
Siang yang lumayan lembab dan panas setelah hujan ringan di sekitar kawasan bisnis itu. Cuaca menjelang akhir tahun yang labil ini membuat tumbang banyak orang. Cerah di pagi hari, mendung di tengah hari dan akhirnya ditutup dengan hujan di penghujung hari. Macet mendera apalagi lubang-lubang galian sumur resapan di sekitarnya masih menganga lebar. Tanah dan lumpur kecoklatan menyembur dari dalam bumi dan membuat wajah kota semakin tidak karuan tiap hujan turun.
Aliran kendaraan seperti sudah putus asa di depan Fajar. Mereka semua ingin memburu waktu dan hanya ingin maju. Kalau bisa, injak pedal gas terus, tak mau injak pedal rem. Ingin tiba secepatnya di tempat tujuan. Khas cara pikir instan orang sekarang. Muka-muka tegang dan penuh konsentrasi terpampang di kaca jendela depan yang tertimpa sinar matahari pantulan dari gedung bertingkat tertinggi di Indonesia, yang akibatnya membuat kota kembali bermandi cahaya setelah mendung sirna.
Fajar pun memberanikan diri menembus sungai mobil dan sepeda motor itu. Setelan jas di tubuhnya membuat ia sudah siap bertugas di atas sana, di sebuah lantai di gedung pencakar langit yang alamak tingginya bagi orang kampung seperti dia.
“Sudah di mana? Bu Rani sudah menanyakan dokumentasinya,”demikian isi pesan pendek itu. Sejurus kemudian, Fajar pun tergopoh-gopoh sembari menenteng sebuah kamera Sony di tangan. Sebuah kamera yang tergolong mahal, seharga 4 bulan gaji Fajar.
“Bisa mati aku kalau terlambat. Bu Rani sudah sampai lagi di sana. Mampus!” pikirnya dengan panik sambil mengemasi barang dan melesat ke tempat yang dimaksud. Padahal ia sudah berniat datang agak terlambat. Sehari sebelumnya ia sudah menerima surat elektronik itu. Inilah acara penting yang dinanti semua orang. Ia tahu pasti jadwalnya akan molor juga. Dan ia benar.
Tetapi ia tidak seharusnya terlambat karena 3 alasan. Pertama, karena ia bukan pemilik perusahaan. Kedua, karena ia bukan kerabat pemilik perusahaan. Dan ketiga, karena ia bukan jajaran manajerial perusahaan.
Fajar tidak percaya si nyonya rumah itu akan berkutat dengan persiapan acara 1,5 jam sebelum acara itu bahkan dijadwalkan dimulai. Namun toh wanita paruh baya yang gemar memakai flat shoes agar tidak menyaingi tinggi badan suaminya itu tetap terobsesi menyempurnakan segala detil perhelatan akbar itu sendiri. Maksudnya ‘sendiri’, tentu bukan ia mengerjakan semua sendiri. Ia hanya memberikan perintah tetapi semua instruksi itu harus keluar dari otak dan mulutnya sendiri. Karena ia yakin pendelegasian pekerjaan dan tanggung adalah hal terkonyol di dunia ini. Ia mau hanya satu: kesempurnaan. Titik.
Terakhir kali Fajar menyaksikan sang nyonya rumah itu di acara tahun lalu, saat sebelum kue ulang tahun itu keluar ke panggung. Di koridor menuju pintu masuk ruang perayaan yang bertempat di sebuah hotel milik keluarganya, Bu Rani mencegat trolley dengan kue ulang tahun dengan diameter sebesar parabola Indovision. Fajar tak ingat apa yang ia ucapkan pada sang pembawa trolley yang malang itu, tetapi ia bisa menerka kurang lebih apa yang sedang terjadi saat alis dan dahi pria itu agak berkerut.
Dan hari ini mungkin akan jatuh banyak korban lagi, mengikuti sang pembawa trolley yang kejatuhan ‘durian busuk’ sekonyong-konyong, pikir Fajar.
Ia bertemu dengan dua rekan lainnya di dalam gedung, yang terlihat sama tergesa-gesanya ke tempat undangan. Yang satu pria berbusana batik lengan panjang dan yang lain seorang wanita muda dengan blazer hitam. Rambut keduanya kontras. Rambut sang pria meranggas bak pohon di musim kemarau, berguguran entah ke mana. Si wanita masih terlihat lebat bak semak-semak liar di tanah lapang. Mereka bukan suami istri, atau rekan sesama divisi, hanya kebetulan bertemu saja di depan lobi. Jadi dipastikan tidak banyak percakapan yang bisa terjadi di natara keduanya.
Tak mau ketinggalan mereka, Fajar memacu kecepatan langkahnya. Orang tampak lalu lalang di dalam lobi tetapi tak peduli dengan Fajar yang berkeringat dengan rambut kacau diterpa angin jalanan saat menembus lalu lintas sebelumnya. Pendingin ruangan itu mendinginkan kepedulian juga kadang-kadang. Bahkan warna keemasan dan nuansa kayu yang memancarkan kehangatan itu tak berdaya. Fajar tak mau kehilangan jejak orang yang dikenalnya, maka ia terus melesat ke depan tak peduli kepayahan akibat membawa tas punggung berat.
Lift mengantar mereka langsung ke lantai 53. Rasanya lama dan Fajar serasa mau mati karenanya.
Saat lift terbuka di ujung pintu lainnya, seketika ia berlari kesetanan meninggalkan kedua temannya untuk menampakkan diri di depan.
“Harus sampai di sana sekarang juga!!!” jeritnya dalam hati. Ia tahu itu pertaruhan. Mulutnya kering, tetapi hatinya basah dengan doa, agar Bu Rani lupa dengan keterlambatannya yang bisa dikatakan tidak seberapa lama itu. Tetapi terlambat satu menit tidak ada bedanya dengan terlambat sepuluh menit. Terlambat tetaplah terlambat.
Masih terengah-engah, ia memasuki ruangan yang sudah ramai dengan orang, seraya dalam hati memanjatkan doa agar Bu Rani abai terhadap batang hidungnya.
Ini pukul 10 pagi lewat.
“Bagaimana? Sudah mulai?” Fajar bertanya ke kenalannya yang menyambut tepat di depan lift tadi.
“Belum,”jawab orang itu singkat.
Fajar menelan ludah. Muncul sedikit kelegaan.
Doanya terkabul. Ia berhasil mendaratkan pantat ke sebuah tempat duduk tanpa banyak kesulitan.
Fokusnya pada misi “jangan sampai ketahuan terlambat” buyar begitu duduk dan berhasil mengumpulkan kesadarannya sampai seratus persen. Ia agak terkejut karena dirinya menemukan sebuah pohon natal di pojok depan ruangan. Dinding ruangan sekelilingnya masih polos. Lantai belum tertutup ubin marmer, yang menjadi standar baku ubin di gedung ini.
“Apa-apaan ini? Misa?”
Ia muslim dan menyaksikan sebuah seremoni keagamaan semacam itu membuatnya sedikit terhenyak. Ia pernah beberapa kali melintas di depan sebuah gereja saat jemaatnya bernyanyi, mendengar selintas sang pendeta berkhotbah, atau mendengar organ itu berbunyi merdu dan diiringi tarikan suara paduan suara dalam bahasa Latin, Inggris dan Indonesia.
“Selalu ada saat pertama,” batin Fajar. Dan ia mulai menyiapkan diri untuk itu.
Beberapa bulan lalu ia pernah memasuki sebuah gereja saat seorang teman menikah di dalamnya. Tidak ada kecemasan, karena toh ia masuk sebagai tamu undangan pernikahan, bukan untuk beribadah.
Didikan agama sang orang tua begitu mendarah daging sampai ia kadang merasa bersalah kalau melanggarnya.
Semua ritual dilaksanakan. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan semua orang di hadapannya. Ia hanya mengerjakan tugasnya sebagai operator kamera. Bidik sana sini, berjalan ke sana kemari, lalu sejenak duduk beristirahat meluruskan dan meregangkan persendian bahu dan tangan. Nyanyian didendangkan dan ia masih termangu.
Minatnya lalu tertuju pada cerita sang pastur yang sekali lagi membuatnya bersemangat di tengah penat saat bekerja.
Pastur ini dikatakan oleh temannya sebagai yang paling muda di antara ketiga yang diundang di sana. Katanya ia sang badut di antara ketiganya. Sementara satu orang lainnya murah senyum, dan satunya lagi lebih serius dalam pembawaannya. Bisa jadi karena faktor umur.
Ia menceritakan perjuangannya meninggalkan Filipina dengan tubuh masih utuh dan sehat walafiat. Saat itu, cuaca sudah menunjukkan ketidaknormalan, tutur sang pastur.
Fajar bersandar ke kursi dan sesekali mengubah posisi punggung dan pantat yang agak pegal. Ia mencoba menikmati kisah yang naga-naganya akan membuat semua jemaat terkesima dan juga tergelak.
Pastur itu membuka sesi siraman rohaninya dengan:“Saya akan mulai memberikan siraman rohani saya yang serius.” Raut muka sang pastur yang jenaka membuat Fajar merasa agak ragu dengan makna kata “serius” yang baru saja diucapkan dengan penuh penekanan.
“Saat itu tahun 2009…”
Suaranya terdengar mengawang-awang di ruangan yang penuh tamu undangan.
Fajar bertanya-tanya apa yang selanjutnya akan diceritakan pastur itu mengenai tahun 2009.
“Saat itu cuaca sudah buruk sejak pagi hari. Hujan terus menerus. Karena jarak bandara dan apartemen sewaan kami di Manila lumayan jauh, kami memutuskan untuk beberapa jam sebelumnya berangkat sehingga akan lebih tenang jika terjebak macet dan yang paling penting, tidak sampai ketinggalan penerbangan pulang ke Jakarta. Saya dan satu orang teman, pastur Frans, kelimpungan mencari taksi. Penerbangan kami pukul 9 malam dan dari pagi sampai petang sekitar pukul 7 malam kami belum juga mendapatkan taksi. Keringat dingin mulai keluar….”
Ah cukup seru cerita ini sepertinya, pikir Fajar. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati podium tempat sang pastur berdiri. Daun telinganya seolah dua daun telinga seekor hyena yang tegak berdiri dan bergerak-gerak aktif 360 derajat mencari suara mencurigakan di sekitarnya. Tetapi telinga Fajar berbeda. Telinga ini mencari hiburan.
Semua orang diam karena merasa mulai ada konflik dalam cerita sang pastur dan pastur ini melanjutkan kisahnya,“Menjelang pukul 7 malam saya baru sadar bahwa kami sebagai pastur memiliki senjata ampuh untuk meminta bantuan. Sayangnya kami lupa saat itu! Apa senjata itu? Kami bilang saja,’Pari pari! We are priests! We want to go to Indonesia! Please, help us!’ Begitu kata saya kepada sopir taksi yang mendatangi kami.
Masyarakat Filipina yang mayoritas nasrani memang dikenal patuh dengan pemuka agamanya. Dan itu tidak mengenal kebangsaan. Siapa saja yang menjadi pemuka agama dari mana saja patut mendapatkan prioritas bantuan.
“‘Oh father, sorry father!’ kata sang sopir taksi. Langsung saja dia bilang,’Come father, come! I will help you!’ Kami berdua naik taksinya. Dan kami pun terjebak macet yang parah selama perjalanan ke bandara itu. Kami makin tegang. Bisakah kami mengejar pesawat yang akan lepas landas dalam waktu kurang dari 2 jam lagi? Romo Frietz yang berada di sebelah saya juga merasa stres, kami stres! Tetapi dia mengeluarkan rosarionya dan mulai komat-kamit. Saya berpikir apakaha saya akan mengikutinya berdoa atau melakukan sesuatu yang membantu kami mengatasi masalah ini. Tetapi saya meraba dompet dan terpikir untuk mengeluarkan uang. Untuk apa uang itu? Saya terlintas untuk memberikan semua uang peso saya yang tersisa, sebanyak 3000 peso, kepada sang sopir. Tapi ada syaratnya, saya katakan padanya,’Saya akan berikan Anda 3000 peso yang ada di dompet saya sekarang kalau Anda bisa mengantar kami secepat mungkin ke bandara sebelum pesawat kami terbang pada jam 8.10’. Tentu saja kontan sang sopir kegirangan. Ia bersemangat karena ongkos ke bandara normalnya hanya 500 peso untuk jarak tersebut. Mengetahui tantangan berhadiah menggiurkan ini, sopir taksi kami langsung terpacu. Apa yang terjadi? Si sopir langsung berusaha keras menemukan rute tercepat dan terpendek yang bisa ditemukannya untuk mencapai bandara. Tak heran pukul 8.10 kami sampai sudah di bandara. Agak lega lalu kami masuk buru-buru ke counter check-in sembari lari-lari seperti orang kesetanan tetapi ditolak juga. Kami mengaku pastur dan diijinkan masuk. Kami berhasil boarding ke pesawat juga. Dan itulah pesawat terakhir yang bisa keluar dari Manila karena setelah itu badai mulai melanda.”
Jeda sejenak, lalu pastur itu meneruskan,”Saya ingin bertanya pada Anda, apa yang membuat kami sukses sampai ke airport di waktu yang tepat sehingga bisa pulang ke tanah air?”
Fajar yang tadinya agak terkantuk-kantuk mendengarkan kembali berkonsentrasi. Bisa jadi dua-duanya, pikirnya.
“Doanya Romo Frietz atau 3000 peso saya?”tanya sang pastur jenaka. Sejurus kemudian jemaatnya agak riuh, saling berpandangan satu sama lain, menggoyangkan kepala dan badan mereka karena pertanyaan menarik yang memancing diskusi hebat.
Seorang jemaat memberikan jawaban lain,”Pari pari”.
Tampaknya jawabannya tidak sesederhana itu, begitu banyak faktor yang terlibat di dalamnya, batin Fajar.
Si pastur terus memberikan pertanyaan yang ibaratnya mengacau air supaya lebih keruh,”Bagaimana kalau kami mengandalkan salah satunya, kami memberikan uang 3000 peso saja tanpa berdoa, atau kami berdoa semuanya dan masa bodoh dengan sopir yang bisa sampai cepat atau tidak.”
Pastur memberikan sedikit simpulannya,”Banyak dari kita yang ekstrim kiri, selalu mengukur dengan materi. Semuanya diukur dengan kemampuan diri dan melupakan Tuhan. Tetapi sisi ekstrim kanan lebih spiritualistis yang membuat kita menjadi manja. Sedikit-sedikit minta dengan Tuhan sampai kita lupa melakukan tugas dan usaha kita sebagai manusia.”
Ia beralih ke kisah lain yang masih relevan,“Suatu saat kami 3 pastur ingin menonton film ke sebuah mall. Boleh ya pastur nonton film? Boleh lah, masak nggak boleh, sudah kawin nggak boleh, masak nonton film aja dilarang? Boleh boleh…”
Meledaklah tawa di antara jemaat. Cukup lama. Hingga samar-samar menghilang karena sang pastur terus melanjutkan kisahnya.
“Kami ke dalam tempat parkir dan mencari slot yang kosong. Selama beberapa lama kami kesulitan mencarinya. Tidak ada yang tersisa. Teman pastur yang menyopiri sudah berkeluh kesah tetapi ia mengeluh dengan Tuhan. Kami para romo mengakui bahwa pastur sangat saleh, spiritual, dan sangat kenceng doanya. Menoleh ke kiri ke kanan, masih tidak ada, dan kemudian ia berkata,’Tuhan Yesus dan Bunda Maria, di manakah kira-kira tempat parkir di sini?’ Saya menepuk bahunya,’Eh, kalau mau bikin KTP tidak usah telepon Presiden’. Kalau mau bikin KTP cukup minta tolong Pak RT atau Pak RW. “
Tawa kembali meledak.
Jemaat kembali bernyanyi setelah sang pastur menyelesaikan siraman rohaninya yang ‘serius’. Puja-puji dipanjatkan melalui nyanyian rohani dalam berbagai bahasa. Ada bahasa Inggris, Latin dan Indonesia.
Lagunya indah, iramanya merdu, Fajar ingin bersenandung mengikutinya tetapi sesuatu mencegahnya. Ia tidak bisa lalu mencoba mencari lagu dan irama lain.
Suara nyanyian itu menggema, menyeruak dari ruang aula ke seantero lantai. Dinding-dinding putih pucat itu pun ikut bergetar, getarannya meninggi saat chorus dinyanyikan.
Dan Fajar bertanya,”Mengapa aku sampai di sini?” Ia menjejakkan langkah menuju ke sebuah lift. Sedikit debu mengebang saat sepatu beradu dengan permukaan lantai itu.
Ia keluar seolah ada yang membimbingnya menuju ke dunianya yang asli. Bukan yang ini tetapi di luar sana.
Leave a Reply