but feeling empty in his life. Typical..

Maria Bolaño (María Pujalte) is a favorite lecturer in the philosophy faculty. She is a great influence to Pol Rubio. Intellectually, they are attracted to each other.

Bolaño herself is a complicated character. As a single mother, she has to take care of her already adult daughter with Down Syndrome. And Laura, her daughter’s name, is now building a relationship with Victor, a young man also with the same syndrome.

Bolaño struggles with her addiction to alcohol and Silvia, her former student who is now her colleague, is trying to help her recover.

The romantic relationships are quite dynamic here. They exchange sexual partners like a lot, which is not uncommon in the Western society.

What I like from the series is that they are scattered with great quotes. Uplifting enough if you’re having a bad day and need a mood booster. (*/)

Pandemic Diary: Is 2023 The End of It All?

PANDEMIC is over in Indonesia. But for real?

As far as I know, the policy of social and mobility restriction has been over since…. a long time ago.

I mean, we can already enjoy trips to anywhere across the archipelago for quite some time whil China and some other countries are still combatting the new variants of Covid-19.

For those who are in favor of economic growth (and that means a lot of Indonesians), restriction of mobility means killing them slowly. And that’s even faster, especially after the recession news is blown full steam.

Days ago, Prof. Zubairi, a prominent physician cum a highly popular Instagram influencer, announced on his feed that he is in favor of the end of the restriction.

However, he underlines some points that there are still neighboring countries like China that are struggling to combat the new variant.

Joko Widodo, Indonesia’s president, is on the news today. He stated that tomorrow it will be announced whether or not Indonesian government will continue the notorious PPKM, which in fact has been ineffectual and not been put into practice by most Indonesians, I dare to say. LOL.

The policy may be rigidly implemented in public facilities such as public transportation and government-owned facilities but other than that, we are totally free of masks and can move pretty much freely without physical distancing.

People are now used to interacting without masks once again. We go anywhere without masks and no one will frown their eyebrows. The pandemic is unofficially over for most Indonesians. Mostly because we’ve been too tired and too stressed out financially.

I’ve heard of complaints from youngsters especially those who recently graduated (or graduated from university in the last few years) on Twitter how hard it has become for Generation Z to land a decent-paying job. Even low-paid internships are now highly desired. They need internships to just stay optimistic and afloat in spirit and personal finance.

Freelancing is still not prestigious as it was but if it pays the bills then they’ll do it anyway. Really, being unemployed is the worst feeling ever. You feel useless when in fact you’re so young and actually useful enough to make money for the nation. (*/)

ChatGPT Bukan Ancaman bagi Lapangan Kerja Pekerja Kata Asalkan…

Kecerdasan Buatan ChatGPT bisa menulis sebaik manusia, katanya. Tapi apakah bisa menggusur para jurnalis dan penulis manusia? Tunggu dulu!

SEPEKAN lalu saya membaca sebuah unggahan milik editor in-chief media Singapura di LinkedIn.

Di unggahannya, Terence Lee sang editor menyatakan kekagumannya terhadap ChatGPT, sebuah piranti lunak berbasis Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence).

Lee meminta ChatGPT mengubah sebuah rilis pers menjadi artikel berita pendek. Bersamaan dengan itu, dihasilkan juga beberapa pilihan judul bagi artikel tersebut.

“Meskipun percobaan pertama tak begitu bagus tapi ChatGPT memahami umpan balik saya dan mengubah artikel tadi menjadi sebuah tulisan yang hampir layak tayang. Dan itu cuma sekali penggunaan. OpenAI sungguh menakjubkan,” tuturnya.

Di unggahannya, Lee juga memuat beberapa tangkapan layar soal proses tersebut.

Pertama, ia mengetikkan sebuah arahan penulisan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan ChatGPT sebaik-baiknya: menulis artikel 200 kata mengenai topik yang ditentukan Lee.

Kemudian Lee menyalin rekat rilis pers yang dijadikan acuan. Di sinilah materi asal yang bisa diolah ChatGPT.

Kemudian ChatGPT menghasilkan satu paragraf panjang. Tentu kurang enak dibaca. Lee kemudian memerintahkan: “Bagi menjadi beberapa paragraf pendek”.

ChatGPT kemudian mematuhinya dan berhasil menghasilkan tulisan dengan 5 alinea pendek. Lee memberikan sedikit revisi di sini. Ia tak mau ada kata “saya” dan ChatGPT mengeksekusinya. Ia hapus semua kata “saya” dan “ku” agar artikel lebih formal dan profesional.

Kemudian ia memerintahkan ChatGPT menghasilkan 5 opsi judul yang menarik untuk calon artikel. Seketika ChatGPT memberikannya.

Lee memilih opsi pertama dan menyuruh ChatGPT memasukkan satu frasa agar lebih akurat dan memendekkan judul itu agar lebih ringkas. ChatGPT melakukannya dengan efisien.

PERLUKAH PANIK?

ChatGPT seperti sederet inovasi teknologi yang baru muncul pasti memunculkan resistensi/ perlawanan.

Ingat dahulu saat internet muncul, mereka yang bekerja di surat kabar menganggapnya sebagai ancaman. Ada betulnya, tapi itu kalau mereka tak mau beradaptasi kan?

Begitu juga saat email muncul, para pekerja kantor pos pasti menganggapnya sebagai ancaman yang harus dilawan dan dilenyapkan.

Begitu juga yang sekarang terjadi pada ChatGPT. Ia mengguncang banyak industri: dari media, SEO, hingga jurnalistik.

MENGENAI CHATGPT

ChatGPT ialah sebuah chatbot berbasis Kecerdasan Buatan yang baru-baru ini menghebohkan internet.

Dalam waktu 5 hari saja, ChatGPT meraih 1 juta pengguna aktif yang penasaran dengan kekuatannya mengolah kata.

Muncul banyak prediksi dengan kemunculan ChatGPT ini. Ada yang meramalkan tergusurnya lapangan kerja pekerja kata. Ada yang meramalkan otomatisasi bakal melanda seluruh industri di dunia. Ada lagi yang meramalkan kemunculan inovasi terbesar setelah kemunculan iPhone di awal abad 21.

Kita saat ini sedang di fase pertama. Dalam 10 tahun mendatang, banyak industri akan diguncang oleh kehadiran Kecerdasan Buatan (AI) termasuk ChatGPT ini. Demikian ungkap entrepreneur teknologi Joe Speiser dalam utas Twitternya di akun @jspeiser tanggal 14 Desember 2022 lalu.

Menurut Speiser, AI bakal melejitkan kreativitas, alih-alih menghambatnya. Argumennya adalah karena kreativitas adalah soal menghubungkan ide-ide yang tak berkaitan erat. AI bisa dipakai untuk melakukan riset, menulis lirik lagu dan menghasilkan naskah film. Wow!

Yang patut dipahami ialah bahkan menulis dengan AI pun perlu proses. ia menggarisbawahi bahwa proses menulis dengan bantuan AI bisa berlangsung dalam hitungan hari hingga tahun.

“AI tidak menggantikan kreativitas tapi cuma membuatnya lebih cepat,” tegas Speiser. Itu karena AI bisa mengerjakan banyak tugas sekaligus. Beban pekerjaan yang kalau dikerjakan otak manusia bakal tak sanggup.

Lebih lanjut ia bahkan mengatakan AI bisa membantu para pekerja teknologi di bidang coding, pekerja konten, pemasaran, dan SEO. 

——————

Kembali ke unggahan Lee tadi, saya pun tergelitik untuk bertanya pada Lee: “Bagaimana para reporter dan editor bisa bertahan dan tetap relevan?” Mengingat ChatGPT bisa bekerja dengan kemampuan dan keterampilan yang pekerja kata miliki.

Lee mengatakan kita para pekerja kata dan pewarta sesungguhnya tidak perlu begitu antipati pada ChatGPT atau Kecerdasan Buatan apapun yang nanti muncul dengan alasan berikut ini.

JURNALISME TIDAK CUMA MENULIS

Kata Lee, sebagian besar pekerjaan pewarta melibatkan banyak hal dan menulis hanyalah secuil pekerjaan mereka.

Mendapatkan ide berita yang menarik (scoop) misalnya tak bisa dilakukan Kecerdasan Buatan sebagus apapun dia bisa bekerja. Hal ini cuma bisa dilakukan manusia yang punya otak yang bekerja dengan kejelian dan insting berita yang terasah.

PENGETAHUAN DAN PENGALAMAN MANUSIA TAK TERGANTIKAN

Pakar SEO Andrew Holland menanggapi bahwa meski memang bakal ada guncangan di dunia pekerja kata, tak bisa disangkal bahwa ada “tacit knowledge” milik manusia yang tidak bisa digantikan oleh Kecerdasan Buatan ini.

Apa sih yang dimaksud dengan “tacit knowledge” ini?

Maksudnya adalah pengetahuan dan pengalaman yang kita serap selama kita menjalani kehidupan sebagai manusia.

Inilah yang membedakan kita manusia dan mesin: pengalaman hidup. Mesin secerdas apapun masih belum bisa memilikinya. Entah nanti di masa depan.

KEPERCAYAAN

Kita niscaya akan tiba pada satu periode saat banyak tulisan dan konten dihasilkan dengan AI ini. Setidaknya ini akan terjadi sampai satu dekade mendatang.

Tapi sebagai manusia pekerja kata, kita tidak perlu menangis sebab di sini kita masih bisa menggunakan senjata pamungkas: kepercayaan, ungkap Speiser.

Ya, saat semua teks dibuat oleh robot, teks yang dibuat oleh manusia bakal langka dan lebih dipercaya. Masyarakat akan mencari-cari konten yang dibuat oleh sesama manusia karena pada hakikatnya konten ya dibuat oleh manusia untuk manusia demi menyampaikan sebuah pesan yang bermuatan emosi atau pemikiran.

PELUANG DARI KECERDASAN BUATAN

Masih menurut Speizer, bagi Anda yang merasa bahwa AI bakal menggusur lapangan kerja, Anda harus menyesuaikan diri dengan kondisi industri terkini.

Bagaimana caranya?

Speizer menjelaskan sekilas bahwa dalam setidaknya 10 tahun mendatang, kita bisa tetap relevan jika kita bergabung dengan tim-tim yang menciptakan AI.

Jika Anda suka mengajar, Anda juga bisa belajar menggunakan AI dan menerapkannya di industri atau bidang Anda lalu mengajarkannya pada orang lain yang pasti membutuhkan agar tetap ada di barisan terdepan angkatan kerjanya.

Cara ketiga bisa tetap punya pekerjaan di era AI ialah dengan menggabungkan AI ke dalam sistem-sistem bisnis kita. Jangan malah menolak AI! Bunuh diri itu namanya. (*/) 

Russian Choreography Is The Best

I have no idea why Russians are the best in the dancing and artistry department.

Really.

They seem to excel in every synchronized stuff on the earth.

One that amazes me still is their performance at Tokyo Olympics 2020 in 2021 (confusing I know).

But here’s their best performance in the water to a score composed by Dennise Gordezov.

I love the tune but to no avail cannot find it anywhere on the internet.

So I keep it here.

“Parade of the Planets”, that’s how the performance is called. Justly called…