
Manusia memang munafik. Tidak pria, tidak wanita. Semuanya.
Kalau ada yang berkata “Beauty is only skin deep...”, saya akan meludahi mukanya karena sungguh di masyarakat yang semakin ter-Instagram seperti sekarang, rupa sangat menentukan. Bahkan di atas apapun juga.
Meskipun adagium klasik itu membahas soal kecantikan, ternyata kemolekan rupa dan segala konsekuensinya dalam hidup tidak hanya terjadi pada kaum Hawa. Para pria juga menjadi sasarannya.
Pernah seorang teman perempuan bertanya secara terbuka dengan nada bercanda: apakah harus memilih seorang pria tua yang kaya raya atau pria muda tampan untuk menjadi suaminya?
Saya mengatakan – dengan nada bercanda juga – bahwa ia bisa mendapatkan dua-duanya. Caranya adalah dengan menggunakan strategi sebagai berikut: pilihlah pria tua kaya raya yang memiliki tingkat kesadaran rendah terhadap pentingnya menjaga kesehatan. Ia harus gemuk, ia harus malas sekali berolahraga, ia harus tidak mau makan sehat sesedikit apapun, ia harus jijik melihat dokter dan rumah sakit. Intinya, ia harus cepat mati. Plus, sebagai istrinya, teman saya bisa menyajikan hidangan-hidangan lezat, berkalori tinggi dan bernutrisi tidak seimbang agar suami rentanya lekas ‘wassalam’. Dengan demikian, ia akan bisa cepat mendapatkan warisan tersebut dan kemudian menikahi si pemuda tampan idamannya. Masalah terpecahkan, bukan? Idealnya demikian.
Dan meskipun sebagian wanita berkoar-koar:”Jangan nilai kami dengan rupa kami,” atau “Kami lebih dari sekadar tubuh indah yang berlekuk,” atau “Perempuan tidak sedangkal pria dalam menilai kualitas pribadi”, apa daya sains membuktikan bahwa kalau soal ‘mata keranjang’, pria dan perempuan itu SAMA SAJA.
Mau bukti?
Tim peneliti yang dipimpin Madeleine Fugère dari the Eastern Connecticut State University di AS menemukan bahwa saat para ibu dan anak perempuan mereka diharuskan memilih pasangan masa depan, mereka sangat mengutamakan tampang alias tampilan fisik.
Para ibu akan cenderung memilih pria-pria yang relatif tampan untuk para anak perempuannya. Para anak perempuan – jika dibandingkan ibu mereka – malah memperlihatkan standar yang lebih tinggi soal rupa fisik. Mereka tidak mau membidik pria-pria yang cukup tampan tetapi hanya mendambakan pria-pria dengan kriteria fisik yang di atas rata-rata. Harus tinggi, harus putih, harus mancung, harus six pack, harus seperti model …bla bla bla, begitu biasanya (ini bukan keterangan ilmuwan itu tapi dari sekeliling saya).
Karakter intrinsik dalam pribadi pria-pria itu tidak diindahkan. Gadis-gadis ini LEBIH TIDAK PEDULI apakah si pria punya rasa hormat pada sesama, apakah si pria ramah pada orang di sekitarnya atau dingin, apakah si pria memiliki kecerdasan yang membuatnya tidak memalukan saat diajak berdiskusi ilmiah atau bergaul di lingkaran terdidik. Pokoknya maunya ganteng saja. Titik.
Tidak peduli seorang pria memiliki kecerdasan seperti profesor atau memiliki sopan santun tinggi pada lingkungan sekitar atau menunjukkan keramahan yang berlimpah ruah pada sesama, kalau dia memiliki rupa yang tidak menarik dan jelek, kasarnya, maka tidak ada peluang sedikit pun untuk dipertimbangkan menjadi calon pasangan.
Peribahasa “jangan nilai buku dari sampulnya” rasanya mencerminkan betapa hipokritnya masyarakat kita dari dahulu. Daya tarik fisik tetaplah yang utama, mau disangkal segigih apapun.
Jadi, saat sebagian perempuan merasa jijik dengan sejumlah pria yang terobsesi dengan perawatan kulit ala aktor-aktor Korsel dan Hollywood, maka bercerminlah:”Apakah saya dan teman-teman saya mendorong para lelaki ini untuk gila-gilaan merawat tubuh dan wajah mereka?”
Jangan-jangan jawabannya iya. (*/)

Leave a Reply