Memburu Makanan Halal dan Higienis di Tiongkok

Membaca pengalaman memualkan David Sedaris tentang makanan Tiongkok dalam “Let’s Explore Diabetes with Owls” membuat saya tergelak. Karena saya bisa merasakan rasa tersiksanya juga!

Dalam narasi jenakanya, Sedaris terus mengeluhkan dengan nada hiperbolisnya yang khas betapa orang lokal tidak jijik meludahkan dahak di mana-mana, bahkan di restoran sekalipun. Toilet dan kebiasaan buang air warga Tiongkok yang jauh dari kesan beradab juga menjadi target cemoohan penulis AS ini. Misalnya, ia terpana menyaksikan seorang anak kecil diangkat begitu saja dengan celana yang sengaja didesain sobek untuk memudahkan buang air besar dan kecil oleh orang tuanya ke sebuah wastafel. Currr! Dan ia pun kencing di dalam wastafel itu. Belum lagi cara menyajikan dan memasak makanan yang menurut Sedaris sembarangan dan kotor. Singkatnya, ia sangat putus asa untuk bisa menemukan sisi positif dunia kuliner dan kebersihan di Tiongkok.

Sungguh, Tiongkok bukan tujuan wisata yang ramah untuk penikmat hidangan yang estetis, bersih, bercita rasa tinggi, dan yang terpenting halal. Tantangannya sungguh berat.

Karena saya muslim, saya harus menyantap makanan yang halal. Mungkin akan lebih mudah jika saya mengaku vegetarian saja, tetapi saya kemudian berpikir, tidak mungkin semudah itu mendapatkan hidangan bebas daging di sepanjang perjalanan. Pikir saya, kalau bebas daging, risiko haram pastinya lebih rendah. Akhirnya saya menyerah. Karena sangat tidak mungkin mereka membuat satu meja dengan hidangan khusus bagi saya. Memasak hidangan terpisah untuk satu orang saja pemakan sayur dan buah dalam rombongan? Selain tidak praktis, pasti tarifnya bertambah. Saya terpaksa harus sangat berhati-hati selama di sana. Seperti berjalan di ladang ranjau, begitulah perumpamaannya. Kadang saat sangat lapar, rasanya hendak berlarian bebas, lalu teringat bahwa ini ladang ranjau yang di bawahnya tersimpan potensi ledakan yang menceraiberaikan diri. Apakah ini benar-benar bebas babi? Jangankan memastikan hidangan bebas babi, bertanya apakah suatu makanan ada kandungan babinya, saya juga tidak bisa.

Pernah suatu ketika kami duduk di sebuah meja makan terpisah yang klaim si pemandu wisata sudah bebas babi. Kami mengicipi semuanya. Satu jenis hidangan berbahan kembang kol menarik perhatian saya dan saya arahkan sumpit ke sana, lalu memasukkannya ke mulut. Sejenak kemudian, seorang teman yang merayakan Natal mencicipi juga hidangan tadi tetapi ia menemukan sebongkah daging di bagian bawah tumpukan kembang kol yang lumayan lezat itu. Ia mencicipi, mengunyah, dan bergumam,”Ini ada dagingnya? Kayaknya bukan daging ayam atau sapi deh…” Hening sejenak. Rasanya masih kurang percaya hingga teman lainnya yang tidak wajib menyantap makanan halal memutuskan mencicipinya dan berkata penuh afirmasi,”Iya, kayaknya bukan nih. Teksturnya lain. Babi…” Seketika tubuh saya terasa tersambar halilintar. Tidak percaya dengan kata-kata teman tadi. Saya tersenyum, berharap ia tertawa setelahnya, pasti ia hanya bercanda. Sialnya, ia tampak serius bahkan sampai makan malam selesai. Jadi benar…

Saya pun merutuk sepanjang perjalanan pulang dari restoran di Shanghai itu.

Namun, masalah tak berakhir di situ. Kebersihan penyajian makanan juga sangat dipertanyakan. Seperti yang pernah saya ceritakan, karena banyaknya piring dan alat makan yang harus dicuci di restoran-restoran itu, mereka menyemprotnya dengan selang air saja. Tanpa sabun, lalu mengeringkannya dan memakainya kembali. Dan jika ada hidangan tersisa, ada kemungkinan dikumpulkan untuk disajikan ke tamu berikutnya. Demikian kisah teman saya yang pernah hidup 6 bulan di negeri tirai bambu tentang pengusaha-pengusaha restoran yang nakal di kota-kota besar Tiongkok. Nafsu makan pun teredam, sembari melayangkan pandangan ke hamparan piring makanan di meja putar, terucap doa agar restoran ini tidak seburuk restoran yang teman saya kisahkan.

Menemukan restoran halal sangat sukar, jika tidak dibilang hampir mustahil. Di sebuah mall di Shanghai, kami menemukan satu restoran muslim yang dikelola oleh pengusaha Tiongkok muslim. Ia ikut memasak, di kepalanya ada kopiah putih. Dan para wisatawan dari Malaysia berkerumun di sana memesan makanan. Proses pembuatan makanan halalnya pun bisa disaksikan karena si juru masak yang juga berkopiah putih itu berada di balik jendela kaca. Ia memilin-milin adonan mie lalu mencacahnya menjadi lebih kecil dengan terampil. Dan saat ia selesai, orang-orang Malaysia itu bertepuk tangan dan mengacungkan ibu jari pada pemuda Tiongkok itu.

Sekembalinya di tanah air, saya bertemu dengan seorang teman yang pernah berkunjung ke sana. Ia yang juga muslim berceloteh dan berbagi kiat dengan saya,”Kalau mau makanan halal, mending pesan seafood saja. Karena saya diberitahu mereka, minyak babi itu tidak dipakai dalam makanan laut. Jadi lebih aman.” Saya berterima kasih untuk sarannya yang sangat terlambat itu. Tetapi mungkin belum terlambat bagi Anda yang hendak melancong ke sana. Hati-hati saja ya.

Tren Sayap Kanan di Eropa Akan Rambah Indonesia?

Sebuah fenomena unik tengah terjadi di benua Eropa. Sejumlah partai sayap kanan (yang bercirikan nasionalis, proteksionis, dan anti kaum pendatang) mendulang dukungan yang signifikan di dunia politik Eropa. Konsekuensinya, posisi kaum kanan yang disebut “euroskeptik” ini akan bertambah dominan dalam komposisi anggota parlemen di banyak negara Eropa seperti Prancis, Inggris, Denmark dan Austria. Demikian seperti dikutip dari situs resmi Parlemen Eropa.

Menurut Marine Le Pen dari Front Nasional Prancis, kemenangan yang partainya alami baru-baru ini itu menjadi suatu pertanda bahwa para warga sudah mendambakan munculnya perubahan. Sementara PM Prancis dari Partai Sosialis Manuel Valls mengklaim fenomena kebangkitan kaum ekstrim kanan ini sebagai “gempa bumi.”

Naiknya pamor kaum sayap kanan di benua Eropa tidak berimbas secara instan pada tingkat dominasi politik mereka dalam penentuan kebijakan tetapi patut digarisbawahi bahwa peran mereka menjadi makin krusial dalam politik Parlemen Eropa di masa mendatang, ujar pakar politik Eropa Simon Usherwood dari University of Surrey, Inggris.

Dikotomi sayap kanan dan sayap kiri memang sudah kabur. Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, sayap kanan lebih cenderung pada konservatisme dan kestabilan negara sementara sayap kiri pada sosialisme dan anarkisme. Akan tetapi, dalam perkembangannya terjadi perpaduan dan distorsi yang membuat batas-batas antara keduanya menjadi lebur.

Di Indonesia, partai pengusung 2 calon presiden kita (Gerindra dan PDI Perjuangan) mungkin dapat dikatakan sebagai partai sayap kanan dan sayap kiri secara berurutan. Ditambah lagi dalam perjalanannya, Gerindra “ditunggangi” kelompok garis keras yang membuatnya lebih anti pendatang (baca: kaum imigran dan segala sesuatu yang berbau asing – xenophobia), nasionalis (cenderung chauvinis bahkan), dan proteksionis (terhadap kaum pribumi dan kepentingan mereka). Gerindra mencoba memposisikan sebagai kutub yang berbeda dari kutub lawannya. Gerindra ingin dikenal sebagai suatu entitas yang memiliki karakteristik yang tidak dimiliki atau berlawanan dengan PDI Perjuangan yang cenderung berat ke sosialisme, seperti konsep parlemen jalanan, sekulerisme (pemisahan negara dan agama). Terjadilah polarisasi secara alami agar pemilih tidak kebingungan membedakan keduanya, sekaligus menambah kebingungan pemilih dalam menentukan pilihannya di bilik suara tanggal 9 Juli nanti.

Apapun yang terjadi, semoga kandidat terbaik,amanah dan jujur yang akan menang dalam pergulatan yang makin memanas ini. Amin.

(sumber: “Sayap Kanan Menguat di Parlemen Eropa” dimuat di Majalah Tempo edisi 2-8 Juni 2014)

Jangan Dikte Pilihan Politik Anakmu, Apalagi Orang Tuamu!

Mau tidak mau, diakui atau tidak, politik sudah setaraf dengan keyakinan sekarang. Oh, sekarang? Mungkin sudah sejak dulu, cuma saya saja yang mungkin berasumsi demikian. Maksud saya adalah seperti agama dan keyakinan kita, pilihan politik kita juga sesuatu yang pada hakikatnya bagian dari hak asasi manusia.

Dengan pandangan tersebut, saya yakin bahwa setiap orang boleh memilih siapa saja tanpa merasa tertekan. Siapa saja boleh menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang diinginkan sesuai hati nuraninya, atau kalau boleh jujur, kepentingan praktisnya.

Jadi saat saya menemukan “Surat untuk Papa yang Akan Memilih Prabowo” di gitaputridamayana.wordpress.com, saya agak tersentak. Apa harus seorang anak mendikte pilihan politik ayahnya? Like…really?!!

Saya tidak pernah setuju dengan tindakan dikte mendikte, bujuk membujuk yang berujung pemaksaan, sakit hati, konflik. Bagi saya, sama saja antara pendiktean oleh orang tua pada anak dengan pendiktean oleh anak pada orang tua. “Kalau kamu masih sayang papa mama, pilih kandidat X!” atau “Kalau papa mama masih sayang aku, pilih kandidat Y!”

Lalu saya berpikir, bukankah inti demokrasi adalah menerima perbedaan yang ada di berbagai lini kehidupan. Kalau kita membuat orang lain memilih calon presiden kesukaan kita padahal mereka sudah memiliki pilihan yang lain, bukankah itu tindakan manipulatif? Memanipulasi orang-orang terkasih demi kemenangan calon kesayangan.Terlepas dari benar tidaknya pilihan itu, caranya tetap saja kurang sesuai dengan prinsip demokrasi menurut hemat saya.

Karena itulah ada frase “We agree not to agree”, yang bisa diartikan secara kasar “Kita sepakat untuk tidak sepakat.” Tampaknya sebagian orang belum memahami makna di balik frase ini. Atau mungkin tidak akan pernah memahaminya.

Tiongkok, Prabowo dan Orang Jawa yang Kebingungan

Seorang teman berdarah Tiongkok mendesak saya untuk memilih Jokowi daripada Prabowo. “Apa-apaan kamu?”reaksi saya membaca agitasi politiknya di jejaring sosial. Saya tidak mau dipaksa. Saya jelaskan saya bukan orang yang suka melakukan sesuatu dengan berdasarkan paksaan, meskipun hal itu bagus dan positif buat saya. Saya perlu memahami alasan di baliknya lebih dulu. “Kita sama,”ucapnya tentang alasan saya menolak kampanyenya tadi. Dan ia pun berhenti membujuk saya. Ia tahu percuma memaksa saya terus menerus. Kalau pun saya memilih Jokowi, atau Prabowo, saya pastikan karena itu dorongan nurani saya, bukan karena saya takut dimusuhi olehnya.

Ia menganggap saya akan memilih Prabowo karena saya pernah menolak mengucapkan selamat Natal pada rekan Nasrani saya. Ia mungkin berpikir,”Wah, ini anak mirip FPI, Hizbut Tahrir! Radikal! Islam garis keras!” Plus, saya pernah berkata terus terang padanya bahwa saya selalu merasa bersalah kalau harus meninggalkan salat. “Sampai seperti itukah?”tanyanya dengan tidak percaya. Saya muslim dan salat menjadi pembeda antara muslim dan non-muslim (dan muslim abal-abal), jadi sudah sepatutnya saya memberikan perhatian lebih pada ibadah rutin saya satu ini bukan?

Saya sendiri tidak pernah bertanya pada teman ini,”Apa agamamu, koh?” Saya bukannya segan atau tidak peduli, tetapi saya hanya menghormati pilihannya untuk tidak membagikan informasi tentang keyakinannya pada saya. Dan kami tak pernah berdiskusi tentang agama.

Sebenarnya saya sudah bosan menulis tentang apapun yang bertema Tiongkok. Beberapa waktu lalu seperti Anda ketahui, saya baru saja beranjangsana ke negeri tirai bambu dan saya menuliskan ulasan yang campur aduk mengenai pengalaman saya di sana. Tidak semuanya indah, wangi dan menggairahkan nafsu makan. Namun, patut diakui negeri itu memang lebih maju dari Indonesia kita ini. Dua hal yang menurut saya tidak bisa ditebus dengan semua kemajuan ekonomi itu adalah air bersih yang melimpah serta kebebasan pers dan berpendapat di negeri kita tercinta. Tiongkok yang seraksasa itu tidak bisa mengungguli kita! Demokrasi mereka dikebiri sementara kita subur sekali meski kacau di sana sini.

Sebagai seseorang berdarah Jawa, saya tidak pernah memiliki masalah dengan mereka yang berdarah Tiongkok. Bahkan selama di sekolah menengah, saya memiliki banyak teman baik yang berdarah Tiongkok. Saya sempat menaksir satu adik kelas di SMP dan ia sipit juga. Kudus untungnya kota kecil yang damai. Saat kerusuhan tahun 1998, saya masih ingat saya duduk belajar di kelas 1 SMA dengan teman-teman sipit dan kuning saya. Pigura presiden Suharto di depan kelas kami turunkan lalu disandarkan di pojok ruangan kelas 1H, kelas saya yang letaknya dekat kantin belakang sekolah. Saya tidak ingat ada kebencian rasial di antara kami. Itu hanya terjadi di televisi, di Jakarta, ibukota yang nun jauh di sana. Kudus kehidupan nyata kami dan hanya kedamaian di sini. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap saat itu.

Pada saat yang sama, di Jakarta kerusuhan masif melanda. Latar belakangnya adalah faktor rasial. Medan juga tidak luput dari kerusuhan karena di sini juga menjadi basis penduduk keturunan. Kerusuhan ini mendorong pengunduran diri Presiden Soeharto dan kejatuhan Orde Baru.

Teman saya tadi menjelaskan mengapa dirinya mendorong saya memilih Jokowi saat ini. “Karena aku takut itu terjadi lagi,”tukasnya. Trauma yang mendalam itu membuatnya terpanggil untuk mendukung Jokowi. “Aku bukan fanatik buta pilih Jokowi tapi aku takut kejadian 98 terulang. Waktu itu aku masih SMA di Tangerang dan jauh dari keluarga. Teman-temanku dari kota asalku ketakutan sampai tidak tidur dengan menggenggam benda apapun yang bisa dijadikan senjata membela diri. Teman dekatku ada yang kena (kerusuhan – pen). Toko mereka dijarah habis-habisan. Mereka tidak sampai dilukai tetapi trauma dengan penjarahan karena melihat sendiri. Intinya kalau pemerintah gak bisa urus negara, ekonomi bisa kacau dan penjarahan bisa terjadi lagi.”

Lalu pagi ini, saya menemukan dua tulisan menarik di Asiapacific.anu.edu.au. Terlihat dari ekstensi domainnya, kita ketahui ini situs asal benua kanguru. Ada tulisan “Prabowo and His Anti-Chinese Past?” tulisan Tonny yang mengaku seorang dosen di Surabaya (tanpa foto diri) dan “Prabowo The Chameleon” tulisan Danau Tanu, seorang mahasiswa Ph. D. Jurusan Studi Asia dan Antropologi di University of Western Australia mengenai mobilitas dan pendidikan internasional di Indonesia.

Artikel pertama membuat saya teringat dengan ketakutan teman saya yang berdarah Tiongkok itu. Di dalamnya dituliskan oleh Tonny sebuah narasi yang sudah jelas arahnya. Prabowo Subianto menurut Tonny adalah salah satu sosok dengan peran penting dalam kerusuhan 1998. Di artikelnya, Tonny menuliskan:
“…as well as doubts about his whereabouts at the time, which possibly link him to the events of May 1998, even if he wasn’t actually at the centre of the violence.
[…] it is rarely remembered that on January 26, 1998, Prabowo invited a group of Muslim intellectuals and clerics to a fast-breaking at Kopassus headquarters. While Prabowo gave a speech about foreign threats to the stability of the nation, his staff distributed books containing data on the economic dominance of Chinese-Indonesians in Indonesia to the audience of around 5,000.
[…] In particular, Prabowo accused Chinese-Indonesian businessmen of economic sabotage as a means of bringing down Soeharto.
[…] we may conclude that Prabowo had an interest in portraying Indonesian Chinese as a scapegoat for the financial crisis of 1997.”

Saya bisa menemukan alasan mengapa teman saya demikian takut dengan kemungkinan naiknya Prabowo menjadi presiden RI kalau pernyataan-pernyataan ini bisa dibuktikan kebenarannya lebih lanjut dengan pemberian catatan kaki atau sumber klaim-klaim di dalamnya. Tetapi sayang saya tidak bisa menemukan rujukan apapun sehingga saya masih skeptis.

Sementara itu, dalam “Prabowo The Chameleon” kita bisa membaca adanya penggunaan teori psikoanalisis untuk menerangkan sikap bunglon Prabowo. Dikutip sebuah wawancara dengan Prabowo yang menceritakan kisah penghinaan terhadap bangsa Indonesia yang dilakukan teman-teman sekolahnya di Swiss terhadap bangsa ini, yang mereka katakan “masih tinggal di pohon”. Seperti primata? Harus diakui itu sangat ofensif sekali. Oleh karena itu, bisa dipahami jika Prabowo yang bersentuhan dengan banyak bangsa di masa mudanya itu tumbuh menjadi pribadi yang nasionalis. Danau Tanu memanggil Prabowo sebagai “Third Culture Kids” karena tumbuh sebagai anak dan remaja yang harus berpindah-pindah. Tercatat ada 6 negara yang pernah disinggahi Prabowo saat belia dan menurut Danau pengalaman masa muda ini membentuk Prabowo sebagai bunglon agar tetap bertahan di lingkungan baru tetapi menurut saya pada waktu yang sama membuatnya makin patriotis karena merasa terhina dengan sikap dan perilaku oknum bangsa Barat yang terang-terangan mencemooh Indonesia. Berikut kutipannya:
“To make it more confusing for the observer is that not only is Prabowo a cultural chameleon, but he is also a political chameleon – two different skills that are not to be confused with each other. The former allows Prabowo to communicate effectively with different audiences, the latter allows him to change political tunes when it suits him. Over the past decade or so, he went from a military commander who was implicated in the killing of unarmed citizens to a defender of the poor.”

Dan sekali lagi,saya menuliskan ini hanya sebagai deskripsi mengapa teman saya itu cemas dengan pencalonan Prabowo menjadi presiden RI ke-7.

Di sini sebagai orang berdarah Jawa dan pribumi, saya mencoba memahami kecemasannya, mencoba berempati dan kemudian terbentur pada kenyataan yang membingungkan, bahwa kedua calon presiden kita ini dari suku Jawa tetapi memiliki pandangan yang berbeda dalam berbagai hal. Jadi, kalau harus memilih dengan prinsip etnosentrisme, memilih Prabowo atau Jokowi juga sama saja. Kalau harus memilih dengan berdasarkan kesamaan keyakinan, tidak ada bedanya juga. Kalau begitu saya harus bagaimana? Untunglah masih ada sepekan lebih untuk sekadar menimbang-nimbang. Dalam pada itu, biarkan hati nurani yang memutuskan.

Dandangan

“Dandang” dalam bahasa Jawa memiliki arti wadah semacam panci untuk merebus air, menanak nasi dan sebagainya. Maka kata “dandangan” bisa saya perkirakan memiliki makna “banyak panci”. Entahlah. Saya hanya berspekulasi.

Tetapi di Kudus menjelang Ramadhan, Anda tidak akan menemukan banyak panci berjejeran di jalan. Anda akan disuguhi orang-orang yang berjalan kaki lalu lalang atau menaiki sepeda motor dengan kecepatan siput hanya demi menghabiskan waktu melihat-lihat barang yang dijual di sepanjang jalan-jalan utama di kota kretek.

Dulu saat masih kanak-kanak, dandangan terasa sebagai sebuah acara yang patut dinanti-nantikan. Apa pasal? Karena di sini bertebaran pedagang-pedagang mainan murah meriah. Anak-anak perempuan biasanya akan memilih mainan berupa alat-alat memasak mini dari bahan tanah liat yang dibakar. Semacam tembikar yang kemudian dicat ala kadarnya untuk memikat hati gadis-gadis kecil yang ingin meniru para ibu memasak di dapur. Mainan ini disebut “pasaran”, yang maknanya berbeda dengan kata “pasaran” (artinya: terlalu mudah ditemukan di mana saja) yang populer saat ini. Mainan ini berbentuk kurang manis memang kalau disandingkan dengan mainan plastik tetapi tentu lebih ramah lingkungan dan tahan panas.

Sementara itu, anak-anak laki-laki bisa memilih truk-truk mini, miniatur mobil, kaos superhero Batman dengan sayap di belakangnya yang berkibar saat naik di sepeda. Ada juga berbagai pistol-pistol palsu dari plastik. Dan yang saya sukai adalah perahu mungil dari seng yang bisa bergerak maju di sebaskom air dengan suara khasnya “otok otok otok…”! Menggerakkan perahu ini mudah saja. Cukup dengan menggunakan sedikit minyak dicelupkan ke sumbu dalam perahu, nyalakan dan panas dari api kecil di dalamnya menggerakkan perahu. Sebuah keajaiban bagi kami, anak-anak kecil yang belum banyak paham prinsip-prinsip sains.

Dandangan biasanya mulai digelar sebulan sebelum Ramadhan tiba. Para pedagang tidak hanya dari Kudus tetapi juga luar kota seperti Demak, Jepara, Pati, Purwodadi dan sebagainya. Kudus memang kabupaten terkecil di Jawa Tengah tetapi daya tarik ekonominya termasuk tinggi. Di sini berdiri Djarum, bisnis yang mengantar kedua bersaudara Hartono sebagai orang terkaya di tanah air.

Di balik hingar bingar Dandangan, tersimpan pula sejumlah masalah sebetulnya. Banyak kriminalitas terjadi dalam kerumunan seperti ini. Entah itu pencurian kendaraan bermotor atau pencopetan. Dandangan juga membuat Kudus lebih kotor dan kumuh. Anda bisa bayangkan kumuhnya jalan-jalan protokol sebuah kota kecil yang warganya berjalan santai, membeli, kemudian membuang sampah sembarangan. Dan itu tidak cuma berlangsung sehari dua hari tetapi sebulan lebih! Belum lagi beban kemacetan dan kerugian immaterial yang diakibatkan dari diadakannya Dandangan.

Polisi juga Manusia

Guru!!! (Bagian 3)

Udara dalam ruang apartemen mewahnya cukup membuat saya sedikit menggigil. Dari sebelah terlihat sebuah gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang megah.

Murid saya ini tidak memiliki mat yoga sehingga ia menggunakan karpet ruangan sebagai alas saja. Saya menyarankannya membeli di toko terdekat tetapi beberapa pekan kemudian ia tak jua mendapatkan mat. Entah karena tak ada waktu untuk membelinya atau karena menurutnya tidak perlu menggunakan mat saat berlatih.

Karena saya datang terlalu awal, tersedia sedikit waktu untuk mengobrol ringan. “Saya bekerja di Cengkareng, jadi lebih enak rasanya olahraga pas waktu sore. Kalau pagi hari, saya sering langsung berangkat kerja. Tidak ada waktu berolahraga,”ia berceloteh dalam bahasa Inggris. MC tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia lulusan New York University dengan pengalaman di dunia industri penerbangan komersial.

Kerja saya cukup menantang juga karena saya mendapati otot-otot tubuhnya yang kaku. MC, sebagaimana banyak orang Kaukasia lainnya, kurang biasa berjongkok. Saat saya melakukan jongkok dengan begitu alami dan tanpa upaya berarti, MC rupanya memiliki pinggul yang kaku dan otot kaki yang tegang juga akibat terlalu sering jogging.

Karena kelas kami berlangsung di malam hari dan MC mengatakan preferensinya adalah yin yoga, saya tidak mengajarkan gerakan yang terlalu menantang tetapi yang lebih menenangkan di waktu setelah bekerja di kantor. Lalu kami berfokus lebih banyak pada gerakan-gerakan peregangan dan restoratif.

Terungkap satu keunikan dalam anatomi tubuh MC. Saat saya menyuruhnya tadasana (pose gunung) dengan kedua telapak kaki paralel atau sejajar satu sama lain dengan jari jemarinya mengarah lurus ke depan, kedua telapak kaki MC selalu membuka. “Memang di keluarga saya begini, Akhlis. Saudara-saudara dan ayah saya kakiknya mengarah ke luar, tidak bisa sejajar, dalam kondisi normal. Posisi ini bisa dikoreksi tetapi tidak bisa bertahan lama. Saya sendiri tidak tahu mengapa,”terang MC. Saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasannya. Jadi ini keunikan anatomi genetis, saya menyimpulkan.

Keunikan itu pula lah yang membuat MC tidak dapat berdiri sebagaimana orang lain saat tadasana dan vrksasana (pose pohon). Saya pun memakluminya.

Kebiasaannya sebagai perenang dan pelari masuk dalam latihan yoga kami. Saat saya mengatakannya untuk bernapas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan, MC secara otomatis menggunakan mulut. “Sebaiknya pakai hidung saja, MC. Dalam berlatih yoga, biasanya kita pakai pernapasan dengan hidung, kecuali dikatakan secara jelas untuk bernapas melalui mulut seperti sitali dan sitkari. Filosofinya, jangan sampai membuang tenaga prana itu ke luar tubuh dengan menghembuskan napas ke luar tubuh lewat mulut. Dengan hidung, prana itu akan tetap bersirkulasi dalam tubuh kita,”jelas saya penjang lebar sembari mengingat sedikit penjelasan teman saat dulu saya membuat kesalahan yang sama.

20140628-141546-51346454.jpg

Diskusi Politik di Kantor

Terus terang saya lumayan anti berdiskusi politik. Bukan karena saya tidak peduli masa depan bangsa, tetapi karena saya terlalu sayang dengan waktu dan tenaga saya untuk mengikuti semua manuver keji dan menggelikan para oknum badut politik. Go to hell with those fucking politicians!

Sayangnya, para politisilah yang menggerakkan negara dan bangsa ini. Saya sangat berharap saya bisa mencintai negara dan bangsa ini tanpa harus mengikutsertakan badut-badut politik yang malang melintang di headline bombastis semua surat kabar dan situs-situs berita. Tetapi kenapa semuanya harus satu paket???

Petang tadi, saya sendiri tidak percaya saya bisa ikut sebuah acara diskusi bertema politik di kantor. Memilih Jokowi, Prabowo atau golongan putih? Hmm, sebenarnya acara ini tidak untuk diskusi yang 100% serius dan penuh pemikiran berat tetapi namanya berbicara tentang isu dengan skala nasional seperti ini, tidak mungkin bisa menghindari perbincangan berat, retorika memuakkan, penyajian “data-data” atau asumsi-asumsi dan overgeneralisasi yang membabi buta. Memang ada kebenaran di dalam konten kampanye tim-tim sukses itu tetapi siapa yang bisa memastikan semua itu absah dan terbukti benar? Apakah semua informasi itu bisa di-cross check? Siapa saja bisa memelintir fakta demi keuntungan kelompoknya. Naif sekali kalau saya langsung percaya. Baik media massa atau media personal seperti blog pribadi pun sudah tidak bisa dipercaya lagi.

Selama ini saya secara sengaja tidak banyak mengkonsumsi berita pilpres (saya tidak menyaksikan debat presiden dan semacamnya). Jika saya tahu pun, itu karena secara tidak terhindarkan saya membaca konten itu di jejaring sosial. Di linimasa dan dinding saya sendiri, saya tidak berkeinginan memenuhinya dengan konten dan status politik. Cukuplah hanya saya yang tahu pilihan saya. Sesekali saya melontarkan status dengan tendensi pada calon tertentu tetapi saya tidak terus menerus melakukannya atau secara terbuka menghina kandidat tertentu. Atau yang lebih memuakkan lagi, memuja kandidat seperti Ahmad Dhani dalam video klip bertema Nazi dan fasisme itu.

Bahkan saat ditanya atasan mengenai pilihan saya, saya menolak menjawabnya. Buat apa? Cuma untuk bahan diskusi, debat kusir yang tidak ada ujung dan gunanya? Lalu untuk bahan cemoohan jika calon yang saya pilih kalah? Saya jawab saja pilihan saya rahasia. Habis perkara. Saya tidak peduli dengan anggapan dia. Toh, apa hubungan pekerjaan dan pilihan seseorang dalam pilpres? Konyol!

Diamnya saya juga menjadi sindiran. “Wah, kamu sukanya diam kalau diajak diskusi tapi habis itu ditulis panjang lebar!” Ditantang seperti itu, saya hanya berkomentar,”Ya, soalnya sudah bosan dengan retorika. Kalau debat hanya untuk menimbang positif negatifnya kandidat ya sampai kiamat juga tidak akan ada habisnya. Saya sih cenderung lebih nyaman berpikiran sederhana saja. Tidak usah terlalu peduli dengan informasi yang berseliweran, dengarkan kata hati saja. Apa yang menurut saya bagus ya coblos lalu bersiap menanggung konsekuensinya. Rakyat mau lebih sejahtera. Itu saja, termasuk saya. Toh, pemimpin bukan satu-satunya penentu keberhasilan bangsa. Rakyat juga harus bekerja keras mengubah nasibnya. Karena kadang pemimpin sudah mengajak kebaikan, rakyatnya masih susah diajak memperbaiki diri. Simpel.”

Duh! Kenapa jadi saya yang berkomentar panjang lebar begini ya? Apapun nanti hasilnya, semoga yang terbaiklah yang menjadi pemimpin kita. Memang tidak bosan ya jadi bangsa mediocre seperti ini? Kalau sudah ada yang terpilih, ya mari dukung demi kemajuan bersama bangsa dan negara. Mau Jokowi atau Prabowo ya dukunglah. Kan kalau sukses ya sukses bersama, terpuruk ya terpuruk bersama.

Ah, sudahlah. Yang penting tanggal 9 Juli nanti, kita gunakan hak suara kita. Mau tidak menggunakan pun, silakan saja. Setidaknya kita bisa mengucapkan:”Selamat libur!”

20140627-233927-85167656.jpg

Guru!!! (Bagian 2)

MC tidak bisa disalahkan juga. Saya ingat yoga dianggap sebagai olahraga ringan nan feminin karena pencitraan yang salah kaprah yang diakibatkan kampanye pemasaran oleh pengusaha-pengusaha Barat. Padahal riwayat yoga sungguh patriarkal, macho. Inilah olah badan, jiwa dan semuanya yang didominasi kaum pria. Patanjali, Iyengar, Patabhi Jois, Krisnamacharya, bukankah mereka semua lelaki? Sayangnya, tidak demikian di Amerika Serikat. Yoga dikemas sebagai alat menarik ibu-ibu rumah tangga yang ingin menjadi lebih kurus kering seperti yogi-yogi India.

Pagi itu tanggal 15 Oktober 2013, kami merayakan Idul Adha. Usai solat Ied di masjid terdekat, saya kembali bekerja. Ya, Anda tidak salah baca. Saya masih bekerja meski di hari libur seperti ini. Sekadar memperbarui beranda depan situs pekerjaan saya. Demi traffic. Bah!

Lalu sekonyong-konyong masuklah surel dari MC. Isinya:
“Hi!
Apakah bisa latihan pertama hari ini saja? Saya libur. Apakah mungkin Anda mengajar hari ini?

MC”

Berkah Idul Qurban! Saya dapat pekerjaan! Tapi sedetik kemudian saya kebingungan karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya ajarkan padanya dan karena saya tidak tahu seperti apa MC sebenarnya, saya panik. Kemudian setelah sedikit menenangkan diri, saya membalas surelnya:

“Hi!

Pukul berapa? Bagaimana jika pukul 5 sore?”

Saya pikir akan lebih enak jika petang hari. Akan ada lebih banyak waktu untuk menyiapkan segalanya.

Sebentar kemudian saya mengaduk-aduk gudang informasi dalam perpustakaan pribadi sebagai inspirasi untuk nanti. Harus bagaimana? Apakah saya harus mengajar dengan pakaian seadanya? Apakah saya harus tampil sporty seperti guru yoga profesional dengan busana bermerek Nike atau Reebok? Bagaimana dengan mat? Ya ampun, mat saya kan biasa begitu? Bukan Jade atau Lulu Lemon. Lalu karena MC pernah cedera bahu, apa saja pose-pose yang aman dan mana yang harus dihindari? Karena dia mau lebih lentur juga, pose-pose apa yang mungkin bisa menambah kelenturan? Split? Tapi apakah itu tidak terlalu berat baginya yang mengaku beginner dalam yoga? Ahh, tiba-tiba semuanya jadi terasa kacau. Kondisi tiba-tiba menjadi rumit karena persiapan yang terlalu singkat ini.

Pukul 5 saya pun meluncur ke apartemen Ascott di dekat Bundaran Hotel Indonesia yang konon mirip desain iluminati itu. Ojek saya dalam 10 menit berhasil melesat ke sana. Saya bahkan sampai di sana terlalu awal.

Tentang tarif per kelas, MC keberatan dengan tarif yang saya ajukan. Itupun karena saya menanyakan pada seorang teman yang bekerja penuh waktu sebagai guru yoga. Katanya,”Naikin aja! Siapa tau dia mau!” MC keberatan dan menawar setengah tarif yang saya ajukan, yang pada dasarnya rekomendasi teman saja. Dan kini saya mungkin dicap MC sebagai guru yoga komersil, mematok harga seenaknya.

Tidak lupa saya mengatakan di awal bahwa saya belum bersertifikat bahkan sebelum saya menyanggupi permintaan MC untuk mengajar. Saya tidak ingin menutupi fakta bahwa saya belum lulus dari sebuah perjalanan panjang yang disebut pelatihan guru yoga yang mungkin juga tidak akan saya pernah bisa lalui dengan mulus apalagi sampai lulus. Tentang hal ini, lain kali saya bahas lagi. Panjang dan dalam ceritanya.

Saya sampai di lobi apartemen itu, menukar kartu identitas lalu ke lift dan menekan tombol 27. Untuk tidak setinggi kantor saya nanti di lantai 39.

Karena saya sudah melakukan sedikit penyelidikan di dunia maya tentang asal usul MC, saya tak terlalu terkejut saat menyaksikannya membuka pintu. Seorang pria Kaukasia tanpa sehelai rambut pun di kepalanya. Di surel, saya pernah menyertakan tautan berita lama dengan sebuah foto yang tampaknya adalah MC. Dia mengenakan setelan jas formal dengan beberapa orang di sampingnya, salah satunya adalah pemegang saham perusahaan yang dijalankan MC, Sandiaga Uno. Mereka tampak berpose di panggung sebuah jumpa pers, setting yang amat familiar dengan pekerjaan saya juga. Ia menjawab:”Benar itu saya, tetapi saya sudah melakukan pekerjaan lain sekarang.”

Tingginya sedang saja, untuk ukuran orang benua Amerika dan Eropa. Mungkin 180-an centimeter. Tetapi saya tidak sampai mendongak ke atas untuk berbicara. Usianya mungkin sekitar akhir 40-an atau awal 50-an. Tidak gemuk tetapi juga tidak kurus. Tidak banyak otot juga. “Lean” bisa jadi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Meski mengaku sebagai perenang, tingginya tidak sampai rangka atas pintu.

MC mempersilakan saya masuk ke apartemennya. Sendiri saja tanpa teman saya masuk ke dalam, seperti seekor ayam dipersilakan masuk oleh sesama ayam yang ramah, yang entah siapa tahu bisa menanggalkan bulunya dan menjadi serigala. Sebetulnya saya merasa biasa saja, tetapi begitu saya ditanya oleh sesama teman tentang murid privat saya ini, mereka menakut-nakuti dengan mengatakan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sedikit pun sebelumnya, seperti…hmmm, sudahlah tak perlu dirinci.

MC tampaknya tinggal sendiri di sini. Apartemennya senyap. Tak ada jejak khas keluarga di sini. Semuanya kaku dan dingin. Tidak ada foto keluarga, tidak ada jeritan anak kecil. Hanya dia sendiri, dan saya, guru yoganya.

(bersambung)

20140626-224057-81657183.jpg

Guru!!! (Bagian 1)

Seorang guru tidak pernah menjadi guru dengan sendirinya. Seorang guru, apapun bidang yang digelutinya, baru akan menjadi guru jika orang lain menganggapnya demikian. Pengakuan status guru itu tidak perlu harus dengan sertifikasi yang berbelit dan menghabiskan uang tetapi yang pasti tentu saja menghabiskan pikiran, waktu dan tenaga karena pertama-tama si guru harus belajar banyak dan praktik lebih banyak juga.

Karena itu, saya segan mengecap diri sebagai seorang guru. Acap kali ditanya,”Apakah kamu mengajar? Apakah kamu guru yoga?” Rasanya aneh untuk menepuk dada dan mendeklarasikan bahwa saya guru. Saya malu mengatakan saya guru, selain karena masih minimnya pengalaman dan pengetahuan, juga karena ini semua masih terlalu awal. Sangat prematur. Butuh bertahun-tahun untuk belajar dan mendalami serta mematangkan apa yang sudah dipelajari. Lambat? Bukan masalah bagi saya. Tidak ada target untuk kepuasan pribadi. Saya hanya ingin menikmati prosesnya, tanpa terpatok hasilnya.

Membahas tentang guru dan murid, saya teringat dengan murid pertama saya. Sebelumnya saya sudah beberapa kali mengajar yoga karena terpaksa. Iya, terpaksa. Entah itu karena tidak ada guru lain yang lebih kompeten atau karena memang saya yang sedang “ketiban pulung.” Tentu saja itu tidak bisa dianggap sebagai mengajar yang sungguh-sungguh dan profesional. Murid-murid itu, atau lebih tepat disebut kelompok orang yang berdatangan ke taman tersebut, tidak bisa memilih guru mereka. Di sini, mereka tidak memiliki hak opsi, memilih layaknya warga negara yang bisa mengikuti pemilihan umum, tetapi cuma menjadi makmum. Dan saya juga merasa lebih banyak berbagi daripada mengajar. Saya tunjukkan bagaimana cara berlatih sehari-hari. Itu saja, dengan sedikit pose-pose “gila” yang menjadi kesukaan saya tentunya. Saya tidak bisa secara intensif mengetahui perkembangan dan kondisi satu persatu murid. Hal itu membuat saya lebih terkesan hanya memberi instruksi daripada secara aktif membimbing.

Namun, murid saya yang berinisial MC itu berbeda. Dia memilih saya secara sadar dan memperlakukan saya layaknya guru profesional. Terakhir kami bertemu adalah satu hari di bulan November yang basah di Jakarta tahun 2013. Lebih dari setengah tahun dari sekarang. Entah di mana dia sekarang. Mungkin tidak lagi menjejakkan kaki di tanah Indonesia.

Saya tiba-tiba teringat MC karena tanpa sengaja membaca sepotong berita yang isinya mengabarkan kembali jatuhnya sebuah maskapai penerbangan swasta nasional di situs berita bisnis yang menjadi sumber mata pencaharian saya. Pengusaha terkenal Sandiaga Uno sempat turun tangan, tulis si jurnalis, tetapi tak ayal lagi depresiasi rupiah mencekiknya. Para pegawai disodori pesangon. Tragis. Tak ada nama MC disebut meski ia adalah petinggi di maskapai itu.

MC yang ekspatriat itu menemukan saya melalui dunia maya. Kegemaran saya menulis blog tentang yoga dalam bahasa Inggris menjadikan saya lebih mudah ditemukan di lautan informasi yang bernama Internet. Saya juga patut berterima kasih pada Mira Jamadi, seorang guru yoga Amerika yang tinggal di Prancis. Ia mengajar yoga di Namaste Festival 2012 dan saya sempat memberikan sedikit ulasan di blog dan ia membacanya lalu menaruh tautannya di situsnya. Dari sana, tulisan saya lebih banyak dibaca pengunjung situs Mira. Dugaan saya, MC juga mulanya mengaduk-aduk informasi di situs Mira dan menemukan tautan ke blog saya.

Apapun itu, MC sampai di blog saya dan menemukan cara menghubungi saya di laman “About”. Semua orang bisa menemukan alamat surel saya dengan mudah di blog. Tak ada nomor ponsel, hanya jejaring sosial.

Pagi tanggal 13 Oktober 2013, MC mengirim via surel untuk menanyakan apakah saya bisa mengajar yoga untuknya saja. “Jadi ini akan menjadi kelas privat pertama saya, jika tercapai sepakat,”batin saya. Saya masih belum yakin dengan keseriusannya. Saya belum berani memutuskan. Lebih lanjut saya bertanya latar belakangnya dalam berlatih yoga, adakah kondisi kesehatan khusus, penyakit, dan sebagainya. Saya tidak mau mengajar “kucing dalam karung.” Akan sangat memalukan jika saya asal berkata sanggup dan tidak bisa menepatinya nanti. Bagaimana jika ia ternyata mengidap kelainan yang saya tidak ketahui dan latihan yoga saya membuatnya lebih parah dari sebelumnya? Saya dihantui pikiran-pikiran semacam itu karena saya tak pernah bertemu MC secara langsung sebelumnya. Saya hanya bisa terus menebak-nebak. Menurut pengakuannya, ia pernah cedera bahu karena berenang secara kompetitif. Jadi mungkin MC itu tubuhnya sangat tinggi, prediksi saya.

Soal tarif mengajar, saya cukup kesulitan menerapkan karena tidak ada yang bisa memberikan gambaran tentang kisaran tarif kelas yoga privat di ibukota. Saya tak pernah mengajar secara profesional sebelumnya dan ini asing bagi saya. Karena kebingungan menetapkan tarif, akhirnya saya putuskan menghubungi seorang teman yang dulunya bekerja di sebuah perusahaan tetapi kini ia hanya mencari nafkah dari yoga. Sebuah keputusan yang berani. Saya sangat mengapresiasi keberanian seperti itu. Belajar dari pengalamannya, temannya yang lain ikut mengundurkan diri sebagai karyawan dan berdua mereka mengais keberuntungan di dunia yoga ibukota. Sementara saya di sini masih gamang dengan menulis atau yoga. Keduanya memberi saya “roh” dalam menjalani kehidupan. Saya merasa berarti dan dihargai karena keduanya.

MC menjawab sekitar pukul 7.06 malam tanggal 13 Oktober 2013:”Terima kasih sudah membalas. Saya baru belajar yoga. Pernah ikut kelas di Desa Seni di Bali Juli kemarin. Saya mau sebuah kelas privat di Jakarta.”

Esok harinya tanggal 14 Oktober 2013, MC kembali membalas dengan mengatakan ia pernah mengikuti kelas Angela dan Anna di sana. Rasanya enak, tulis MC mengenang sensasi setelah mengikuti kelas yoga pertamanya.

Untuk memastikan jenis yoga yang ia anggap “enak” itu, saya bertanya lebih rinci lagi. Ternyata kesukaannya yin yoga dan hatha yoga. Ia tertarik dengan kebugaran dan kelenturan. MC sempat menyebut “menua” sehingga saya menebak usianya sudah cukup uzur. Setidaknya lebih tua dari saya. Kini ia lebih suka berselancar, angkat beban yang ringan, berlari, dan yoga yang dianggapnya lebih lembut dan minim cedera. Padahal tidak juga.

(bersambung)

20140626-104755-38875539.jpg

Kiat Tentukan Format Cerita dalam Tulisan

Juerg Vollmer, Journalist
Juerg Vollmer, Journalist

Menemukan sebuah bahan berita yang menarik di mata pembaca dan ‘menjual’ di mata pengiklan adalah satu kerja keras tersendiri. Ada sebuah keseimbangan yang harus dicapai di sini: keseimbangan antara aspek jurnalisme dan sisi komersialisme. Jurnalis perlu memegang teguh nilai-nilai idealisnya sembari tetap memburu nafkah dengan memberikan berita-berita yang ‘menjual’ bagi medianya.

Setelah hal itu tercapai, kerja tidak berakhir begitu saja. Pewarta harus mengolah bahan tadi agar layak muat dan layak baca. Dan untuk mengolah, tidaklah mudah.

Kiat-kiat berikut ini saya sarikan dari Panduan Pemberitaan tentang Corporate Governance yang diterbitkan oleh International Finance Corporation (IFC). Semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin menjadi pewarta profesional dan sebagai catatan bagi diri saya juga supaya tidak hanya jadi wartawan penyadur dan jangan sampai menjadi wartawan salin rekat alias “copy paste”.

Pada intinya, sifat dasar cerita menentukan formatnya. Ada berita, feature, feature berita, profil dan investigatif.

Dalam memilih sebuah format berita, seorang pewarta perlu melontarkan 3 pertanyaan utama.

Pertama, apakah cara terbaik untuk menceritakan kisah tersebut untuk menari perhatian pembaca dan bertahan memperoleh perhatian mereka?

Kedua, format apakah yang cocok untuk bahan dalam cerita ini?

Ketiga, mengapa para pembaca harus membaca cerita ini sampai tuntas?

Berikut merupakan penjelasan singkat berbagai macam jenis cerita.

BERITA
Jika cerita itu bersifat baru (belum pernah muncul) baik yang sudah atau akan terjadi, formatnya akan menjadi cerita tradisonal dengan paragraf pertama berisi informasi penting lalu menuliskan informasi lain dengan gaya piramid terbalik (makin kurang penting, makin di bawah). Hindari penggunaan terlalu banyak angka saat menulis pembukaan berita.

FEATURE
Cerita yang relatif timeless (elemen waktunya tidak kuat), topiknya umum atau mengenai perspektif tertentu dari kisah dapat dimasukkan dalam jenis berita feature. Misalnya berita tentang struktur organisasi sebuah bisnis yang ditulis pasca munculnya kasus hukum yang membelit seorang petinggi perusahaan.

FEATURE-BERITA
Sebagian kisah tidak bisa dibedakan secara jelas antara kedua kategori sebelumnya. Cerita jenis ini biasanya mencakup peristiwa yang baru terjadi atau tulisan tentang tokoh dalam berita terhangat, contohnya bagaimana direktur baru pengaruhi pengambilan keputusan dalam perusahaan, bagaimana perusahaan- perusahaan bangkit pasca ambruknya sektor industri yang terkait.

PROFIL
Profil hanya memuat kisah satu orang dan membahasnya secara intensif. Wartawan bisa memperkaya tulisan dengan tidak hanya mewawancarai si sosok itu tetapi juga teman-temannya, anggota keluarganya, bahkan rival-rivalnya. Profil pun bisa difokuskan pada bisnis tertentu, misalnya anggota-anggota keluarga yang lebih muda dalam suatu bisnis keluarga, atau seorang pemegang saham yang vokal menentang kebijakan perusahaan.

INVESTIGATIF
Cerita investigatif memiliki unsur-unsur cerita jenis berita dan feature. Ciri khasnya ialah adanya penguakan pelanggaran dan menjadikannya berita utama untuk pertama kali. Panjangnya melebihi berita atau fitur biasa dan bisa disajikan sebagai satu rangkaian cerita selama beberapa hari dengan sidebars (kotak cerita). Sidebars adalah cerita-cerita lebih kecil yang menyertai cerita utama dan setiap cerita memusatkan diri pada satu sub topik tertentu yang ditujukan dalam cerita tersebut, memberi detil dan latar belakang lebih. Misalnya, kisah-kisah mendetil tentang praktik akuntansi perusahaan dapat menjadi ceria investigatif bila dapat membuka kasus pelanggaran tertentu.

KOLOM OPINI
Jenis cerita satu ini mirip dengan “opinionated bloggers”, menurut saya. Hanya saja yang menulis adalah jurnalis. Di dalam kolom opini, Anda dapat temukan ulasan, kritik dan spekulasi atau asumsi sang jurnalis berdasarkan fakta yang sudah ada.

Write and Read, Read and Write

“If you don’t have time to read, you don’t have the time (or the tools) to write. Simple as that.”

I read it somewhere. As inspiring as it seems, I decided to blog about it.