Apa yang digadang-gadang sebagai pesta demokrasi ini sedang mendekati hari H-nya. Sudah kurang dari sepekan, bung!
Kita akan bisa berlega melihat lansekap urban Jakarta dan kota-kota dan desa-desa yang akan kembali seperti sediakala. Setidaknya tiada lagi materi promosi parpol, paslon, caleg yang mencederai mata ini. Tapi tidak bisa dipungkiri, semua ini juga ada manfaat ekonominya. Tanya saja pengusaha sablon dan percetakan dan periklanan.
Saya sendiri sudah hilang nafsu di pemilihan kali ini. Ibarat menu, saya dipaksa memilih satu dari dua padahal SAYA MAU MENU BARU. Yang tidak ada sebelumnya.
Di sinilah saya terjebak pada analogi atau pengumpamaan yang tidak pas dan salah sebagaimana yang dilakukan para politisi itu. Bagaimana bisa menyamakan pemilihan akbar ini dengan memilih menu restoran? Pilih menu restoran boleh saja itu-itu melulu tetapi memilih presiden yang itu lagi juga rasanya tidak ‘sreg’. Sebegitu kurangnya kah negeri ini dengan manusia berpotensi?
Memilih yang belum pernah menjabat? Duh, tapi dia bagian rezim yang dzalim dan tidak pantas dirindukan dengan alasan apapun. Tidak progresif dan mengandalkan kampanye destruktif. Tidak simpatik.
Dua menu ini sudah ada di periode sebelumnya dan pertarungannya sengit melebihi Barathayudha. Heran saya dengan kegegapgempitaan tersebut. Apa sih yang didapatkan dari kengototan mendukung paslon? Pahala? Itu hak Tuhan saja. Jangan bicara soal pahala atau dosa jika kamu masih menapak di tanah.
Mengamati proses demokrasi di negeri yang konon rajanya HAM dan penerapan demokrasi saja saya mau mencibir,”Apa manfaat semua jungkir balik demokrasi itu jika hasilnya adalah presiden sekaliber Trump?!”
Suara rakyat kadang bukan suara Tuhan.
Suara mayoritas kadang justru suara Setan.
Tentu opini ini bisa disangkal dengan menyodorkan negara demokrasi dengan pemimpin berkualitas jempolan seperti di negeri kiwi.
Tetapi itu kan di sana saja. Sementara itu tren politik identitas makin mengglobal, menggerus demokrasi.
Kepercayaan pada parpol sudah di titik nol. Korupsi, kolusi, nepotisme tidak lenyap dari parpol-parpol itu. Cuma menyublim ke wujud yang lebih subtil, halus, tak kasat mata. Ngeri kan?
Padahal di Indonesia, parpol merajai segalanya. Gila.
Yang lucu, ada yang menginginkan khilafah tapi masih berpartisipasi aktif dalam permainan demokrasi yang dicatut dari peradaban Yunani (baca: dedengkotnya peradaban Barat).
Lalu semua silang sengkarut ini harus bagaimana?
Apakah yang bisa diperbuat agar bisa lepas dari lingkaran setan demokrasi yang melibatkan proses memilih, memuja dan kecewa berulang kali?
Mungkin tidak ada.
Karena suara saya terlalu unik.
Karena suara saya tak bisa diwakilkan.
Karena suara saya terlalu berharga untuk digadai.
Saya memilih memihak pada calon independen tapi entah kenapa proses demokrasi di sini tak memungkinkannya. Terlalu menyederhanakan selera. Padahal sebenarnya bisa lebih dari dua.
Saya mau alternatif.
Saya mau yang tengah-tengah.
Buka cuma dua yang memecah- belahnya.