Membaca pengalaman memualkan David Sedaris tentang makanan Tiongkok dalam “Let’s Explore Diabetes with Owls” membuat saya tergelak. Karena saya bisa merasakan rasa tersiksanya juga!
Dalam narasi jenakanya, Sedaris terus mengeluhkan dengan nada hiperbolisnya yang khas betapa orang lokal tidak jijik meludahkan dahak di mana-mana, bahkan di restoran sekalipun. Toilet dan kebiasaan buang air warga Tiongkok yang jauh dari kesan beradab juga menjadi target cemoohan penulis AS ini. Misalnya, ia terpana menyaksikan seorang anak kecil diangkat begitu saja dengan celana yang sengaja didesain sobek untuk memudahkan buang air besar dan kecil oleh orang tuanya ke sebuah wastafel. Currr! Dan ia pun kencing di dalam wastafel itu. Belum lagi cara menyajikan dan memasak makanan yang menurut Sedaris sembarangan dan kotor. Singkatnya, ia sangat putus asa untuk bisa menemukan sisi positif dunia kuliner dan kebersihan di Tiongkok.
Sungguh, Tiongkok bukan tujuan wisata yang ramah untuk penikmat hidangan yang estetis, bersih, bercita rasa tinggi, dan yang terpenting halal. Tantangannya sungguh berat.
Karena saya muslim, saya harus menyantap makanan yang halal. Mungkin akan lebih mudah jika saya mengaku vegetarian saja, tetapi saya kemudian berpikir, tidak mungkin semudah itu mendapatkan hidangan bebas daging di sepanjang perjalanan. Pikir saya, kalau bebas daging, risiko haram pastinya lebih rendah. Akhirnya saya menyerah. Karena sangat tidak mungkin mereka membuat satu meja dengan hidangan khusus bagi saya. Memasak hidangan terpisah untuk satu orang saja pemakan sayur dan buah dalam rombongan? Selain tidak praktis, pasti tarifnya bertambah. Saya terpaksa harus sangat berhati-hati selama di sana. Seperti berjalan di ladang ranjau, begitulah perumpamaannya. Kadang saat sangat lapar, rasanya hendak berlarian bebas, lalu teringat bahwa ini ladang ranjau yang di bawahnya tersimpan potensi ledakan yang menceraiberaikan diri. Apakah ini benar-benar bebas babi? Jangankan memastikan hidangan bebas babi, bertanya apakah suatu makanan ada kandungan babinya, saya juga tidak bisa.
Pernah suatu ketika kami duduk di sebuah meja makan terpisah yang klaim si pemandu wisata sudah bebas babi. Kami mengicipi semuanya. Satu jenis hidangan berbahan kembang kol menarik perhatian saya dan saya arahkan sumpit ke sana, lalu memasukkannya ke mulut. Sejenak kemudian, seorang teman yang merayakan Natal mencicipi juga hidangan tadi tetapi ia menemukan sebongkah daging di bagian bawah tumpukan kembang kol yang lumayan lezat itu. Ia mencicipi, mengunyah, dan bergumam,”Ini ada dagingnya? Kayaknya bukan daging ayam atau sapi deh…” Hening sejenak. Rasanya masih kurang percaya hingga teman lainnya yang tidak wajib menyantap makanan halal memutuskan mencicipinya dan berkata penuh afirmasi,”Iya, kayaknya bukan nih. Teksturnya lain. Babi…” Seketika tubuh saya terasa tersambar halilintar. Tidak percaya dengan kata-kata teman tadi. Saya tersenyum, berharap ia tertawa setelahnya, pasti ia hanya bercanda. Sialnya, ia tampak serius bahkan sampai makan malam selesai. Jadi benar…
Saya pun merutuk sepanjang perjalanan pulang dari restoran di Shanghai itu.
Namun, masalah tak berakhir di situ. Kebersihan penyajian makanan juga sangat dipertanyakan. Seperti yang pernah saya ceritakan, karena banyaknya piring dan alat makan yang harus dicuci di restoran-restoran itu, mereka menyemprotnya dengan selang air saja. Tanpa sabun, lalu mengeringkannya dan memakainya kembali. Dan jika ada hidangan tersisa, ada kemungkinan dikumpulkan untuk disajikan ke tamu berikutnya. Demikian kisah teman saya yang pernah hidup 6 bulan di negeri tirai bambu tentang pengusaha-pengusaha restoran yang nakal di kota-kota besar Tiongkok. Nafsu makan pun teredam, sembari melayangkan pandangan ke hamparan piring makanan di meja putar, terucap doa agar restoran ini tidak seburuk restoran yang teman saya kisahkan.
Menemukan restoran halal sangat sukar, jika tidak dibilang hampir mustahil. Di sebuah mall di Shanghai, kami menemukan satu restoran muslim yang dikelola oleh pengusaha Tiongkok muslim. Ia ikut memasak, di kepalanya ada kopiah putih. Dan para wisatawan dari Malaysia berkerumun di sana memesan makanan. Proses pembuatan makanan halalnya pun bisa disaksikan karena si juru masak yang juga berkopiah putih itu berada di balik jendela kaca. Ia memilin-milin adonan mie lalu mencacahnya menjadi lebih kecil dengan terampil. Dan saat ia selesai, orang-orang Malaysia itu bertepuk tangan dan mengacungkan ibu jari pada pemuda Tiongkok itu.
Sekembalinya di tanah air, saya bertemu dengan seorang teman yang pernah berkunjung ke sana. Ia yang juga muslim berceloteh dan berbagi kiat dengan saya,”Kalau mau makanan halal, mending pesan seafood saja. Karena saya diberitahu mereka, minyak babi itu tidak dipakai dalam makanan laut. Jadi lebih aman.” Saya berterima kasih untuk sarannya yang sangat terlambat itu. Tetapi mungkin belum terlambat bagi Anda yang hendak melancong ke sana. Hati-hati saja ya.