Derita Orang Kaya

SELALU menarik untuk mencari tahu mengapa seorang manusia melakukan sesuatu perbuatan yang tidak masuk akal. Apalagi jika manusia itu memiliki posisi untuk bisa melakukan hal lain yang lebih enak, nyaman dan aman.
Sebut saja namanya Ave Maria. Ia dulu pernah bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Komposisi pegawainya bermacam-macam. Ada yang dari keluarga pekerja kelas menengah seperti dirinya, ada juga yang dari keluarga kaya. Dan golongan kedua ini memang menonjol. Gaya hidup mereka mirip orang tua mereka yang jet set. Dan mereka tidak berusaha menutupi itu dan tidak merasa harus merendah atau berakting miskin.

Singkat cerita, Ave Maria ini memergoki seorang temannya itu membawa tas Hermes ke kantor. Tak yakin bahwa tas itu orisinal, ia membawa isu itu ke sesi percakapan santai kantor dengan nada melucu. “Tuh kalau kerja yang rajin biar bisa kayak mbak Juminten (nama samaran tentu saja). Sampe bisa beli tas Hermes noh!” kelakarnya lepas di depan teman-teman sekantornya.

Tapi bukannya tawa yang meledak, justru teman-temannya menundukkan kepala, dengan jari telunjuk di bibir dan menoleh ke kanan dan kiri. Seakan takut dipergoki sedang berbuat maksiat.

“Kamu nggak tahu ya? Mbak Juminten kan anaknya pak Karto (nama seorang politisi kawakan di sebuah mesin politik orde baru). Jangan macam-macam kamu. Ya panteslah dia punya tas Hermes. Beda ama kita, say! Jelata!” terang si teman berbisik-bisik agar Juminten tidak dengar jika tiba-tiba lewat.

Usut punya usut, memang si Juminten ini kualitasnya jempolan. Ia lulusan kampus di Amerika dan konon cerdas pula. Jadi orang sekantor respek padanya meski belum menduduki jabatan penting. Dengan latar belakang keluarga sementereng itu, Juminten juga berhak dikagumi sebetulnya.

Saya sendiri pernah beberapa kali mengamati orang-orang muda seperti ini; hidupnya sudah berkecukupan dan malah berlimpah ruah. Mereka bisa saja memulai usaha sendiri atau melakoni kehidupan dambaan mereka tetapi malah menjalani kehidupan sebagai budak korporat.

Saya misalnya pernah bertemu dengan seseorang bernama Bambang, yang anak kandung seorang menteri luar negeri yang justru merintis karier sebagai penulis bisnis di perusahaan asing. Apakah ia tidak ingin bekerja di luar? Apakah ini akan menjadi pekerjaan tetapnya? Saya lihat ia sudah beberapa tahun berkarya di sana sehingga diberi titel penulis staf senior.

Lalu ada juga anak muda yang orang tuanya ialah pemilik perusahaan yang saya pilih sebagai tempat kerja selama lima tahun. Jacky, sebut saja namanya begitu, bisa dikatakan relatif rendah hati. Ia baru lulus kuliah. Rumor yang beredar mengatakan ia sebetulnya mau menjadi pendeta tetapi karena bisnis keluarga mesti diurus bersama-sama, ia tidak bisa semaunya jadi pemuka agama. Akhirnya kompromi dilakukan. Ia mengorbankan cita-citanya. Di situ saya merasa beruntung memiliki orang tua yang demokratis meskipun tidak sangat kaya raya.
Kemudian saya membaca sebuah artikel berjudul “Ivanka Trump’s Terrible Book Helps Explain the Trump-Family Ethos” karya Jia Tolentino yang dipublikasikan 29 November 2016 lalu. Di situ, Jia mencibir habis-habisan soal buku milik Ivanka yang berjudul “The Trump Card” yang dirilis tahun 2009. Tulisan Ivanka dianggap mengada-ada dan menunjukkan disonansi kognitif (cognitive dissonance: suatu kondisi psikologis yang di dalamnya seseorang merasakan ketidaknyamanan mental karena terus-menerus memegang dua ide, keyakinan, atau nilai yang berbeda). Jia menulis:”Apa yang bisa diajarkan seorang perempuan yang terlahir dengan kondisi berkelimpahan pada mereka yang sudah sejak lahir sudah berkutat dalam keterbatasan?” Jia meradang karena Ivanka menuliskan sedemikian rupa seolah-olah semua kondisi berkelimpahannya itu (dari nama besar Trump, kekayaan, penampilan yang ayu, kulit putih, berpendidikan tinggi dan sebagainya) adalah sesungguhnya KENDALA.
Saya pikir, bisa jadi!

Kenapa karena semua itu mengaburkan jatidiri Ivanka sebenarnya. Karena nama Trump, ia bisa jadi dianggap pebisnis ulung. Padahal mungkin sebetulnya tidak. Karena penampilan yang seksi, ia juga mungkin dianggap remeh oleh rekan bisnis dan karyawannya. Overestimasi atau underestimasi, begitu saja perlakuan orang padanya. Tidak ada yang memandang Ivanka sebagai seorang individu terlepas dari semua atribut istimewa yang menjadi dambaan semua orang tadi.

Karena itu, menurut saya derita tidak kenal kasta. Mau kaya, atau papa, kita semua memiliki nestapa masing-masing. Bagi mereka yang hidup sebagai kaum jelata yang mengais nafkah dengan menjadi buruh seperti saya atau mungkin Anda, nestapa bisa berupa sedikitnya kebebasan akibat kurang harta atau kebanyakan utang. Tapi bagi mereka yang sudah tak berpikir besok beli makanan apa dan berpikir besok bakal beli perusahaan makanan yang mana, deritanya sungguh berbeda. Karena uang itu mirip air laut, yang makin diminum makin membuat haus, orang-orang kaya ini bisa terjebak dalam lingkaran setan mengejar dan memelihara aset yang ada. Tidak bisa tidur gara-gara perusahaannya yang ini merugi, sementara perusahaannya yang itu diurus CEO yang tidak becus, lalu ada berita bahwa harga sahamnya di korporasi X anjlok. Di tengah kondisi ekonomi yang labil seperti sekarang saat kesenjangan makin lebar, menjadi orang kaya bukan jaminan bahagia.

“Kita semua punya beban masing-masing,” tulis Ivanka.
Saya sepakat. (*/)

Sent from my BlackBerry 10 smartphone.



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: