Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh seorang penutur bilingual di Ubud Writers Readers Festival Jumat pekan lalu (3/10). Pada para pembicara yang berasal dari negeri kanguru itu, pria itu bertanya seperti ini:”Mengapa dalam pemilu presiden kemarin, penggunaan kata-kata dalam bahasa Inggris lebih jitu jika dibandingkan dengan penggunaan padanan katanya di bahasa Indonesia?” Ia mencontohkan bagaimana penggunaan kata “scan” dan “pindai” yang memiliki makna serupa tetapi dalam kenyataannya di jejaring sosial keduanya memberikan efek dan diperlakukan berbeda oleh para penutur asli bahasa Indonesia sendiri. Orang-orang lebih paham dan langsung ‘sreg’ begitu kata “scan’ dipakai dalam instruksi daripada kata “pindai”. Sungguh ironis bukan? Mengapa hal ini bisa terjadi?
Saya pikir pria itu sudah salah alamat karena bertanya pada penutur bahasa asing. Untuk memahami bagaimana fenomena ini bisa terjadi, rasanya akan lebih akurat untuk menanyai para penutur bahasa Indonesia secara langsung. Pertanyaan itu pun dijawab tanpa adanya poin simpulan yang memuaskan penanya. Hanya mengambang.
Tergelitik mengetahui pertanyaannya itu, saya menemuinya setelah diskusi berakhir. Dan mengatakan argumen saya bahwa semua itu mungkin terjadi karena para early adopter (ah! saya belum menemukan padanan katanya yang tepat) di bidang teknologi biasanya adalah mereka yang piawai berbahasa asing terutama bahasa Inggris dan hal serupa terjadi di dunia jejaring sosial, yang di dalamnya dipenuhi dengan para pemimpin pemikiran (thought leaders) yang rata-rata dicekoki ilmu dan pengetahuan produksi Barat (baca: kebudayaan Anglosaxon – Inggris dan Amerika Utara).
Tidak heran jika kita menemukan para penutur bahasa Indonesia yang malah ‘memandang rendah’ bahasa mereka sendiri. Bahasa Inggris dirasa lebih bergengsi dan prestisius. Saya katakan memandang rendah karena sikap mereka pada penggunaan bahasa Indonesia sebagai ganti kata-kata asing yang masih dianggap tidak berkelas dan malah membuat geli karena dianggap aneh dan menyulitkan pemahaman. Lebih jitu pakai bahasa Inggris, kata seorang teman saya. Ia mengejek saya yang memakai bahasa Indonesia untuk peramban (browser) Google Chrome. Ia kesulitan saat harus menjelajahi menu di peramban saya karena dia – yang orang Indonesia totok – lebih akrab dengan istilah-istilah seperti “setting”, “view”, “help”, dan sebagainya daripada “pengaturan”, “lihat”, “bantuan”, dan seterusnya.
Apakah Anda juga merasakan hal yang sama? Karena sepertinya, saya juga merasakan nuansa yang berbeda saat memakai kata dari bahasa Inggris dan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, yang masih dirasa asing bagi orang Indonesia sendiri.
Orang-orang di Balai Bahasa atau pemerhati bahasa Indonesia mungkin sudah mengetahui ini. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan? Dan yang paling penting, apa yang bisa kita lakukan untuk membuat orang Indonesia seperti saya dan Anda merasa bangga menggunakan bahasanya?
Leave a Reply