Belajar Berbagi dari Yudhi Widdyantoro

  Minggu pagi itu terlihat puluhan orang berkumpul di tengah pelataran Taman Suropati, Jakarta Pusat. Kawasan yang asri itu dipenuhi pepohonan besar nan rindang. Sesekali burung-burung merpati terbang melintasi taman menuju sarangnya yang ada di tengah taman. Saat seorang pria muncul dengan menyebar segenggam biji jagung dari kantung kecil, kawanan merpati itu mengerumuninya. Hewan bersayap…

20140717-215738-79058457.jpg
Saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk yoga beberapa tahun lalu, Yudhi Widdyantoro – pendiri Komunitas Yoga Gembira – tak berpangku tangan dan  menyebarkan semangat berbaginya melalui yoga.

 

Minggu pagi itu terlihat puluhan orang berkumpul di tengah pelataran Taman Suropati, Jakarta Pusat. Kawasan yang asri itu dipenuhi pepohonan besar nan rindang. Sesekali burung-burung merpati terbang melintasi taman menuju sarangnya yang ada di tengah taman. Saat seorang pria muncul dengan menyebar segenggam biji jagung dari kantung kecil, kawanan merpati itu mengerumuninya. Hewan bersayap ini bercampur dengan kerumunan manusia. Orang banyak berlalu lalang di sekitar demi untuk melepas penat, sekadar duduk-duduk mengobrol bersama orang terkasih dan sahabat di bangku taman yang artistik. Sungguh tempat yang ideal untuk menghabiskan waktu di akhir pekan yang amat berharga bagi penduduk ibukota yang sangat sibuk.

Di sinilah saya bertemu dengan Yudhi Widdyantoro di suatu Minggu pagi tahun 2010. Kala itu, saya melihatnya sedang berlatih teknik pernapasan khusus. Ia tampak fokus pada apa yang dilakukannya tanpa peduli orang lalu lalang di sekelilingnya. Mengasyikkan. Dan saya tertarik. Saya menghampirinya dan bertanya,”Boleh ikut yoga?” Sebelumnya saya memang sudah memendam rasa ingin tahu tentang kegiatan olah raga dan olah rasa satu ini. Saya sudah memiliki satu bukunya di rumah dan merasa harus berlatih dengan panduan guru, bukan hanya membaca buku.

Ia menyambut baik keinginan saya untuk belajar. Kami duduk bersama dan saya belajar bagaimana bernapas dengan baik untuk membersihkan tidak hanya saluran napas yang tersumbat oleh kotoran yang kasat mata tetapi juga menyingkirkan ‘kotoran’ yang tak kasat mata yang mencemari pikiran dan hati. Dari sana, saya makin jatuh hati dengan yoga. Namun, saat itu saya belum tahu bahwa saya bisa belajar darinya bukan hanya yoga tetapi semangat untuk berbagi. Berbagi pada siapa saja, bukan hanya mereka yang sepaham, segolongan, sekeyakinan, tetapi melintasi semua batasan tersebut.

Bukan Hanya Asana

Berawal dari pertemuan kami di Minggu pagi tersebut, saya secara rutin mengikuti kegiatan komunitas yoga bernuansa sosial yang Yudhi gagas. “Namanya Komunitas Yoga Gembira. Dengan beberapa teman komunitas ini mulai berkegiatan sejak tahun 2009. Saat itu kami mulai beryoga di tempat umum seperti museum STOVIA Jakarta,”terangnya mengenang cikal bakal komunitasnya.

Yudhi saat itu merasa resah dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan yoga pada tanggal 26 Januari 2009. Tidak banyak yang tahu bahwa dalam keputusan fatwa tersebut yoga sebagai olahraga dan teknik pernapasan murni tidaklah dilarang. Hanya yoga yang melibatkan mantra-mantra reliji dan pemujaan saja yang dilarang oleh MUI, karena menurut para ulama hal itu bisa membelokkan keyakinan para muslim yang mengikutinya. Dikatakan oleh Ketua Panitia Yaswirman setelah sidang pleno Ijtima’ MUI di Aula Perguruan Diniyah Putri Kota Padang Panjang Sumbar, “senam yoga yang melibatkan ritual dan meditasi dinyatakan haram karena sudha menzalimi agama lain.” (sumber: nu.or.id). Ia menambahkan “yoga juga memiliki unsur-unsur doa yang melibatkan kegiatan mirip ritual agama tertentu,” yang membuatnya haram. Akan tetapi, jika hanya dilakukan sebagai senam kebugaran tubuh saja, umat muslim diperbolehkan untuk beryoga.

Yudhi tidak hanya mengajarkan asana atau gerakan-gerakan fisik dalam yoga agar badan pesertanya senantiasa sehat dan bugar. Ia turut menyebarkan semangat toleransi di dalam komunitas ini. Perbedaan itu akan selalu ada dan telah menjadi sunatullah atau ketetapan Allah. Karena itu, ia tak pernah membeda-bedakan peserta yang datang. Mereka disambut dengan tangan terbuka, diperlakukan sama. Dalam sebuah kesempatan, pernah Yudhi ditanya,”Agamnya apa mas?” Ia hanya menjawab dengan senyum simpul,”Agama saya yoga.” Kami yang mendengarnya agak terkejut. Kami tahu ia bercanda, tetapi saya bisa memahami bahwa ia tidak ingin melibatkan agama apapun dalam kegiatan bersama ini. Baginya, beragama adalah kegiatan yang amat pribadi, tidak perlu diumbar, dideklarasikan secara berlebihan. Cukup Tuhan dan ia saja yang tahu. Dan kami berusaha menghargai pilihannya itu. Di sini, kami belajar untuk menghargai pilihan satu sama lain, berusaha untuk lebih fleksibel dalam hal pemikiran tanpa mengorbankan prinsip dalam diri.

Beryoga dan Berbagi

Dari slogan komunitas kami yang berbunyi:”Beryoga, Bergembira, Berilmu dan Beramal”, kami juga belajar mengenai semangat berbagi. Berbagi apa saja! Para guru yoga yang hadir di komunitas tersebut mengajar secara pro bono publico alias tidak dibayar penuh atau gratis meski kami tahu mereka adalah pekerja profesional dan dibutuhkan bertahun-tahun belajar dan banyak sekali uang untuk memperoleh ketrampilan dan pengakuan sebagai guru yoga yang andal dan diakui secara profesional. Ada yang bahkan tidak bersedia dibayar sama sekali dan mengembalikannya sebagai sumbangan pada kas komunitas. Mereka datang dan dengan senang hati berbagi pengetahuan mereka tanpa meminta bayaran tinggi. Inilah semangat berbagi yang mereka dan Yudhi ingin tunjukkan, bahwa yoga bukan monopoli orang-orang kaya yang bisa membeli tiket masuk ke studio yoga mahal dan pusat kebugaran yang biayanya cukup untuk makan sebulan. Yudhi ingin agar “kebermanfaatan yoga itu bisa dinikmati sebanyak mungkin orang, tanpa memandang suku, agama dan rasnya.”

Berbekal semangat berbagi itu, Yudhi juga kerap mengundang teman-temannya yang lain yang memiliki komunitas, yayasan atau proyek yang bernuansa sosial, budaya, yang memberikan kemaslahatan bagi banyak orang. Misalnya, pernah diundang komunitas Rujak yang diketuai Marco Kusumawidjaya yang mensosialisasikan peraturan tata ruang baru yang penting bagi tata kota Jakarta dalam beberapa dekade mendatang.

Nilai-nilai spiritualitas universal juga turut dibagikan di sini. Saya ingat ia selalu mengatakan kegiatan kami ini sebagai sebuah balas budi pada alam yang sudah memberikan umat manusia inspirasi berlimpah. Alam layaknya seorang ibu yang sudah memberikan begitu banyak pada umat manusia dan sudah selayaknyalah kita berbuat sesuatu untuk melestarikan alam di lingkungan sekitar kita. Salah satu perkataannya yang selalu terngiang dalam benak saya adalah “beryogalah di taman-taman sekitar kita sebelum taman-taman kosong itu diubah menjadi mall-mall.” Ia selalu menekankan pentingnya memberdayakan masyarakat untuk beraktivitas secara aktif di ruang terbuka hijau di sekitar mereka dan mengurangi waktu bersantai di pusat perbelanjaan yang bertebaran di ibukota.

Susu Tante, atau Sumbangan Sukarela Tanpa Tekanan, juga adalah gagasan dari Yudhi yang ingin agar komunitasnya tidak hanya berkumpul, berlatih yoga kemudian pulang begitu saja. Melalui Susu Tante itu, ia ingin menghimpun dana sosial yang kemudian bisa dikirimkan ke berbagai pihak yang membutuhkan, dari para pengungsi letusan Gunung Merapi, korban tsunami di Jepang, sampai komunitas skizofrenia dan anak-anak berkebutuhan khusus.

Bersama Kita Sebarkan Kebaikan dengan #SemangatBerbagi.

Ikuti acara Puncak Smartfren #SemangatBerbagi tanggal 19 Juli 2014 di Cilandak Town Square Jakarta

  smartfren

Responses to “Belajar Berbagi dari Yudhi Widdyantoro”

  1. Ailtje Binibule

    Hah besok ada apa tanggal 19? Yoga bersama smartfren?

    1. akhlis

      Haha bukan. Ni ikut lomba blog aja kok.

  2. Emak Gaoel

    Assalamu’alaikum…
    Terima kasih sudah berbagi cerita inspiratif ini, ya!
    Good luck! ^_^
    Emak Gaoel

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.